Pemerintah Perlu Perkuat Resistensi Masyarakat terhadap Radikalisme
Rabu, 07 April 2021 - 20:56 WIB
JAKARTA - Aksi seseorang melakukan tindakan terorisme sendirian dan di luar struktur komando apapun atau dikenal sebagai Lone Wolf dikhawatirkan menjadi tren teror ke depan. Aksi teror dipastikan tidak akan berhenti jika yang diperkuat hanya sektor hilir atau penindakan aparat penegak hukum.
Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI), Islah Bahrawi menjelaskan untuk mencegah terulangnya aksi teror, pemerintah ataupun stakeholders terkait perlu memperkuat sektor hulu, yaitu memperbesar resistensi masyarakat harus terhadap radikalisme, khususnya dari keluarga. Menurut dia, masyarakat harus menyadari agama mengajarkan kemanusiaan dan kedamaian.
"Keluarga sangat penting (perannya) di sini, karena anak mencontoh orang tuanya. Ini beberapa konsep yang sudah dilakukan di beberapa negara. Terutama di Thailand Selatan dan Srilanka. Ketika ada konflik etnis atau agama (akhirnya bisa diatasi dengan) penolakan radikalisme karena sudah jadi kultur dan membudaya,” ujar Islah dalam dalam Alinea Forum bertajuk Memperkuat Kontra Radikalisme, Rabu (7/4/2021).
Islah mengakui jika penguatan resistensi terhadap radikalisme yang terkultur dalam masyarakat Indonesia tak bisa dicapai secara instan. Membutuhkan waktu lama, langkah komprehensif, dan masif. Dirinya mengingatkan radikalisme tidak hanya terjadi pada agama tertentu, tetapi lintas agama dan lintas ideologi.
“Agama Islam, Kristen, hingga kapitalisme dan komunisme kalau berbasis intoleransi, tentu akan mencetak radikalisme ataupun ekstremis,” kata Islah.
Sementara itu, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai setuju dengan gagasan tersebut. Ansyaad mengajak masyarakat untuk bersatu melawan gerakan radikalisme yang menyusup melalui gerakan ormas dan politik.
Salah satu caranya dengan menutup ruang ormas yang terafiliasi gerakan radikal. "Jangan beri kesempatan mereka muncul karena ini yang kemudian menyebar. Sehingga orang semakin tebal kebenciannya kepada pemerintah. Bahkan sampai mau bunuh diri," jelasnya.
Dirinya pun mendorong pemerintah untuk bekerja sama dengan para ulama guna meluruskan paham radikalisme tersebut. Selain itu, dia meminta negara untuk bersikap lebih tegas. Jika tidak maka akan sulit menumpas terorisme di Indonesia.
"Kita tidak boleh takut. Tidak boleh terintimidasi. Kita muslim tentu tidak ingin agama dilabeli seperti ini. Jadi kita harus jadikan ini musuh bersama. Mari bersatu melawan ini," kata Mbai.
Mantan Narapidana Terorisme, Mukhtar Khairi mengaku fenomena anak-anak muda banyak terpapar radikalisme karena mereka tidak memiliki pemahaman agama secara menyeluruh. Biasanya anak-anak muda ini belajar agama hanya melalui internet (sosial media). “Fenomena saat ini banyak anak muda yang kaget agama,” tutur Mukhtar.
Dampak negatifnya, kaum milenial bisa dengan cepat memahami materi mengenai terorisme yang tersebar di media sosial. Bahkan bisa mengembangkan media sosial dalam menyebarkan paham radikal, sekaligus menyebarluaskan sejumlah ajaran pembuatan bom hingga penyerangan.
Maka itu, kata Mukhtar, pemerintah diminta lebih serius dalam menumpas radikalisme ideologi. Apalagi radikalisme ideologi lebih berbahaya dibandingkan radikalisme fisik. Salah satunya bersinergi dengan para ulama untuk meluruskan paham-paham yang keliru.
Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI), Islah Bahrawi menjelaskan untuk mencegah terulangnya aksi teror, pemerintah ataupun stakeholders terkait perlu memperkuat sektor hulu, yaitu memperbesar resistensi masyarakat harus terhadap radikalisme, khususnya dari keluarga. Menurut dia, masyarakat harus menyadari agama mengajarkan kemanusiaan dan kedamaian.
"Keluarga sangat penting (perannya) di sini, karena anak mencontoh orang tuanya. Ini beberapa konsep yang sudah dilakukan di beberapa negara. Terutama di Thailand Selatan dan Srilanka. Ketika ada konflik etnis atau agama (akhirnya bisa diatasi dengan) penolakan radikalisme karena sudah jadi kultur dan membudaya,” ujar Islah dalam dalam Alinea Forum bertajuk Memperkuat Kontra Radikalisme, Rabu (7/4/2021).
Islah mengakui jika penguatan resistensi terhadap radikalisme yang terkultur dalam masyarakat Indonesia tak bisa dicapai secara instan. Membutuhkan waktu lama, langkah komprehensif, dan masif. Dirinya mengingatkan radikalisme tidak hanya terjadi pada agama tertentu, tetapi lintas agama dan lintas ideologi.
“Agama Islam, Kristen, hingga kapitalisme dan komunisme kalau berbasis intoleransi, tentu akan mencetak radikalisme ataupun ekstremis,” kata Islah.
Sementara itu, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai setuju dengan gagasan tersebut. Ansyaad mengajak masyarakat untuk bersatu melawan gerakan radikalisme yang menyusup melalui gerakan ormas dan politik.
Salah satu caranya dengan menutup ruang ormas yang terafiliasi gerakan radikal. "Jangan beri kesempatan mereka muncul karena ini yang kemudian menyebar. Sehingga orang semakin tebal kebenciannya kepada pemerintah. Bahkan sampai mau bunuh diri," jelasnya.
Dirinya pun mendorong pemerintah untuk bekerja sama dengan para ulama guna meluruskan paham radikalisme tersebut. Selain itu, dia meminta negara untuk bersikap lebih tegas. Jika tidak maka akan sulit menumpas terorisme di Indonesia.
"Kita tidak boleh takut. Tidak boleh terintimidasi. Kita muslim tentu tidak ingin agama dilabeli seperti ini. Jadi kita harus jadikan ini musuh bersama. Mari bersatu melawan ini," kata Mbai.
Mantan Narapidana Terorisme, Mukhtar Khairi mengaku fenomena anak-anak muda banyak terpapar radikalisme karena mereka tidak memiliki pemahaman agama secara menyeluruh. Biasanya anak-anak muda ini belajar agama hanya melalui internet (sosial media). “Fenomena saat ini banyak anak muda yang kaget agama,” tutur Mukhtar.
Dampak negatifnya, kaum milenial bisa dengan cepat memahami materi mengenai terorisme yang tersebar di media sosial. Bahkan bisa mengembangkan media sosial dalam menyebarkan paham radikal, sekaligus menyebarluaskan sejumlah ajaran pembuatan bom hingga penyerangan.
Maka itu, kata Mukhtar, pemerintah diminta lebih serius dalam menumpas radikalisme ideologi. Apalagi radikalisme ideologi lebih berbahaya dibandingkan radikalisme fisik. Salah satunya bersinergi dengan para ulama untuk meluruskan paham-paham yang keliru.
(kri)
tulis komentar anda