SPPI Sebut Ada Diskriminasi terhadap ABK WNI di Kapal Ikan China
Kamis, 07 Mei 2020 - 13:50 WIB
JAKARTA - Video rekaman warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) ikan China menimbulkan keprihatinan luas.
Dalam video itu, mereka diperlakukan layaknya budak. Bahkan peti mati jasad WNI yang meninggal dilemparkan atau dilarung ke laut tanpa ada pemberitahuan kepada pihak keluarga.
Video tersebut dirilis media Korea Selatan, MBC."[Eksklusif] '18 jam sehari kerja...sakit dan terengah-tengah, buang ke laut'," bunyi judul pemberitaan MBC yang diterbitkan 5 Mei 2020.( )
Menanggapi peristiwa tersebut, Ketua Umum Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI), Achdianto Ilyas Pangestu mengatakan, pelarungan diperbolehkan dan sering terjadi bila dalam keadaan mendesak apalagi di tengah lautan.
Namun yang menjadi catatannya adalah tidak adanya cek kesehatan dan mengabarkan keluarga terlebih dahulu sebelum dilarung.
"Sering terjadi dan hukum internasional membenarkan itu jika kondisi mendesak, yang membuat kami keberatan adalah perlakuan diskriminasi di atas kapal itu, dan melakukan pelarungan tanpa konfirmasi kepada keluarga terlebih dahulu," tutur Ilyas kepada SINDOnews, Kamis (7/5/2020).
Ilyas juga berterima kasih kepada semua pihak yang membuat kasus ini menjadi perhatian luas.
Dia mengimbau berbagai pihak untuk dapat fokus menyelesaikan masalah tersebut. Baik mengenai ABK maupun keluarganya. "Kami sampaikan terima kasih atas dukungan semua pihak sehingga kasus ini jadi Perhatian dunia, dan kami berharap fokus terhadap penyelesaian kasus," ujar Ilyas.
Dalam video itu, mereka diperlakukan layaknya budak. Bahkan peti mati jasad WNI yang meninggal dilemparkan atau dilarung ke laut tanpa ada pemberitahuan kepada pihak keluarga.
Video tersebut dirilis media Korea Selatan, MBC."[Eksklusif] '18 jam sehari kerja...sakit dan terengah-tengah, buang ke laut'," bunyi judul pemberitaan MBC yang diterbitkan 5 Mei 2020.( )
Menanggapi peristiwa tersebut, Ketua Umum Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI), Achdianto Ilyas Pangestu mengatakan, pelarungan diperbolehkan dan sering terjadi bila dalam keadaan mendesak apalagi di tengah lautan.
Namun yang menjadi catatannya adalah tidak adanya cek kesehatan dan mengabarkan keluarga terlebih dahulu sebelum dilarung.
"Sering terjadi dan hukum internasional membenarkan itu jika kondisi mendesak, yang membuat kami keberatan adalah perlakuan diskriminasi di atas kapal itu, dan melakukan pelarungan tanpa konfirmasi kepada keluarga terlebih dahulu," tutur Ilyas kepada SINDOnews, Kamis (7/5/2020).
Ilyas juga berterima kasih kepada semua pihak yang membuat kasus ini menjadi perhatian luas.
Dia mengimbau berbagai pihak untuk dapat fokus menyelesaikan masalah tersebut. Baik mengenai ABK maupun keluarganya. "Kami sampaikan terima kasih atas dukungan semua pihak sehingga kasus ini jadi Perhatian dunia, dan kami berharap fokus terhadap penyelesaian kasus," ujar Ilyas.
(dam)
tulis komentar anda