Komitmen Pembangunan Lingkungan Hidup, KLHK Pegang Teguh Prinsip ESG
Minggu, 18 Februari 2024 - 17:07 WIB
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ( KLHK ) akan terus mengembangkan pembangunan sektor lingkungan hidup dan kehutanan yang memegang teguh asas keberlanjutan dengan pilar environmental, social, and governance (ESG). Hal itu untuk menjawab tantangan kompleksitas isu lingkungan, permasalahan sosial, dan pemanfaatan ekonomi dalam pembangunan.
Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto menjelaskan, tentang kompleksitas isu lingkungan. Tantangan yang semula hanya sebatas permasalahan kerusakan lingkungan, kemudian berkembang menjadi permasalahan sosial dalam mengakses sumber daya alam, yang dituntut pula untuk dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pembangunan.
“Sudah bukan saatnya lagi untuk membenturkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan kepentingan ekologi. Seluruh kepentingan harus dapat diakomodir secara harmonis untuk tujuan yang lebih besar lagi yaitu keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang tentunya diorkestrasikan oleh tata kelola lingkungan (environmental governance) yang baik,” katanya saat Seminar Hari Pers Nasional (HPN) 2024 di Jakarta, Minggu (18/2/2024).
Dalam konteks Pembangunan LHK, pemerintah telah melakukan berbagai pendekatan. Mulai dari intervensi melalui regulasi, pengendalian dan pengawasan, penegakan hukum, peningkatan kapasitas, hingga pengembangan sistem inventarisasi dan pemantauan.
Berbagai pendekatan yang telah dikembangkan tersebut diimplementasikan dengan berpedoman pada berbagai instrumen kebijakan. Baik dalam bentuk instrumen regulasi pemerintah, maupun instrumen yang berlaku dalam skala global. Misalnya Sustainable Development Goals (SDGs), UN-CBD, Convention on Biodiversity, Protokol Nagoya, dan Paris Agreement.
Atas langkah kerja yang telah ditempuh pemerintah, terjadi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor kehutanan, yang salah satunya dengan ukuran pencapaian tingkat laju deforestasi hutan terendah dalam sejarah kehutanan Indonesia. ”Kemudian dalam konteks pemanfaatan hutan, adanya transformasi dari single-licensed yang utamanya hanya terfokus pada pemanfaatan hasil hutan kayu, menjadi skema multi usaha kehutanan,” ujarnya.
Indikator lainnya adalah pemegang hak akses pemanfaatan hutan tidak hanya bagi korporasi, namun juga masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial. Hingga saat ini, KLHK telah mencatatkan hampir 1,3 juta kepala keluarga di Indonesia melalui 9.642 SK Persetujuan Perhutanan Sosial yang memperoleh akses legal untuk memanfaatkan 6,3 juta hektare kawasan hutan. Kemudian lebih dari 75.000 kepala keluarga melalui 131 SK Hutan Adat juga telah memperoleh akses kelola 250 ribu hektare kawasan hutan.
KLHK mengapresiasi dukungan semua pihak. Termasuk dunia usaha, yang telah secara signifikan membantu pengelolaan lingkungan secara lestari.
Hal ini ditandai dengan tren tingkat ketaatan pelaku usaha dalam Proper dan kinerja pengelolaan lingkungan hidup secara signifikan meningkat. Dari 82 perusahaan di tahun 2003, meningkat menjadi 1.914 perusahaan di tahun 2014, dan 3.694 perusahaan di tahun 2023.
Selain itu, sertifikasi mandatory untuk produk hasil hutan yang diekspor, yaitu Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) meningkat dari 2.724 industri pemegang sertifikat pada tahun 2017 menjadi 5.462 industri pemegang sertifikat di tahun 2023. Peningkatan pelaku usaha pemegang SVLK, seiring dengan peningkatan tren ekspor produk hasil hutan dari 10,93 juta dolar AS pada tahun 2017 menjadi 13,17 juta dolar AS pada tahun 2023.
Koordinator Tim Ahli Sekretariat Nasional SDGs Kementerian PPN/Bappenas Yanuar Nugroho menegaskan, perlunya keterlibatan dunia usaha untuk menerapkan prinsip ESG. Pihak swasta perlu melakukan alignment ESG sehingga dapat mendukung percepatan pelaksanaan SDGs. ”Mengintegrasikan tujuan ekonomi dan sosial tanpa mengesampingkan dampak lingkungan dapat meningkatkan daya saing dan profitabilitas perusahaan,” katanya.
Plt Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari KLHK Agus Justianto menjelaskan, tentang kompleksitas isu lingkungan. Tantangan yang semula hanya sebatas permasalahan kerusakan lingkungan, kemudian berkembang menjadi permasalahan sosial dalam mengakses sumber daya alam, yang dituntut pula untuk dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pembangunan.
Baca Juga
“Sudah bukan saatnya lagi untuk membenturkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan sosial, dan kepentingan ekologi. Seluruh kepentingan harus dapat diakomodir secara harmonis untuk tujuan yang lebih besar lagi yaitu keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang tentunya diorkestrasikan oleh tata kelola lingkungan (environmental governance) yang baik,” katanya saat Seminar Hari Pers Nasional (HPN) 2024 di Jakarta, Minggu (18/2/2024).
Dalam konteks Pembangunan LHK, pemerintah telah melakukan berbagai pendekatan. Mulai dari intervensi melalui regulasi, pengendalian dan pengawasan, penegakan hukum, peningkatan kapasitas, hingga pengembangan sistem inventarisasi dan pemantauan.
Berbagai pendekatan yang telah dikembangkan tersebut diimplementasikan dengan berpedoman pada berbagai instrumen kebijakan. Baik dalam bentuk instrumen regulasi pemerintah, maupun instrumen yang berlaku dalam skala global. Misalnya Sustainable Development Goals (SDGs), UN-CBD, Convention on Biodiversity, Protokol Nagoya, dan Paris Agreement.
Atas langkah kerja yang telah ditempuh pemerintah, terjadi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor kehutanan, yang salah satunya dengan ukuran pencapaian tingkat laju deforestasi hutan terendah dalam sejarah kehutanan Indonesia. ”Kemudian dalam konteks pemanfaatan hutan, adanya transformasi dari single-licensed yang utamanya hanya terfokus pada pemanfaatan hasil hutan kayu, menjadi skema multi usaha kehutanan,” ujarnya.
Indikator lainnya adalah pemegang hak akses pemanfaatan hutan tidak hanya bagi korporasi, namun juga masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial. Hingga saat ini, KLHK telah mencatatkan hampir 1,3 juta kepala keluarga di Indonesia melalui 9.642 SK Persetujuan Perhutanan Sosial yang memperoleh akses legal untuk memanfaatkan 6,3 juta hektare kawasan hutan. Kemudian lebih dari 75.000 kepala keluarga melalui 131 SK Hutan Adat juga telah memperoleh akses kelola 250 ribu hektare kawasan hutan.
KLHK mengapresiasi dukungan semua pihak. Termasuk dunia usaha, yang telah secara signifikan membantu pengelolaan lingkungan secara lestari.
Hal ini ditandai dengan tren tingkat ketaatan pelaku usaha dalam Proper dan kinerja pengelolaan lingkungan hidup secara signifikan meningkat. Dari 82 perusahaan di tahun 2003, meningkat menjadi 1.914 perusahaan di tahun 2014, dan 3.694 perusahaan di tahun 2023.
Selain itu, sertifikasi mandatory untuk produk hasil hutan yang diekspor, yaitu Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) meningkat dari 2.724 industri pemegang sertifikat pada tahun 2017 menjadi 5.462 industri pemegang sertifikat di tahun 2023. Peningkatan pelaku usaha pemegang SVLK, seiring dengan peningkatan tren ekspor produk hasil hutan dari 10,93 juta dolar AS pada tahun 2017 menjadi 13,17 juta dolar AS pada tahun 2023.
Koordinator Tim Ahli Sekretariat Nasional SDGs Kementerian PPN/Bappenas Yanuar Nugroho menegaskan, perlunya keterlibatan dunia usaha untuk menerapkan prinsip ESG. Pihak swasta perlu melakukan alignment ESG sehingga dapat mendukung percepatan pelaksanaan SDGs. ”Mengintegrasikan tujuan ekonomi dan sosial tanpa mengesampingkan dampak lingkungan dapat meningkatkan daya saing dan profitabilitas perusahaan,” katanya.
(poe)
tulis komentar anda