Memberantas Perdagangan Manusia

Senin, 11 Mei 2015 - 09:42 WIB
Memberantas Perdagangan...
Memberantas Perdagangan Manusia
A A A
Kasus perbudakan modern (modern slavery ) masih marak terjadi hampir di seluruh dunia. Ironisnya, negara-negara di Asia termasuk sebagai pemasok pertama kasus perbudakan modern. Salah satunya yang cukup marak yaitu praktik perdagangan manusia (human trafficking ).

Dalam beberapa hari terakhir, kasus perdagangan manusia ramai diberitakan, menyusul temuan puluhan mayat yang dikubur massal di tengah hutan Thailand. Diduga, mayat-mayat tersebut adalah migran asal Myanmar dan Bangladesh yang menjadi korban perdagangan manusia.

Global Slavery Index (GSI) 2014 menyebutkan, ada sedikitnya 34,5 juta orang yang menjadi korban perbudakan modern, di dalamnya termasuk perdagangan manusia. Dari jumlah itu, 2/3 di antaranya berasal dari Asia. Bahkan, enam negara di Asia tercatat dalam sepuluh besar negara di dunia dengan kasus perbudakan modern paling banyak, termasuk Indonesia.

Keenam negara tersebut yakni India dengan jumlah korban mencapai 14 juta, disusul China 3,2 juta, Pakistan 2,1 juta, Indonesia 714.100 orang, Bangladesh 680.900 orang, dan Thailand 475.300 orang. Sementara data lain dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, Thailand menjadi negara dengan kasus perdagangan manusia terbanyak bersama dengan Iran, Kuba, Zimbabwe, dan Korea Utara.

Koordinator PBB untuk kasus perdagangan manusia Annette Lyth mengakui kasus perbudakan modern masih menjadi masalah besar di beberapa negara Asia Tenggara. Praktik perdagangan manusia terjadi dengan berbagai modus, seperti penawaran janji palsu pekerjaan dengan imingiming menggiurkan.

Ironisnya, kasus itu banyak menimpa perempuan dan anak-anak. Korban dijebak ke dalam jurang prostitusi dan eksploitasi tenaga kerja yang tidak manusiawi. Tersangka pelaku perdagangan manusia sebagian besar didakwakan kepada agen penyalur yang sering merekrut buruh migran, baik dengan iklan lowongan pekerjaan maupun langsung tanpa tanggung jawab.

Namun mereka, termasuk industri yang menampung buruh migran itu, selalu membantah di dalam roda tenaga kerja mereka terdapat praktik perbudakan. Eksploitasi tenaga kerja jelas merugikan dan melanggar hak tenaga kerja yang dijunjung tinggi hukum internasional. Buruh migran yang sudah terjebak dalam kerja paksa itu sering terjerumus dalam sistem yang amburadul.

Mereka tidak menerima upah yang jelas, tidak mempunyai syarat-syarat kerja, dan tidak dilindungi. Studi yang dilakukan Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan bahwa di dunia sekitar 12,3 juta orang terjebak dalam kerja paksa. Sekitar 9,5 juta pekerja paksa berada di Asia.

Sisanya tersebar 1,3 juta di Amerika Latin dan Karibia, 660.000 orang di sub- Sahara Afrika, 260.000 orang di Timur Tengah dan Afrika Utara, 360.000 di negara-negara industri, dan 210 orang di negaranegara transisi. Dari korban kerja paksa itu, 40-50% di antaranya anak-anak di bawah 18 tahun.

Praktik perdagangan manusia sulit diberangus sebab keuntungannya sangat menjanjikan dan bisa membuat pelaku menjadi kaya raya. PBB bahkan menempatkan perdagangan manusia sebagai bisnis ilegal yang paling menguntungkan ketiga setelah korupsi. Dalam pajak tahunan, ”perusahaan kriminal” itu bisa menghasilkan sekitar USD9,5 juta.

Hasil studi ILO juga berbicara sama. Total keuntungan rata-rata yang diperoleh bisa mencapai USD32 miliar per tahun, sebab keuntungan dari setiap orang rata-rata kurang lebih sebesar USD13. Setiap buruh dipaksa bekerja maksimal dengan upah minimal. Tidak hanya di sektor informal, tapi juga di sektor formal seperti pertanian, perikanan, konstruksi, pabrik bata, bengkel, dan manufaktur.

Sementara itu, UNICEF pernah melaporkan jumlah perempuan yang dilacurkan di Indonesia mencapai 40.000-70.000 dan tersebar di 75.106 tempat di seluruh wilayah Indonesia. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Amerika Serikat (AS) dan ESCAP menempatkan Indonesia sebagai negara terendah ketiga dalam menanggulangi perdagangan perempuan dan anak-anak.

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menjadi pemasok tenaga kerja terbesar kedua di dunia setelah Filipina, 72% di antaranya merupakan perempuan. Mereka hampir 90% menjadi pekerja rumah tangga (PRT). Negara tujuan buruh migran Indonesia yaitu Malaysia, Singapura, Hong Kong,Taiwan, Korea Selatan, dan Timur Tengah.

Kemlu RI bersama otoritas terkait mulai memperketat pengawasan dan regulasi serta meningkatkan perlindungan. Bahkan, pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium di beberapa negara tujuan yang tidak memiliki hukum perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia (PMI). Dengan banyaknya PMI di luar negeri, potensi WNI untuk terjebak dalam perdagangan manusia juga besar.

Baru-baru ini pemerintah RI menyatakan menghentikan penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) penata laksana rumah tangga (PLRT) ke 21 negara di Timur Tengah, sementara untuk ke Malaysia dan negara Asia-Pasifik lain diperketat.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengatakan, ada beberapa alasan pemerintah ingin menyetop penempatan TKI ke Timteng, seperti adanya sistem kafalah di mana posisi tawar TKI lemah dan rentan jadi korban perdagangan manusia. Selain itu, standar gaji di Timteng rendah antara Rp2,7-3 juta.

Timteng juga tidak menerapkan regulasi hukum bagi pekerja migran dan kultur setempat sangat diskriminatif terhadap pekerja perempuan. ”Kedubes dan KBRI juga merekomendasikan ke kami untuk menutup penempatan di Timteng. Standar gaji di sana rendah dan tidak sebanding dengan risiko yang dihadapi TKI. Ini hard policy yang kami lakukan untuk melindungi TKI,” tutur Hanif kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/5) lalu.

Menurutnya, ada 21 negara di Timteng yang tidak akan lagi mempekerjakan PLRT dari Indonesia. Beberapa negara tersebut adalah Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Irak, Iran, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Pakistan, Palestina, Qatar, Sudan Selatan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Yordania.

Sementara itu, ILO memperkirakan sekitar 20,9 juta orang di seluruh dunia mengalami kerja paksa pada 2012. Tahun lalu keuntungan perdagangan manusia bisa mencapai USD150 miliar. Sekitar 11,7 juta masyarakat di kawasan Asia-Pasifik menjadi korban.

Wilayah perdagangan manusia meliputi Kamboja, China, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Lyth mengatakan, perdagangan manusia dan kerja paksa adalah masalah akut dalam berbagai industri, termasuk perikanan, pertanian, manufaktur, konstruksi, dan pekerjaan rumah tangga. Sektor- sektor itu sering menjadi sasaran perdagangan manusia dan kerja paksa. ”Pekerja migran memang sangat rentan terjebak dalam kondisi ini,” ujar Lyth kepada DW.

Menurut Lyth, mereka yang direkrut biasanya orang-orang yang sedang mencari pekerjaan dan berusaha bermigrasi, tapi hanya sedikit pengalaman. Mereka mudah ditipu para penyalur. Mereka biasanya direkrut dari kampung halaman mereka, di daerah perbatasan atau tempat transit lain dan pelabuhan.

Di Indonesia, kata Lyth, banyaknya pulau-pulau kecil dan lokasi yang sangat terpencil menyulitkan otoritas yang berwenang melakukan pengawasan. Di Thailand, pemerintah juga mengalami kesulitan melakukan pemantauan karena berbagai alasan. Selain itu, kurangnya kemauan politik juga jadi hambatan.

Hampir semua pola perdagangan ilegal dan perbudakan memerlukan tanggapan bilateral dan multilateral. ”Perlu kerja sama dan peraturan bersama, misalnya tentang pemulangan korban dan peradilan pidana,” terang Lyth.

Muh shamil
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0959 seconds (0.1#10.140)