Fahira Idris: Mohon Maaf, Kami Sudah Berjuang Maksimal
Jum'at, 09 Oktober 2020 - 17:53 WIB
JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris menegaskan sejak awal pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja telah meminta pemerintah dan DPR menunda semua pembahasan di semua klaster dalam RUU hingga pandemi Covid-19 bisa dikendalikan.
Bagi Fahira, sebuah RUU yang mendapat penolakan luas, bahkan bukan hanya dari kalangan buruh, petani, nelayan, civil society, mahasiswa, akademisi tetapi juga ditolak organisasi keagamaan besar, menandakan RUU tersebut mengandung banyak persoalan.
Dalam merespons penolakan ini, kata dia, seharusnya pemerintah maupun DPR memformulasikan ulang draf RUU Cipta Kerja dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik atau mengedepankan prinsip keterbukaan.
“Niat ingin mempercepat kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki secara mendasar iklim investasi dan memudahkan rekrutmen tenaga kerja yang muaranya membuat pertumbuhan ekonomi, sah-sah saja. Namun, jika niat tersebut dicapai dengan meniadakan aturan-aturan lain yang juga sangat penting maka mungkin saja pertumbuhan ekonomi naik, tetapi berpotensi semu karena tidak merata dinikmati seluruh rakyat,” tutur Fahira di Jakarta, Jumat (9/10/2020).( )
Fahira mengungkapkan, DPD secara kelembagaan telah berupaya sangat keras untuk memperjuangkan aspirasi rakyat dan kepentingan daerah dalam pembahasan tingkat pertama RUU Cipta Kerja.
DPD, kata dia, telah menyampaikan aspirasi rakyat dan daerah yang telah disiapkan oleh masing-masing Komite. DPD berkepentingan untuk mengutamakan kesejahteraan rakyat dan menjaga agar tidak terjadi degradasi kewenangan pemerintah daerah dalam pembahasan RUU Cipta Kerja dalam 56 kali rapat panja mulai 20 April hingga 3 Oktober 2020.. (Baca: Polisi Masih Bersiaga Amankan Ibu Kota Jakarta)
Terkait dengan substansi perubahan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, DPD RI telah menyampaikan analisa substansi dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap norma-norma baru yang diusulkan dalam RUU tentang Cipta Kerja.
Dia menambahkan, DPD bahkan mengusulkan untuk kembali ke UU eksisting atau dicabut dari RUU tentang Cipta Kerja. Penolakan DPD terhadap klaster UU Ketenagakerjaan juga telah disampaikan Ketua PPUU mewakili DPD pada Rapat Kapoksi dengan pimpinan DPR.
Dalam setiap pembahasan, DPD tak pernah berhenti mendesak agar kewenangan daerah tetap diakomodasi dalam RUU Cipta Kerja. Dikembalikannya kewenangan daerah dari draf awal, merupakan bukti perjuangan DPD RI untuk menjaga prinsip otonomi daerah.
Bagi Fahira, sebuah RUU yang mendapat penolakan luas, bahkan bukan hanya dari kalangan buruh, petani, nelayan, civil society, mahasiswa, akademisi tetapi juga ditolak organisasi keagamaan besar, menandakan RUU tersebut mengandung banyak persoalan.
Dalam merespons penolakan ini, kata dia, seharusnya pemerintah maupun DPR memformulasikan ulang draf RUU Cipta Kerja dengan melibatkan sebanyak mungkin partisipasi publik atau mengedepankan prinsip keterbukaan.
“Niat ingin mempercepat kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki secara mendasar iklim investasi dan memudahkan rekrutmen tenaga kerja yang muaranya membuat pertumbuhan ekonomi, sah-sah saja. Namun, jika niat tersebut dicapai dengan meniadakan aturan-aturan lain yang juga sangat penting maka mungkin saja pertumbuhan ekonomi naik, tetapi berpotensi semu karena tidak merata dinikmati seluruh rakyat,” tutur Fahira di Jakarta, Jumat (9/10/2020).( )
Fahira mengungkapkan, DPD secara kelembagaan telah berupaya sangat keras untuk memperjuangkan aspirasi rakyat dan kepentingan daerah dalam pembahasan tingkat pertama RUU Cipta Kerja.
DPD, kata dia, telah menyampaikan aspirasi rakyat dan daerah yang telah disiapkan oleh masing-masing Komite. DPD berkepentingan untuk mengutamakan kesejahteraan rakyat dan menjaga agar tidak terjadi degradasi kewenangan pemerintah daerah dalam pembahasan RUU Cipta Kerja dalam 56 kali rapat panja mulai 20 April hingga 3 Oktober 2020.. (Baca: Polisi Masih Bersiaga Amankan Ibu Kota Jakarta)
Terkait dengan substansi perubahan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, DPD RI telah menyampaikan analisa substansi dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap norma-norma baru yang diusulkan dalam RUU tentang Cipta Kerja.
Dia menambahkan, DPD bahkan mengusulkan untuk kembali ke UU eksisting atau dicabut dari RUU tentang Cipta Kerja. Penolakan DPD terhadap klaster UU Ketenagakerjaan juga telah disampaikan Ketua PPUU mewakili DPD pada Rapat Kapoksi dengan pimpinan DPR.
Dalam setiap pembahasan, DPD tak pernah berhenti mendesak agar kewenangan daerah tetap diakomodasi dalam RUU Cipta Kerja. Dikembalikannya kewenangan daerah dari draf awal, merupakan bukti perjuangan DPD RI untuk menjaga prinsip otonomi daerah.
tulis komentar anda