MPR Menilai Demokrasi Harus Kedepankan Musyawarah
A
A
A
BUKITTINGGI - Banyak hal yang sudah dicapai dalam 17 tahun penerapan demokrasi di Indonesia, tetapi ada juga yang perlu diperbaiki, khususnya ekses antarkelompok dalam persaingan.
Karena itu, MPR menegaskan agar bangsa Indonesia lebih mengedepankan musyawarah dalam praktik demokrasi. ”Sekarang demokrasi kita lebih liberal dari yang di luar sana, DPR diadu banyak-banyakan suara. Ini yang mesti kita koreksi, padahal dalam Pancasila itu dikedepankan musyawarah mufakat dan gotong-royong,” kata Ketua MPR Zulkifli Hasan dalam Seminar Nasional Milad Persatuan Tarbiyah Islamiyah Ke-87 bertajuk ”Peningkatan Pendidikan Umat dalam Pembentukan Karakter Bangsa Menghadapi ASEAN Community 2015” di Pustaka Proklamator Bung Hatta Bukittinggi, Sumatera Barat, kemarin.
Zulkifli menilai, dalam beberapa waktu belakangan ini, nilai dari empat konsensus dasar, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semakin memudar. Karena itu, demokrasi di Indonesia sebagai one man one vote seolah- olah meniadakan musyawarah mufakat. ”Pilkada misalnya, yang menang jadi abu yang kalah jadi bubur karena bisa masuk penjara juga (efek politik uang),” papar Zulkifli.
Zulkifli menyayangkan, demokrasi yang seharusnya membawa dampak positif justru sebaliknya. Sejumlah jabatan strategis selepas kemenangan calon jadi rebutan, aliansi kelompok semakin tinggi, dan generasi sekarang pun mulai menyukai yang instan, ingin menjadi pejabat dengan cara cepat dan mengabaikan proses.
”Itu yang MPR ingin luruskan, yang sudah kita punya 4 konsensus dasar di mana Pancasila harus menjadi perilaku kita, budaya kita intinya musyawarah mufakat dan gotong-royong serta Bhinneka Tunggal Ika. Bukankah agama kita mengajarkan itu?” ujar Zulkifli. Oleh karena itu, lanjutnya, antarkelompok yang berbeda harus saling menghormati, bukan saling menyalahkan.
Boleh saja berbeda pandangan politik, tapi silaturahmi merupakan yang utama, kepentingan bangsa ditempatkan di atas kepentingan golongan dan partai. Karena politik kebangsaan adalah politik jangka panjang untuk kemajuan bangsa dan negara. ”Agar demokrasi kita kembali ke demokrasi Pancasila yang intinya musyawarah mufakat dan gotong-royong. Bukan beradu, menang-menangan, dan pasti itu ada luka dan memperjauh silaturahmi,” tegas Ketua Umum DPP PAN itu.
Lebih dari itu, Zulkifli menambahkan, mundurnya bangsa Indonesia akibat generasi muda yang tidak menghormati para founding fathersIndonesia, tapi justru lebih mengidolakan negara lain atau tokoh dari negara lain. Padahal, Bung Karno dan Bung Hatta tak kalah hebat dengan tokoh Amerika atau Nelson Mandela.
Menurut Zulkifli, saat ini pendidikan dan teknologi sudah maju, tetapi belum ada anak muda zaman sekarang yang bisa sehebat Soekarno-Hatta. Itu semua karena daya juang anak sekarang tidak sebanding dengan anak zaman dulu. Indonesia punya potensi alam yang sangat besar dan melimpah melebihi negara mana pun, bahkan Kerajaan Sriwijaya yang ada di Indonesia pernah menjadi kerajaan penguasa, tapi Indonesia kini kalah saing dengan negara tetangga.
”Sekarang terbalik karena faktor kuncinya SDM, kuncinya pendidikan. Itu yang membuat SDM kita unggul dan bangsa Indonesia unggul. Jadi majulah Tarbiyah Indonesia!” sebut Zulkifli.
Sementara itu, Ketua Umum PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah Basri Bermanda memuji keberhasilan PAN dalam memberikan contoh politik kebangsaan. Menurutnya, PAN dapat melakukan islah nasional antara KMP dan KIH. Di saat politisi lain telah keluar jauh dari jalurnya, Zulkifli berhasil mengemas sedemikian rupa sehingga semua ketua umum baik dari KMP maupun KIH hadir.
Lebih dari itu, Basri menjelaskan, saat ini PB Persatuan Tarbiyah memiliki sejumlah pondok pendidikan besar yang tersebar di Indonesia barat hingga Indonesia timur. Tapi dari itu semua, dirinya menyayangkan bahwa pendidikan Islam sangat jauh menikmati 20% APBN yang dialokasikan untuk pendidikan.
Kiswondari
Karena itu, MPR menegaskan agar bangsa Indonesia lebih mengedepankan musyawarah dalam praktik demokrasi. ”Sekarang demokrasi kita lebih liberal dari yang di luar sana, DPR diadu banyak-banyakan suara. Ini yang mesti kita koreksi, padahal dalam Pancasila itu dikedepankan musyawarah mufakat dan gotong-royong,” kata Ketua MPR Zulkifli Hasan dalam Seminar Nasional Milad Persatuan Tarbiyah Islamiyah Ke-87 bertajuk ”Peningkatan Pendidikan Umat dalam Pembentukan Karakter Bangsa Menghadapi ASEAN Community 2015” di Pustaka Proklamator Bung Hatta Bukittinggi, Sumatera Barat, kemarin.
Zulkifli menilai, dalam beberapa waktu belakangan ini, nilai dari empat konsensus dasar, yakni Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semakin memudar. Karena itu, demokrasi di Indonesia sebagai one man one vote seolah- olah meniadakan musyawarah mufakat. ”Pilkada misalnya, yang menang jadi abu yang kalah jadi bubur karena bisa masuk penjara juga (efek politik uang),” papar Zulkifli.
Zulkifli menyayangkan, demokrasi yang seharusnya membawa dampak positif justru sebaliknya. Sejumlah jabatan strategis selepas kemenangan calon jadi rebutan, aliansi kelompok semakin tinggi, dan generasi sekarang pun mulai menyukai yang instan, ingin menjadi pejabat dengan cara cepat dan mengabaikan proses.
”Itu yang MPR ingin luruskan, yang sudah kita punya 4 konsensus dasar di mana Pancasila harus menjadi perilaku kita, budaya kita intinya musyawarah mufakat dan gotong-royong serta Bhinneka Tunggal Ika. Bukankah agama kita mengajarkan itu?” ujar Zulkifli. Oleh karena itu, lanjutnya, antarkelompok yang berbeda harus saling menghormati, bukan saling menyalahkan.
Boleh saja berbeda pandangan politik, tapi silaturahmi merupakan yang utama, kepentingan bangsa ditempatkan di atas kepentingan golongan dan partai. Karena politik kebangsaan adalah politik jangka panjang untuk kemajuan bangsa dan negara. ”Agar demokrasi kita kembali ke demokrasi Pancasila yang intinya musyawarah mufakat dan gotong-royong. Bukan beradu, menang-menangan, dan pasti itu ada luka dan memperjauh silaturahmi,” tegas Ketua Umum DPP PAN itu.
Lebih dari itu, Zulkifli menambahkan, mundurnya bangsa Indonesia akibat generasi muda yang tidak menghormati para founding fathersIndonesia, tapi justru lebih mengidolakan negara lain atau tokoh dari negara lain. Padahal, Bung Karno dan Bung Hatta tak kalah hebat dengan tokoh Amerika atau Nelson Mandela.
Menurut Zulkifli, saat ini pendidikan dan teknologi sudah maju, tetapi belum ada anak muda zaman sekarang yang bisa sehebat Soekarno-Hatta. Itu semua karena daya juang anak sekarang tidak sebanding dengan anak zaman dulu. Indonesia punya potensi alam yang sangat besar dan melimpah melebihi negara mana pun, bahkan Kerajaan Sriwijaya yang ada di Indonesia pernah menjadi kerajaan penguasa, tapi Indonesia kini kalah saing dengan negara tetangga.
”Sekarang terbalik karena faktor kuncinya SDM, kuncinya pendidikan. Itu yang membuat SDM kita unggul dan bangsa Indonesia unggul. Jadi majulah Tarbiyah Indonesia!” sebut Zulkifli.
Sementara itu, Ketua Umum PB Persatuan Tarbiyah Islamiyah Basri Bermanda memuji keberhasilan PAN dalam memberikan contoh politik kebangsaan. Menurutnya, PAN dapat melakukan islah nasional antara KMP dan KIH. Di saat politisi lain telah keluar jauh dari jalurnya, Zulkifli berhasil mengemas sedemikian rupa sehingga semua ketua umum baik dari KMP maupun KIH hadir.
Lebih dari itu, Basri menjelaskan, saat ini PB Persatuan Tarbiyah memiliki sejumlah pondok pendidikan besar yang tersebar di Indonesia barat hingga Indonesia timur. Tapi dari itu semua, dirinya menyayangkan bahwa pendidikan Islam sangat jauh menikmati 20% APBN yang dialokasikan untuk pendidikan.
Kiswondari
(ftr)