Pakar Pertanian Apresiasi Kebijakan Pangan dan Pertanian di Era Jokowi
Jum'at, 19 Januari 2024 - 10:14 WIB
JAKARTA – Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Mangku Purnomo, mengapresiasi kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di bidang pangan dan pertanian. Menurutnya, pemerintah sudah berusaha optimal untuk memanfaatkan lahan guna menjaga pasokan pangan dalam negeri.
Sebelumnya, Presiden Jokowi pernah menyoroti permasalahan pangan di Indonesia, bahwa permintaan selalu meningkat karena populasi yang terus bertambah. Di sisi lain, ketersediaan lahan merupakan tantangan produksi utama di Indonesia.
“Kebijakan pangan dan pertanian pada era Jokowi secara umum sudah relatif bagus. Dari sisi produksi juga sudah dilakukan diversifikasi sumber, termasuk food estate dan pemberdayaan lahan rawa. Program-program tersebut memang tidak bisa langsung dilihat manfaatnya, tetapi dari sisi mitigasi sudah bagus. Kebijakan stabilisasi stok dan harga udah bagus,” kata Mangku dalam wawancaranya.
Ihwal pemanfaatan lahan rawa, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan bahwa kontribusi lahan rawa terhadap pangan nasional masih sangat rendah. Diperkirakan hanya 5 persen dari sekitar 34,12 juta hektare yang sudah dimanfaatkan. Artinya, masih sangat potensial untuk ditingkatkan.
Terkait food estate, Mangku menyoroti manfaatnya memang tidak bisa dirasakan dalam waktu dekat. Butuh waktu sedikitnya 3 tahun jika infrastrukturnya sudah baik. Jika membangunnya dari awal, maka butuh waktu 5 tahun untuk dirasakan manfaatnya.
Kendati begitu, dia menegaskan bahwa upaya merealisasikan lumbung pangan merupakan suatu keharusan bagi kebutuhan pangan jangka panjang Indonesia.
“Apapun upaya harus dilakukan kalau kita masih ingin Indonesia ini ada. Oleh karena itu, kita harus pisahkan fungsi food estate dengan pertanian rakyat. Yang satu fokus pada stok nasional atau cadangan dan satu lagi market based,” kata Mangku.
Dalam wawancara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menjelaskan,untuk menjaga ketersediaan pangan jangka pendek dan untuk menahan inflasi, maka impor pangan dari luar negeri bisa menjadi solusi.
“Kalau fokusnya menjaga inflasi di sisi konsumen, maka impor adalah solusinya. Itu lebih punya efek besar dibanding mobilisasi produk pertanian di dalam negeri yang tersebar. Produsen beras yang terpisah dan persoalan logistik bisa menjadikan masalah lebih kompleks. Sehingga, impor bisa jadi solusi jangka pendek,” katanya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi pernah menyoroti permasalahan pangan di Indonesia, bahwa permintaan selalu meningkat karena populasi yang terus bertambah. Di sisi lain, ketersediaan lahan merupakan tantangan produksi utama di Indonesia.
“Kebijakan pangan dan pertanian pada era Jokowi secara umum sudah relatif bagus. Dari sisi produksi juga sudah dilakukan diversifikasi sumber, termasuk food estate dan pemberdayaan lahan rawa. Program-program tersebut memang tidak bisa langsung dilihat manfaatnya, tetapi dari sisi mitigasi sudah bagus. Kebijakan stabilisasi stok dan harga udah bagus,” kata Mangku dalam wawancaranya.
Ihwal pemanfaatan lahan rawa, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan bahwa kontribusi lahan rawa terhadap pangan nasional masih sangat rendah. Diperkirakan hanya 5 persen dari sekitar 34,12 juta hektare yang sudah dimanfaatkan. Artinya, masih sangat potensial untuk ditingkatkan.
Terkait food estate, Mangku menyoroti manfaatnya memang tidak bisa dirasakan dalam waktu dekat. Butuh waktu sedikitnya 3 tahun jika infrastrukturnya sudah baik. Jika membangunnya dari awal, maka butuh waktu 5 tahun untuk dirasakan manfaatnya.
Kendati begitu, dia menegaskan bahwa upaya merealisasikan lumbung pangan merupakan suatu keharusan bagi kebutuhan pangan jangka panjang Indonesia.
“Apapun upaya harus dilakukan kalau kita masih ingin Indonesia ini ada. Oleh karena itu, kita harus pisahkan fungsi food estate dengan pertanian rakyat. Yang satu fokus pada stok nasional atau cadangan dan satu lagi market based,” kata Mangku.
Dalam wawancara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menjelaskan,untuk menjaga ketersediaan pangan jangka pendek dan untuk menahan inflasi, maka impor pangan dari luar negeri bisa menjadi solusi.
“Kalau fokusnya menjaga inflasi di sisi konsumen, maka impor adalah solusinya. Itu lebih punya efek besar dibanding mobilisasi produk pertanian di dalam negeri yang tersebar. Produsen beras yang terpisah dan persoalan logistik bisa menjadikan masalah lebih kompleks. Sehingga, impor bisa jadi solusi jangka pendek,” katanya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda