Akademisi dan Pengamat Minta Intervensi Kekuasaan pada Parpol Dihentikan
Senin, 08 Februari 2021 - 21:00 WIB
JAKARTA - Upaya pengambilalihan paksa ( kudeta) Partai Demokrat yang diungkapkan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY ) mengundang keprihatinan sejumlah akademisi dan pengamat. Mereka khawatir kualitas demokrasi di Indonesia semakin turun dan negara ini tergelincir dalam otoritarianisme.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Dr Wijayanto mengingatkan bahwa upaya ambil alih paksa ini patut menjadi perhatian bersama karena bukan yang pertama kalinya. “Ciri demokrasi adalah kompetisi, sehingga diperlukan oposisi yang sehat. Jika oposisi tidak ada lagi, maka yang menjadi korban adalah warga negara,” ujarnya dalam keterangan yang diterima wartawan, Senin (9/2/2021).
Sementara, Visiting Fellow ISEAS Singapura, Made Supriatma memandang merupakan persoalan political clique dimana pihak yang kuat berusaha menyingkirkan pihak yang dianggap lemah. “Saya tidak yakin Moeldoko bergerak sendiri. Ia didukung oleh clique kekuasaan yang tidak permanen, yang berhitung apa yang dia dapat dan resources mana yang bisa digunakan,” jelasnya.
Aisah Putri Budiarti dari LIPI memaparkan baru pada era Reformasi terdapat jaminan hukum bagi independensi partai politik. Tapi ini tidak menjamin tidak adanya intervensi kekuasaan.
Aisah merujuk pada kasus yang terjadi pada PPP dan Golkar pada periode 2014-2016, saat Kemenkumham mengeluarkan SK yang mengesahkan salah satu kepengurusan, padahal konflik belum selesai. Intervensi juga dilakukan melalui lobby elite politik.
“Intervensi atas partai politik melemahkan demokrasi dari dua sisi, yaitu melemahkan oposisi dan juga melemahkan kelembagaan/ sistem partai politik,” katanya.
Seksi untuk Diakuisisi, Elektabilitas Bisa Naik
Dalam kesempatan yang berbeda, Direktur Eksekutif Voxpol Center Syarwi Pangi Chaniago menyebut upaya pengambilalihan paksa ini sebagai kerja demokrasi yang paling buruk. "Mau ambil partai orang dengan tanpa biaya besar. Paket hemat lah,” tandasnya.
Dia menilai Partai Demokrat menjadi sasaran karena partai ini bagus masa depannya. Secara oposisi, partai ini yang paling dilirik rakyat. "PKS sama-sama oposisi, tapi kan belum pernah berkuasa. Partai Demokrat kan sebagai oposisi, pernah berkuasa 10 tahun, Makanya dia menjadi seksi untuk diakuisisi,” jelasnya.
Denny Charter dari Lembaga Survei Index Politica melihat upaya kudeta yang gagal ini malah menguntungkan Partai Demokrat. Lembaganya baru merilis hasil survei Minggu (7/2) yang menunjukkan Partai Demokrat memiliki elektabilitas 11,8%.
“Demokrat ini akan diuntungkan karena pemilih konservatif dan progresif itu kan sudah terbentuk di Indonesia ini, jadi orang-orang yang kecewa dengan Gerindra karena merapat ke pemerintah, sebagian besar akan ke Demokrat. Efek dari isu kudeta, (Demokrat) bisa mengalami kenaikan (elektabilitas) 1-2 persen,” tutupnya.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Dr Wijayanto mengingatkan bahwa upaya ambil alih paksa ini patut menjadi perhatian bersama karena bukan yang pertama kalinya. “Ciri demokrasi adalah kompetisi, sehingga diperlukan oposisi yang sehat. Jika oposisi tidak ada lagi, maka yang menjadi korban adalah warga negara,” ujarnya dalam keterangan yang diterima wartawan, Senin (9/2/2021).
Baca Juga
Sementara, Visiting Fellow ISEAS Singapura, Made Supriatma memandang merupakan persoalan political clique dimana pihak yang kuat berusaha menyingkirkan pihak yang dianggap lemah. “Saya tidak yakin Moeldoko bergerak sendiri. Ia didukung oleh clique kekuasaan yang tidak permanen, yang berhitung apa yang dia dapat dan resources mana yang bisa digunakan,” jelasnya.
Aisah Putri Budiarti dari LIPI memaparkan baru pada era Reformasi terdapat jaminan hukum bagi independensi partai politik. Tapi ini tidak menjamin tidak adanya intervensi kekuasaan.
Aisah merujuk pada kasus yang terjadi pada PPP dan Golkar pada periode 2014-2016, saat Kemenkumham mengeluarkan SK yang mengesahkan salah satu kepengurusan, padahal konflik belum selesai. Intervensi juga dilakukan melalui lobby elite politik.
“Intervensi atas partai politik melemahkan demokrasi dari dua sisi, yaitu melemahkan oposisi dan juga melemahkan kelembagaan/ sistem partai politik,” katanya.
Seksi untuk Diakuisisi, Elektabilitas Bisa Naik
Dalam kesempatan yang berbeda, Direktur Eksekutif Voxpol Center Syarwi Pangi Chaniago menyebut upaya pengambilalihan paksa ini sebagai kerja demokrasi yang paling buruk. "Mau ambil partai orang dengan tanpa biaya besar. Paket hemat lah,” tandasnya.
Dia menilai Partai Demokrat menjadi sasaran karena partai ini bagus masa depannya. Secara oposisi, partai ini yang paling dilirik rakyat. "PKS sama-sama oposisi, tapi kan belum pernah berkuasa. Partai Demokrat kan sebagai oposisi, pernah berkuasa 10 tahun, Makanya dia menjadi seksi untuk diakuisisi,” jelasnya.
Denny Charter dari Lembaga Survei Index Politica melihat upaya kudeta yang gagal ini malah menguntungkan Partai Demokrat. Lembaganya baru merilis hasil survei Minggu (7/2) yang menunjukkan Partai Demokrat memiliki elektabilitas 11,8%.
“Demokrat ini akan diuntungkan karena pemilih konservatif dan progresif itu kan sudah terbentuk di Indonesia ini, jadi orang-orang yang kecewa dengan Gerindra karena merapat ke pemerintah, sebagian besar akan ke Demokrat. Efek dari isu kudeta, (Demokrat) bisa mengalami kenaikan (elektabilitas) 1-2 persen,” tutupnya.
(kri)
tulis komentar anda