Indonesia Era Prabowo Harus Bikin Desain Baru Geopolitik terkait Kebijakan Hankam
Minggu, 02 Juni 2024 - 12:50 WIB
JAKARTA - Forum Aktivis Indonesia (FAN) menggelar diskusi publik bertema Desain Baru Geopolitik dan Kekuatan Sumber Daya Indonesia Menghadapi Pertarungan Antar Negara Adikuasa yang dilangsungkan di kawasan Tegal Parang, Jakarta Selatan, Sabtu (1/6/2024). Ini menyikapi konflik yang berpotensi meningkat eskalasinya menjadi perang antarbangsa yang terjadi pada perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina.
Diskusi ini dihadiri akademisi UI Prof Dr Hikmahanto Juwana, anggota Komisi Pertahanan DPR Dr Sukamta, pengamat militer dan pertahanan Dr Connie Rahakundini Bakrie, Dekan Fisip lnternational Islamic University Islamabad Pakistan dan Ketua Umum FAN Bursah Zarnubi, mantan anggota DPR Prof Nurhayati Ali Assegaf, serta moderator akademisi Unkris Jakarta Dr Sidratahta Mukhtar.
Menurut Bursah Zarnubi, konflik lain meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan, China-Taiwan, serta Korea Utara-Korea Selatan.
"Indonesia di era Jokowi dan era Presiden terpilih Prabowo memerlukan telaah sekaligus antisipasi terhadap kemungkinan negara ini menjadi arena perebutan sumber daya alam yang melimpah, namun belum dikelola dengan baik dan berbasis pada kedaulatan nasional Indonesia. Kebijakan Indonesia sentris dengan hilirisasi, industrialisasi belum memadai untuk mewujudkan Indonesia maju dan menjadi 10 besar kekuatan global di 100 tahun Indonesia," ujar Bursah.
“Dialog ini akan merekomendasikan ide dan pemikiran yang berguna bagi desain baru geopolitik Indonesia secara umum dan khusus tentang kebijakan pertahanan keamanan Indonesia ke depan,” tambahnya.
Connie menuturkan tren modernisasi pertahanan berpotensi memicu perlombaan senjata meningkatkan ketegangan di kawasan termasuk Asia Pasifik di mana ada pemain besar utama seperti China dan Amerika.
"Untuk mengantipasi geopolitik ini, negara kawasan dapat aktif mencari kerja sama alternatif termasuk pengaturan minilateral. Indonesia harus mengubah diri dari pendekatan reaktif pasif defence untuk fokus menuju pendekatan offensive defence yang lebih dinamis mendorong visi poros maritim dunia yang mampu menghadapi supremasi kaukus yang akan muncul,” ungkapnya.
Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan harus segera duduk menyusun roadmap baru politik luar negeri dan pertahanan menuju pencapaian target untuk mengantisipasi risiko ancaman dari persaingan langsung postur dan proyeksi kekuatan di kawasan.
Sukamta menegaskan politik bebas aktif yang dianut Indonesia harus bergerak pada visi yang jelas untuk national interest karena dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) belum ada national interest yang jelas.
"Negara lain di kawasan telah beralih pada hitech industry. Sedangkan kita masih fokus pada pembangunan infrastruktur jalan tol dan saat ini pembangunan IKN. Oke untuk alasan pemerataan ekonomi, namun harus dihindari betul jika ini berbasis proyek untuk habis budget akibat kekurangan imajinasi," kata anggota Fraksi PKS DPR ini.
Kemudian, Hikmahanto yang juga Guru Besar UI menyoroti geopolitik terkait trade war antara China dan Amerika plus perang Rusia dan Ukraina serta Palestina versus Israel. "Amerika menceramahi dan mengajari kita tentang HAM dan demokrasi tetapi mereka sendiri menerapkan standar ganda sesuai kepentingannya sendiri," katanya.
Diskusi ini dihadiri akademisi UI Prof Dr Hikmahanto Juwana, anggota Komisi Pertahanan DPR Dr Sukamta, pengamat militer dan pertahanan Dr Connie Rahakundini Bakrie, Dekan Fisip lnternational Islamic University Islamabad Pakistan dan Ketua Umum FAN Bursah Zarnubi, mantan anggota DPR Prof Nurhayati Ali Assegaf, serta moderator akademisi Unkris Jakarta Dr Sidratahta Mukhtar.
Menurut Bursah Zarnubi, konflik lain meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan, China-Taiwan, serta Korea Utara-Korea Selatan.
"Indonesia di era Jokowi dan era Presiden terpilih Prabowo memerlukan telaah sekaligus antisipasi terhadap kemungkinan negara ini menjadi arena perebutan sumber daya alam yang melimpah, namun belum dikelola dengan baik dan berbasis pada kedaulatan nasional Indonesia. Kebijakan Indonesia sentris dengan hilirisasi, industrialisasi belum memadai untuk mewujudkan Indonesia maju dan menjadi 10 besar kekuatan global di 100 tahun Indonesia," ujar Bursah.
“Dialog ini akan merekomendasikan ide dan pemikiran yang berguna bagi desain baru geopolitik Indonesia secara umum dan khusus tentang kebijakan pertahanan keamanan Indonesia ke depan,” tambahnya.
Connie menuturkan tren modernisasi pertahanan berpotensi memicu perlombaan senjata meningkatkan ketegangan di kawasan termasuk Asia Pasifik di mana ada pemain besar utama seperti China dan Amerika.
"Untuk mengantipasi geopolitik ini, negara kawasan dapat aktif mencari kerja sama alternatif termasuk pengaturan minilateral. Indonesia harus mengubah diri dari pendekatan reaktif pasif defence untuk fokus menuju pendekatan offensive defence yang lebih dinamis mendorong visi poros maritim dunia yang mampu menghadapi supremasi kaukus yang akan muncul,” ungkapnya.
Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan harus segera duduk menyusun roadmap baru politik luar negeri dan pertahanan menuju pencapaian target untuk mengantisipasi risiko ancaman dari persaingan langsung postur dan proyeksi kekuatan di kawasan.
Sukamta menegaskan politik bebas aktif yang dianut Indonesia harus bergerak pada visi yang jelas untuk national interest karena dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) belum ada national interest yang jelas.
"Negara lain di kawasan telah beralih pada hitech industry. Sedangkan kita masih fokus pada pembangunan infrastruktur jalan tol dan saat ini pembangunan IKN. Oke untuk alasan pemerataan ekonomi, namun harus dihindari betul jika ini berbasis proyek untuk habis budget akibat kekurangan imajinasi," kata anggota Fraksi PKS DPR ini.
Kemudian, Hikmahanto yang juga Guru Besar UI menyoroti geopolitik terkait trade war antara China dan Amerika plus perang Rusia dan Ukraina serta Palestina versus Israel. "Amerika menceramahi dan mengajari kita tentang HAM dan demokrasi tetapi mereka sendiri menerapkan standar ganda sesuai kepentingannya sendiri," katanya.
(jon)
Lihat Juga :
tulis komentar anda