Pandangan Sejarawan Terkait Peristiwa Kudatuli dan Orde Baru
Selasa, 28 Juli 2020 - 09:00 WIB
JAKARTA - Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam membeberkan catatan panjang tindakan represi yang dilakukan rezim Orde Baru Soeharto selama tiga dekade berkuasa.
Hal itu disampaikan dalam diskusi daring bertema huru-hara di Pengujung Orba, Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996 yang diselenggarakan Forum Jas Merah, Senin (27/7/2020). (Baca juga: Refleksi Peristiwa Kudatuli, PDIP Surabaya Ajak Anak Muda Melek Sejarah)
Asvi mencatat, represi yang dilakukan Orba terhadap lawan-lawan politiknya dilakukan sejak rezim ini mulai menancapkan cengkeramannya di pusat kekuasaan politik Indonesia. Hal itu ditandai dengan pemberedelan koran-koran yang memberitakan peristiwa 1965.
"Sejak Oktober 1965, Orde Baru sudah melakukan represi, ditandai dengan pemberedelan sejumlah media massa kecuali koran militer. Jadi sejak awal represi sudah dilakukan oleh Orba dan itu berlanjut terus sepanjang 30 tahun," kata Asvi. (Baca juga: Refleksi Kudatuli, Milenial Harus Belajar dari Sejarah)
Dalam upaya melanggengkan kekuasaan, Orba juga tidak menghendaki adanya oposisi. Asvi mengatakan, di sekitar tahun 1980, ada tiga anak muda di Yogyakarta dihukum penjara lebih dari lima tahun hanya karena menjual buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang dinyatakan dilarang oleh ezim Orba.
Sementara dalam kasus PDI, Asvi mencatat ada kenaikan perolehan suara PDI dalam pemilu terutama sejak tahun 1987 hingga 1992. Kenaikan suara PDI ini terjadi lantaran kampanye yang dilakukan dua anak Soekarno yakni Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soelarnoputra sejak tahun 1987. "Hal ini kemudian membuat rezim penguasa resah," kata Asvi.
Puncak dari akumulasi keresahan Orba terjadi saat rezim ini merekayasa perpecahan di internal PDI antara kubu Soeryadi dan Megawati. Perpecahan internal yang direkayasa Orba ini akhirnya semakin menghangat pada Juli 1996. Kubu pro Megawati menggelar mimbar demokrasi selama tiga minggu berturut-turut di depan kantor PDI di Jalan Diponegoro.
"Mimbar demokrasi yang mengkritik pemerintah secara terbuka ini sangat menakutkan bagi rezim Soeharto. Kemudian terjadilah peristiwa 27 Juli 1996," ucap Asvi.
Hal itu disampaikan dalam diskusi daring bertema huru-hara di Pengujung Orba, Refleksi Peristiwa 27 Juli 1996 yang diselenggarakan Forum Jas Merah, Senin (27/7/2020). (Baca juga: Refleksi Peristiwa Kudatuli, PDIP Surabaya Ajak Anak Muda Melek Sejarah)
Asvi mencatat, represi yang dilakukan Orba terhadap lawan-lawan politiknya dilakukan sejak rezim ini mulai menancapkan cengkeramannya di pusat kekuasaan politik Indonesia. Hal itu ditandai dengan pemberedelan koran-koran yang memberitakan peristiwa 1965.
"Sejak Oktober 1965, Orde Baru sudah melakukan represi, ditandai dengan pemberedelan sejumlah media massa kecuali koran militer. Jadi sejak awal represi sudah dilakukan oleh Orba dan itu berlanjut terus sepanjang 30 tahun," kata Asvi. (Baca juga: Refleksi Kudatuli, Milenial Harus Belajar dari Sejarah)
Dalam upaya melanggengkan kekuasaan, Orba juga tidak menghendaki adanya oposisi. Asvi mengatakan, di sekitar tahun 1980, ada tiga anak muda di Yogyakarta dihukum penjara lebih dari lima tahun hanya karena menjual buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang dinyatakan dilarang oleh ezim Orba.
Sementara dalam kasus PDI, Asvi mencatat ada kenaikan perolehan suara PDI dalam pemilu terutama sejak tahun 1987 hingga 1992. Kenaikan suara PDI ini terjadi lantaran kampanye yang dilakukan dua anak Soekarno yakni Megawati Soekarnoputri dan Guruh Soelarnoputra sejak tahun 1987. "Hal ini kemudian membuat rezim penguasa resah," kata Asvi.
Puncak dari akumulasi keresahan Orba terjadi saat rezim ini merekayasa perpecahan di internal PDI antara kubu Soeryadi dan Megawati. Perpecahan internal yang direkayasa Orba ini akhirnya semakin menghangat pada Juli 1996. Kubu pro Megawati menggelar mimbar demokrasi selama tiga minggu berturut-turut di depan kantor PDI di Jalan Diponegoro.
"Mimbar demokrasi yang mengkritik pemerintah secara terbuka ini sangat menakutkan bagi rezim Soeharto. Kemudian terjadilah peristiwa 27 Juli 1996," ucap Asvi.
(maf)
Lihat Juga :
tulis komentar anda