Kerukunan Umat Beragama sebagai Pilar Kekuatan Bangsa

Jum'at, 02 Agustus 2024 - 11:48 WIB
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo. FOTO/IST
JAKARTA - Sinergi antara aspek sosial, keagamaan, budaya, dan penegakan hukum menjadi kunci utama membentengi bangsa dalam menghadapi ancaman radikalisme dan terorisme. Pendekatan multidisipliner sangat penting untuk menciptakan kontranarasi yang efektif terhadap propaganda radikalisme dan terorisme.

Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo menjelaskan bagaimana integrasi empat bingkai kerukunan, yang terdiri dari politis, yuridis, sosiologis, dan teologis, bisa menjadi pilar kekuatan bangsa dalam menghadapi ancaman ideologi transnasional.

"Pendekatan multidisipliner dalam pembentukan kontranarasi terhadap radikalisme dan terorisme ini memiliki urgensi yang tinggi agar tiap aspeknya dapat disatukan secara sinergis. Pendekatan menyeluruh ini tidak bisa hanya dilakukan dari satu aktor, melainkan harus komprehensif dan melibatkan semua pihak," kata Romo Benny, panggilan akrabnya di Jakarta, Jumat (2/8/2024).



Menurutnya, pendekatan kontranarasi yang baik tidak hanya bisa menyentuh aspek sosial, tapi juga mampu melibatkan aspek ekonomi yang dapat membantu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan yang meningkat juga seringkali membentuk resistensi tersendiri dalam menangkal masuknya ideologi transnasional.

Selain itu, kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia juga memiliki peranan penting dalam menjaga kerukunan dan perdamaian. Pendekatan budaya dan simbolik juga harus menjadi perhatian, karena budaya memiliki kekuatan dalam membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat.

Walaupun bisa diikutsertakan sebagai salah satu faktor pemicu, Romo Benny menjelaskan, timpangnya pemerataan hak bukanlah faktor yang paling dominan dalam munculnya radikalisme dan terorisme. Menurutnya, banyak juga pelaku teror yang berasal dari kalangan mapan dan intelektual. Faktor yang lebih dominan adalah bagaimana seseorang memahami agama secara tidak utuh dan memanipulasi ajaran agama untuk kepentingan politik tertentu untuk merebut kekuasaan.

"Agama sering kali dibajak oleh kelompok radikal untuk membenarkan tindakan kekerasan mereka. Mereka memanipulasi ajaran agama yang universal untuk kepentingan pribadi atau kelompok, baik untuk perebutan kekuasaan politik, ekonomi, maupun tujuan lain yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan," kata Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute ini.

Dalam menengahi gesekan horizontal yang terjadi akibat perbedaan kebudayaan dan keyakinan, Romo Benny mengatakan bahwa regulasi di Indonesia sebenarnya sudah cukup mendukung keberagaman suku, budaya, dan agama. Namun, masalahnya terletak pada lemahnya penegakan hukum dan kurangnya political will dari pemerintah daerah. Dia mengungkapkan bahwa banyak kekerasan terhadap umat agama terjadi karena faktor lemahnya penegakan hukum dan kurangnya sosialisasi peraturan yang ada.

Peraturan Menteri Bersama (PMB) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 misalnya, telah mengatur tentang pendirian rumah ibadah dengan jelas. Namun, seringkali peraturan ini tidak diketahui oleh masyarakat luas, terutama di tingkat RT/RW. Oleh karena itu, diperlukan upaya lebih, khususnya dari Pemerintah Daerah dan para perangkatnya, untuk mensosialisasikan peraturan-peraturan ini agar masyarakat paham dan tidak main hakim sendiri.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More