Reformasi Hukum, Perampasan Aset Koruptor Tanpa melalui Tuntutan Pidana
Rabu, 27 Maret 2024 - 13:57 WIB
JAKARTA - Penegakan hukum terhadap kejahatan yang merugikan keuangan negara di Indonesia terus menghadapi tantangan yang signifikan. Salah satu hambatan utamanya adalah kesulitan aparat penegak hukum mengidentifikasi jejak dan asal-usul hasil kejahatan, khususnya terkait aset.
Karena itu, diperlukan upaya percepatan reformasi hukum yang difokuskan pada pengambilalihan aset tanpa harus melibatkan proses tuntutan pidana yang rumit.
Hal ini disampaikan Shri Hardjuno Wiwoho, Mahasiswa Doktoral Program Studi Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya saat merilis hasil penelitiannya dengan judul 'Prinsip Kepastian Hukum Pada Akselerasi Reformasi Hukum Terhadap Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture)'. Saat memaparkan hasil risetnya, Hardjuno didampingi penasehat akamademiknya, Prof Mas Rahmah. Adapun tim pengujinya adalah Prof Mas Rahmah, Prof Muhamad Nafik Hadi Ryandono, Prof Suparto Wijoyo, Prof Badri Munir Sukoco, Dr Faizal Kurniawan, dan Dr Prawita Thalib.
Hardjuno berharap pendekatan ini dapat menjadi alat yang efektif dalam menyelamatkan aset negara dengan lebih efisien, sambil tetap menjaga prinsip kepastian hukum. Apalagi, pemerintah Indonesia telah merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) sejak 2012. Bahkan Naskah Akademik sebagai dasar pembentukan RUU tersebut telah disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Meskipun RUU PATP telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional tahun 2015-2019, tapi hingga kini belum mengalami pembahasan oleh DPR.
Padahal Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) tertanggal 4 Mei 2023 kepada DPR RI, meminta agar lembaga legislatif segera memprioritaskan pembahasan RUU tersebut. Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa jumlah laporan yang diterima PPATK terus meningkat jumlahnya. Oleh karena itu, penanggulangan Tipikor memerlukan pendekatan yang extraordinary (luar biasa). Apalagi, kerugian negara akibat Tipikor dan pencucian uang ini sangat besar.
Salah satu cara penanganan terhadap kejahatan tersebut adalah melakukan perampasan aset untuk memulihkan kondisi semula. Saat ini jelasnya, perampasan aset telah menjadi fokus global, sesuai dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003.Masyarakat global sepakat tentang pentingnya menyita aset dari hasil kejahatan tanpa melibatkan tuntutan pidana.
"Mekanisme perampasan aset tindak pidana dianggap sebagai norma dalam UNCAC, dengan tujuan mengoptimalkan upaya merampas aset hasil kejahatan tanpa harus melibatkan proses tuntutan pidana," katanya.
Hardjuno menegaskan konsep Perampasan Aset tanpa Pemidanaan atau yang dikenal sebagai Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture adalah ide restitusi kerugian negara. Tujuannya adalah mengembalikan kerugian negara yang timbul akibat tindak kejahatan tanpa perlu menghukum pidana terlebih dahulu terhadap pelakunya.
Adapun kategori aset yang dapat disita menggunakan metode NCB asset forfeiture melibatkan aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dihibahkan atau diubah menjadi kekayaan pribadi, pihak lain, atau korporasi.Hal ini menjadi penting karena tindak pidana dengan motif ekonomi, seperti korupsi atau pencucian uang, dapat mengakibatkan kerugian bagi negara.
Karena itu, diperlukan upaya percepatan reformasi hukum yang difokuskan pada pengambilalihan aset tanpa harus melibatkan proses tuntutan pidana yang rumit.
Hal ini disampaikan Shri Hardjuno Wiwoho, Mahasiswa Doktoral Program Studi Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya saat merilis hasil penelitiannya dengan judul 'Prinsip Kepastian Hukum Pada Akselerasi Reformasi Hukum Terhadap Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture)'. Saat memaparkan hasil risetnya, Hardjuno didampingi penasehat akamademiknya, Prof Mas Rahmah. Adapun tim pengujinya adalah Prof Mas Rahmah, Prof Muhamad Nafik Hadi Ryandono, Prof Suparto Wijoyo, Prof Badri Munir Sukoco, Dr Faizal Kurniawan, dan Dr Prawita Thalib.
Hardjuno berharap pendekatan ini dapat menjadi alat yang efektif dalam menyelamatkan aset negara dengan lebih efisien, sambil tetap menjaga prinsip kepastian hukum. Apalagi, pemerintah Indonesia telah merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) sejak 2012. Bahkan Naskah Akademik sebagai dasar pembentukan RUU tersebut telah disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Meskipun RUU PATP telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional tahun 2015-2019, tapi hingga kini belum mengalami pembahasan oleh DPR.
Padahal Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) tertanggal 4 Mei 2023 kepada DPR RI, meminta agar lembaga legislatif segera memprioritaskan pembahasan RUU tersebut. Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa jumlah laporan yang diterima PPATK terus meningkat jumlahnya. Oleh karena itu, penanggulangan Tipikor memerlukan pendekatan yang extraordinary (luar biasa). Apalagi, kerugian negara akibat Tipikor dan pencucian uang ini sangat besar.
Salah satu cara penanganan terhadap kejahatan tersebut adalah melakukan perampasan aset untuk memulihkan kondisi semula. Saat ini jelasnya, perampasan aset telah menjadi fokus global, sesuai dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003.Masyarakat global sepakat tentang pentingnya menyita aset dari hasil kejahatan tanpa melibatkan tuntutan pidana.
"Mekanisme perampasan aset tindak pidana dianggap sebagai norma dalam UNCAC, dengan tujuan mengoptimalkan upaya merampas aset hasil kejahatan tanpa harus melibatkan proses tuntutan pidana," katanya.
Hardjuno menegaskan konsep Perampasan Aset tanpa Pemidanaan atau yang dikenal sebagai Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture adalah ide restitusi kerugian negara. Tujuannya adalah mengembalikan kerugian negara yang timbul akibat tindak kejahatan tanpa perlu menghukum pidana terlebih dahulu terhadap pelakunya.
Adapun kategori aset yang dapat disita menggunakan metode NCB asset forfeiture melibatkan aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dihibahkan atau diubah menjadi kekayaan pribadi, pihak lain, atau korporasi.Hal ini menjadi penting karena tindak pidana dengan motif ekonomi, seperti korupsi atau pencucian uang, dapat mengakibatkan kerugian bagi negara.
tulis komentar anda