Pemerintah Dinilai Paksakan Bahas Klaster Pendidikan di RUU Ciptaker
Jum'at, 18 September 2020 - 10:01 WIB
JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menilai pemerintah terkesan memaksakan pembahasan pasal-pasal terkait pendidikan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja . Padahal, Fraksi PKS menilai sebenarnya masalah itu tidak terkait langsung dengan upaya membangun kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif serta penciptaan lapangan kerja, yang menjadi inti dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto menjelaskan, hingga saat ini DPR dan pemerintah sudah dua kali membahas RUU Cipta Kerja terkait klaster pendidikan . Walaupun sudah beberapa kali diskors untuk lobi-lobi, lanjut dia, pemerintah tetap belum siap dengan rumusan baru yang bisa diterima.
Dia mengatakan, pemerintah masih ingin mencabut sifat nirlaba kelembagaan pendidikan serta membuka liberalisasi pendidikan asing. Alasannya, ketimbang membiarkan mahasiswa Indonesia pergi belajar ke luar negeri dan menguras devisa, lebih baik lembaga pendidikan asing yang diundang beroperasi di sini.
( ).
Dengan demikian, lanjut dia, pemerintah akan mendapat pemasukan dari pajak lembaga pendidikan asing itu. Selain itu, biaya hidup mahasiswa Indonesia tetap dikeluarkan di negeri sendiri. Dia melanjutkan, pemerintah juga beralasan, liberalisasi pendidikan ini perlu dilakukan karena ada desakan WTO (World Trade Organization).
"Kalau soal WTO, Panja RUU Cipta Kerja sudah dua kali menghadirkan Duta Besar WTO. Panja sudah minta penjelasan langsung terkait aturan liberalisasi ini. Dan faktanya, menurut mereka tidak ada sanksi yang jelas dari WTO terkait soal liberalisasi pendidikan ini. Berbeda dengan masalah pangan, yang jelas aturan dan sanksinya, termasuk adanya potensi penuntutan dari negara-negara tertentu yang merasa dirugikan," katanya dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Jumat (18/9/2020).
Mulyanto menambahkan, alasan pemerintah untuk meliberalisasi lembaga pendidikan kurang bisa diterima. Menurutnya, liberalisasi lembaga pendidikan belum tentu menjamin peningkatan pendapatan Negara. Yang ada justru menjadi ancaman bagi ideologi dan budaya bangsa Indonesia.
Mulyanto menegaskan, PKS menolak logika dasar liberalisasi lembaga pendidikan yang diatur dalam RUU Cipta Kerja itu. Menurutnya, norma dasar tata kelola pendidikan dalam RUU Omnibus Law ini lebih ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai komoditas industri jasa.
PKS tidak setuju klaster ini dipertahankan karena bila diteliti secara cermat, masalah pendidikan ini tidak terkait langsung dengan ruh RUU Cipta Kerja. "Liberalisasi pendidikan itu lebih berat dari ide membangun rumah sakit asing, karena sektor pendidikan sangat terkait dengan pembinaan budaya dan ideologi bangsa," kata anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini.
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto menjelaskan, hingga saat ini DPR dan pemerintah sudah dua kali membahas RUU Cipta Kerja terkait klaster pendidikan . Walaupun sudah beberapa kali diskors untuk lobi-lobi, lanjut dia, pemerintah tetap belum siap dengan rumusan baru yang bisa diterima.
Dia mengatakan, pemerintah masih ingin mencabut sifat nirlaba kelembagaan pendidikan serta membuka liberalisasi pendidikan asing. Alasannya, ketimbang membiarkan mahasiswa Indonesia pergi belajar ke luar negeri dan menguras devisa, lebih baik lembaga pendidikan asing yang diundang beroperasi di sini.
( ).
Dengan demikian, lanjut dia, pemerintah akan mendapat pemasukan dari pajak lembaga pendidikan asing itu. Selain itu, biaya hidup mahasiswa Indonesia tetap dikeluarkan di negeri sendiri. Dia melanjutkan, pemerintah juga beralasan, liberalisasi pendidikan ini perlu dilakukan karena ada desakan WTO (World Trade Organization).
"Kalau soal WTO, Panja RUU Cipta Kerja sudah dua kali menghadirkan Duta Besar WTO. Panja sudah minta penjelasan langsung terkait aturan liberalisasi ini. Dan faktanya, menurut mereka tidak ada sanksi yang jelas dari WTO terkait soal liberalisasi pendidikan ini. Berbeda dengan masalah pangan, yang jelas aturan dan sanksinya, termasuk adanya potensi penuntutan dari negara-negara tertentu yang merasa dirugikan," katanya dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Jumat (18/9/2020).
Mulyanto menambahkan, alasan pemerintah untuk meliberalisasi lembaga pendidikan kurang bisa diterima. Menurutnya, liberalisasi lembaga pendidikan belum tentu menjamin peningkatan pendapatan Negara. Yang ada justru menjadi ancaman bagi ideologi dan budaya bangsa Indonesia.
Mulyanto menegaskan, PKS menolak logika dasar liberalisasi lembaga pendidikan yang diatur dalam RUU Cipta Kerja itu. Menurutnya, norma dasar tata kelola pendidikan dalam RUU Omnibus Law ini lebih ingin menjadikan lembaga pendidikan sebagai komoditas industri jasa.
PKS tidak setuju klaster ini dipertahankan karena bila diteliti secara cermat, masalah pendidikan ini tidak terkait langsung dengan ruh RUU Cipta Kerja. "Liberalisasi pendidikan itu lebih berat dari ide membangun rumah sakit asing, karena sektor pendidikan sangat terkait dengan pembinaan budaya dan ideologi bangsa," kata anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini.
tulis komentar anda