Implementasi UU KUHP, Akademisi Dorong Pengaturan Tindak Pidana Ideologi Negara
Rabu, 09 Oktober 2024 - 14:31 WIB
JAKARTA - Kejahatan terhadap ideologi negara kini telah memiliki aturan setelah lahirnya UU No 1/2023 tentang KUHP . Salah satu praktik yang masih ditemui saat ini adalah terorisme yang berbasis ideologi agama dan kekerasan.
Ketua Program Kajian Terorisme, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI), Muhamad Syauqillah mengatakan, hadirnya aturan kejahatan terhadap ideologi negara memerlukan penjelasan lebih jauh dalam singgungannya dengan terorisme. Syauqillah menilai tindak pidana terhadap ideologi negara yang diatur dalam KUHP Pasal 188, 189, dan 190 perlu pengaturan lebih lanjut dalam konteks tindak pidana terorisme.
"Bahwa banyak pelaku tindak pidana terorisme dimotivasi oleh ideologi tertentu yang jelas bertentangan dengan Pancasila," kata Syauqilah, Rabu (9/10/2024).
Syauqilah menegaskan, kejelasan dan rencana implementasi KUHP ini penting karena sebagai pengkaji terorisme. KUHP yang akan diberlakukan pada 2026 khususnya pasal 188, 189, dan 190 dengan tegas mengatur pidana Ideologi yang bertentangan atau bahkan meniadakan Pancasila. "Kalau di UU No 5/2018 tentang perilakunya. Nah, KUHP ini mau bagaimana diimplementasikan," ujarnya.
Salah satu Penyidik Densus 88 yang hadir dalam forum diskusi tersebut menyatakan bahwa kebanyakan tersangka kita adalah karena problem ideologi. Wakil Direktur SKSG UI Eva Achjani Zulfa mengatakan kebebasan individu untuk menganut ideologi ajaran tertentu dilindungi HAM namun sekaligus dibatasi dengan aturan tidak merugikan orang lain.
Untuk itu menurutnya penanganan pidana ideologi harus hati-hati. “Ketika tindak pidana ini negara terlalu over reaktif atau over kriminal. Maka bukan bikin takut malah bikin lancar. Perlu juga dicermati soal pengkhianatan, penghasutan, mengancam ketertiban umum,” katanya.
Eva menjelaskan tidak mudahnya mempidanakan ideologi dengan mengambil contoh hukuman mati Imam Samudra yang justru menginspirasi jaringannya. Selain itu dijelaskan juga tentang Socrates yang dihukum mati karena ideologinya tapi pikirannya masih dipakai sampai sekarang, demikian juga Copernicus yang dihukum mati karena teori heliosentrisnya tapi teori tersebut terus dipakai.
“Ada yang perlu dicermati juga jika pasal 188-190 ini diterapkan sebagai ordinary crime sementara terorisme extraordinary crime maka bagaimana dengan lapas super maximum security?" tuturnya.
Ketua Program Doktor SKSG UI Margaretha Hanita kembali mengungkapkan disertasi yang pernah disusunnya tentang makar organisasi terkait Papua Merdeka. Dia mengatakan pada level tertentu seseorang yang dipidana dengan kejahatan makar justru meningkatkan keterkenalan dan pengaruh di kelompoknya. “Kita perlu cermat (menempatkan) mana makar mana terorisme,” katanya.
Dalam bagian penjelasan UU No 1/2023, sebenarnya pasal 188, 189, dan 190 telah ada. Namun dalam diskusi kelompok terpumpun yang diselenggarakan SKSG UI terlihat masih perlunya penjelasan lebih detail. Penjelasan mengenai pembuktian unsur delik, hingga lembaga yang memiliki kewenangan sebagai penginterpretasi Pancasila sangat diperlukan.
Ketua Program Kajian Terorisme, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI), Muhamad Syauqillah mengatakan, hadirnya aturan kejahatan terhadap ideologi negara memerlukan penjelasan lebih jauh dalam singgungannya dengan terorisme. Syauqillah menilai tindak pidana terhadap ideologi negara yang diatur dalam KUHP Pasal 188, 189, dan 190 perlu pengaturan lebih lanjut dalam konteks tindak pidana terorisme.
"Bahwa banyak pelaku tindak pidana terorisme dimotivasi oleh ideologi tertentu yang jelas bertentangan dengan Pancasila," kata Syauqilah, Rabu (9/10/2024).
Syauqilah menegaskan, kejelasan dan rencana implementasi KUHP ini penting karena sebagai pengkaji terorisme. KUHP yang akan diberlakukan pada 2026 khususnya pasal 188, 189, dan 190 dengan tegas mengatur pidana Ideologi yang bertentangan atau bahkan meniadakan Pancasila. "Kalau di UU No 5/2018 tentang perilakunya. Nah, KUHP ini mau bagaimana diimplementasikan," ujarnya.
Salah satu Penyidik Densus 88 yang hadir dalam forum diskusi tersebut menyatakan bahwa kebanyakan tersangka kita adalah karena problem ideologi. Wakil Direktur SKSG UI Eva Achjani Zulfa mengatakan kebebasan individu untuk menganut ideologi ajaran tertentu dilindungi HAM namun sekaligus dibatasi dengan aturan tidak merugikan orang lain.
Untuk itu menurutnya penanganan pidana ideologi harus hati-hati. “Ketika tindak pidana ini negara terlalu over reaktif atau over kriminal. Maka bukan bikin takut malah bikin lancar. Perlu juga dicermati soal pengkhianatan, penghasutan, mengancam ketertiban umum,” katanya.
Eva menjelaskan tidak mudahnya mempidanakan ideologi dengan mengambil contoh hukuman mati Imam Samudra yang justru menginspirasi jaringannya. Selain itu dijelaskan juga tentang Socrates yang dihukum mati karena ideologinya tapi pikirannya masih dipakai sampai sekarang, demikian juga Copernicus yang dihukum mati karena teori heliosentrisnya tapi teori tersebut terus dipakai.
“Ada yang perlu dicermati juga jika pasal 188-190 ini diterapkan sebagai ordinary crime sementara terorisme extraordinary crime maka bagaimana dengan lapas super maximum security?" tuturnya.
Ketua Program Doktor SKSG UI Margaretha Hanita kembali mengungkapkan disertasi yang pernah disusunnya tentang makar organisasi terkait Papua Merdeka. Dia mengatakan pada level tertentu seseorang yang dipidana dengan kejahatan makar justru meningkatkan keterkenalan dan pengaruh di kelompoknya. “Kita perlu cermat (menempatkan) mana makar mana terorisme,” katanya.
Dalam bagian penjelasan UU No 1/2023, sebenarnya pasal 188, 189, dan 190 telah ada. Namun dalam diskusi kelompok terpumpun yang diselenggarakan SKSG UI terlihat masih perlunya penjelasan lebih detail. Penjelasan mengenai pembuktian unsur delik, hingga lembaga yang memiliki kewenangan sebagai penginterpretasi Pancasila sangat diperlukan.
(poe)
Lihat Juga :
tulis komentar anda