Agar Krisis Kesehatan Tak Menjelma Krisis Sosial-Ekonomi
Kamis, 22 Juli 2021 - 09:45 WIB
Muhammad Iqbal, Ph.D
Psikolog,
Direktur Institut Indonesia
SELAMA tanggal 3 Juli-20 Juli 2021 pemerintah kembali melakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ( PPKM ) di Jawa dan Bali dan kemudian memperpanjang PPKM hingga 25 Juli 2021. Kebijakan ini adalah upaya agar tidak terjadi lonjakan penyebaran covid-19 yang semakin banyak menimbulkan korban, bahkan kematian.
Situasi ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Konflik-konflik kecil mulai terjadi, dari perlawanan pedagang dan pekerja yang dilarang berkativitas, kesalahpahaman antar aparat negara dan petugas hingga demontrasi dari masyarakat dan mahasiswa yang menolak PPKM, bahkan ada yang meminta presiden mundur.
Situasi bertambah parah ketika masyarakat tidak mendapatkan pelayanan yang baik. Rumah sakit dan ruang ICU penuh, obat dan oksigen langka hingga aksi kejahatan “mengambil kesempatan dalam kesempitan”, baik korupsi bantuan sosial sampai ulah spekulan penimbun barang dan obat-obatan. Situasi ini menimbulkan kepanikan, kemasan dan mudah tersulut emosi
Menangani masalah covid-19 tentu saja bukan hal yang mudah, semua memerlukan komunikasi dan kordinasi. Di sinilah kekuatan seorang pemimpin diuji kepemimpinannya, dalam situasi krisis harus kuat, sigap, peka, empati demi keselamatan rakyat.
Dalam kasus varian delta ini banyak kritikan kepada pemerintah karena gagal melakukan antisipasi, karena masih longgarnya pintu masuk orang asing, bahkan saat PPKM pun masih ada saja pekerja asing dari Cina yang masuk untuk bekerja pada sektor yang harusnya bisa ditunda, dan itu menimbulkan kemarahan bagi sebagian masyarakat, disaat tingginynya PHK, pengangguran, malah pekerja asing seperti menjadi "anak emas", situasi ini harus segera netralisir, bila tidak bisa menyulut emosi
Disituasi krisis saat ini, kordinasi dan komunikasi sangat penting, Presiden sebagai pemimpin tertinggi harus turun tangan langsung mengambil keputusan, bukan mendelegasikan kepada pejabat lain, kabinet harus kompak dan saling mendukung, semua sumber daya yang ada fokus pada penyelesaian masalah. Disamping itu pejabat Negara harus bisa menunjukan empati karena rakyat sedang sensitif dan berduka, jangan pula membahas tema sinetron di sosial media, karena dianggap tidak memiliki rasa empati disaat kematian terus terjadi
Psikolog,
Direktur Institut Indonesia
SELAMA tanggal 3 Juli-20 Juli 2021 pemerintah kembali melakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ( PPKM ) di Jawa dan Bali dan kemudian memperpanjang PPKM hingga 25 Juli 2021. Kebijakan ini adalah upaya agar tidak terjadi lonjakan penyebaran covid-19 yang semakin banyak menimbulkan korban, bahkan kematian.
Situasi ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Konflik-konflik kecil mulai terjadi, dari perlawanan pedagang dan pekerja yang dilarang berkativitas, kesalahpahaman antar aparat negara dan petugas hingga demontrasi dari masyarakat dan mahasiswa yang menolak PPKM, bahkan ada yang meminta presiden mundur.
Situasi bertambah parah ketika masyarakat tidak mendapatkan pelayanan yang baik. Rumah sakit dan ruang ICU penuh, obat dan oksigen langka hingga aksi kejahatan “mengambil kesempatan dalam kesempitan”, baik korupsi bantuan sosial sampai ulah spekulan penimbun barang dan obat-obatan. Situasi ini menimbulkan kepanikan, kemasan dan mudah tersulut emosi
Menangani masalah covid-19 tentu saja bukan hal yang mudah, semua memerlukan komunikasi dan kordinasi. Di sinilah kekuatan seorang pemimpin diuji kepemimpinannya, dalam situasi krisis harus kuat, sigap, peka, empati demi keselamatan rakyat.
Dalam kasus varian delta ini banyak kritikan kepada pemerintah karena gagal melakukan antisipasi, karena masih longgarnya pintu masuk orang asing, bahkan saat PPKM pun masih ada saja pekerja asing dari Cina yang masuk untuk bekerja pada sektor yang harusnya bisa ditunda, dan itu menimbulkan kemarahan bagi sebagian masyarakat, disaat tingginynya PHK, pengangguran, malah pekerja asing seperti menjadi "anak emas", situasi ini harus segera netralisir, bila tidak bisa menyulut emosi
Disituasi krisis saat ini, kordinasi dan komunikasi sangat penting, Presiden sebagai pemimpin tertinggi harus turun tangan langsung mengambil keputusan, bukan mendelegasikan kepada pejabat lain, kabinet harus kompak dan saling mendukung, semua sumber daya yang ada fokus pada penyelesaian masalah. Disamping itu pejabat Negara harus bisa menunjukan empati karena rakyat sedang sensitif dan berduka, jangan pula membahas tema sinetron di sosial media, karena dianggap tidak memiliki rasa empati disaat kematian terus terjadi
Lihat Juga :
tulis komentar anda