Calon dari Klan Politik Dinasti Lebih Berpeluang Menangkan Pilkada
Rabu, 05 Agustus 2020 - 08:29 WIB
JAKARTA - Fenomena orang-orang dekat politikus lokal, nasional, dan pertahana di daerah maju dalam pemilihan kepala daerah ( pilkada ) sudah lama berlangsung di Indonesia. Meski demikian, tak mudah bagi mereka memenangkan pertarungan.
Peneliti politik dinasti , Yoes C Kenawas mengungkapkan dari 2015 sampai 2018 ada 202 pasangan calon (paslon) dalam pilkada yang terkait dengan dinasti politik. Dari jumlah itu, 117 paslon menang dan 85 paslon kalah.
"Itu (dinasti) terdiri dari kepala dan wakil. Rata-rata mengincar posisi kepala daerah karena power-nya lebih besar," katanya dalam diskusi daring dengan tema "Pilkada, Antara Dinasti dan Kotak Kosong", Selasa (4/8/2020).( )
Di sisi lain, ada fenomena calon tunggal dan kotak kosong. Biasanya, pertahana yang memiliki elektabilitas dan popularitas tinggi kerap tidak ada lawan. Faktor lain, karena dukungan mayoritas partai di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sehingga menyulitkan calon lain untuk maju.
Yoes mengungkapkan dalam tiga gelaran pilkada terakhir, 2015, 2017, dan 2018, ada 28 pilkada dengan calon tunggal. Rinciannya, pada 2015 ada 3, 2017 ada 9, dan 2018 ada 16 pilkada.
Hampir semuanya memenangkan pertarungan. Hanya satu yang kalah di pilkada Kota Makassar. Paslon Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi tumbang dengan perolehan suara 47% dan kotak kosong memperoleh 53% suara.
Pilkada Kota Makassar menggabungkan dua fenomena sekaligus pertarungan tanpa lawan dan dinasti politik. Munafri merupakan keponakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.( )
Yoes menerangkan pilkada lawan kotak dengan perolehan suara tertinggi terjadi di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Pasangan John Banua dan Mathin Yogobi meraup 99,13% suara.
"Di Jayawijaya masih menggunakan sistem noken. Ini analisisnya harus dipisahkan. Perolehan suara terendah (pilkada tunggal) itu 46,77%. Nilai tengah perolehan suara calon tunggal ada di angka 78,68%," katanya.
Peneliti politik dinasti , Yoes C Kenawas mengungkapkan dari 2015 sampai 2018 ada 202 pasangan calon (paslon) dalam pilkada yang terkait dengan dinasti politik. Dari jumlah itu, 117 paslon menang dan 85 paslon kalah.
"Itu (dinasti) terdiri dari kepala dan wakil. Rata-rata mengincar posisi kepala daerah karena power-nya lebih besar," katanya dalam diskusi daring dengan tema "Pilkada, Antara Dinasti dan Kotak Kosong", Selasa (4/8/2020).( )
Di sisi lain, ada fenomena calon tunggal dan kotak kosong. Biasanya, pertahana yang memiliki elektabilitas dan popularitas tinggi kerap tidak ada lawan. Faktor lain, karena dukungan mayoritas partai di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sehingga menyulitkan calon lain untuk maju.
Yoes mengungkapkan dalam tiga gelaran pilkada terakhir, 2015, 2017, dan 2018, ada 28 pilkada dengan calon tunggal. Rinciannya, pada 2015 ada 3, 2017 ada 9, dan 2018 ada 16 pilkada.
Hampir semuanya memenangkan pertarungan. Hanya satu yang kalah di pilkada Kota Makassar. Paslon Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi tumbang dengan perolehan suara 47% dan kotak kosong memperoleh 53% suara.
Pilkada Kota Makassar menggabungkan dua fenomena sekaligus pertarungan tanpa lawan dan dinasti politik. Munafri merupakan keponakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.( )
Yoes menerangkan pilkada lawan kotak dengan perolehan suara tertinggi terjadi di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Pasangan John Banua dan Mathin Yogobi meraup 99,13% suara.
"Di Jayawijaya masih menggunakan sistem noken. Ini analisisnya harus dipisahkan. Perolehan suara terendah (pilkada tunggal) itu 46,77%. Nilai tengah perolehan suara calon tunggal ada di angka 78,68%," katanya.
(abd)
tulis komentar anda