Ekonomi Melemah, Perhatikan Industri Padat Karya

Senin, 11 Mei 2015 - 09:26 WIB
Ekonomi Melemah, Perhatikan...
Ekonomi Melemah, Perhatikan Industri Padat Karya
A A A
JAKARTA - Perlambatan ekonomi yang terjadi pada kuartal I/2015 berkorelasi dengan ancaman pemutusan hubungan kerja di sektor industri.

Karena itu, selain mempercepat realisasi belanja modal, pemerintah juga diminta memperhatikan sektor industri. ”Terutama industri yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti industri tekstil atau industri manufaktur. Sektor-sektor ini membutuhkan dukungan pemerintah,” ujar pengamat ekonomi dari Unika Atma Jaya Jakarta, Agustinus Prasetyantoko, saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.

Dia mengapresiasi kebijakan pemerintah terkait keringanan pajak terhadap industri tertentu, termasuk industri padat karya, yang dianggapnya bisa menstimulus perekonomian. Kendati demikian, Prasetyantoko tetap mengingatkan pemerintah untuk segera membenahi berbagai persoalan mendasar yang menghambat industri, seperti soal tarif listrik dan sistem upah.

Senada, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto mengatakan, perlambatan ekonomi telah memukul industri padat karya. Padahal, industri jenis ini memiliki dampak signifikan terhadap daya beli masyarakat.

”Ini berimplikasi pada menurunnya konsumsi rumah tangga, karena mereka tidak mendapat bonus dan jam kerja berkurang lantaran industri melambat. Ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung konsumsi seperti pelepasan mekanisme harga bahan bakar minyak (BBM) ke pasar,” katanya.

Eko melihat kuartal II/2015 menjadi momentum bagi perbaikan ekonomi yang didorong industri karena adanya kenaikan permintaan saat Ramadan. Kendati demikian, dia melihat kenaikan permintaan ini bisa saja gagal direspons bila sektor keuangan dan perbankan tidak menyalurkan kredit yang memadai. ”Optimisme di kuartal II bisa saja berbalik melihat data ekonomi kuartal I/2015, karena sektor keuangan dan perbankan akan hati-hati,” ujarnya.

Di bagian lain, industri perbankan diperkirakan mengalami tantangan berat pada 2015. Hal ini terlihat dari penurunan nilai kredit yang disalurkan dan kenaikan risiko kredit bermasalah (non-performing loan /NPL). Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kredit (year on year /YoY) terus menurun.

Februari 2015, pertumbuhan kredit tercatat masih di atas 12%, lalu menjadi 11,3% pada Maret, hingga 10% di April 2015. Sedangkan risiko gross NPL perbankan cenderung naik hingga mencapai 2,42% per Februari. NPL tertinggi bersumber dari sektor konstruksi yang melampaui batas threshold atau 5,4% per Februari.

Penyumbang NPL utama berikutnya dari sektor perdagangan yang mencapai level 3,5%. Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Yati Kurniati mengatakan, perlambatan kredit perbankan sangat berhubungan dengan kondisi ekonomi nasional yang juga sedang menurun. Di satu sisi, permintaan kredit akan berkurang akibat produksi sedang turun.

Di sisi lain, bank juga memperketat penyaluran kredit demi menjaga risiko NPL. Dia mengatakan, kondisi perbankan ditandai kekuatan modal dan likuiditas yang baik, namun kredit lambat. Tren peningkatan risiko kredit perbankan khususnya berasal dari sektor konstruksi dan perdagangan. ”Risiko ini mayoritas bersumber dari BPD. Bank daerah paling tinggi karena pembiayaan proyek banyak berada di daerah,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, tingginya NPL sektor konstruksi lebih banyak disebabkan proyek konstruksi perumahan, khususnya yang diinisiasi pemerintah. Namun, dirinya mengaku belum mengetahui dengan rinci penyebabnya. ”Kami minta teman-teman di daerah untuk menyelidiki, saat ini saya belum tahu,” jelasnya.

Untuk itu, BI telah menyiapkan beberapa instrumen dalam kebijakan makroprudensial. Kebijakan tersebut perlu ditempuh untuk mencegah terjadinya risiko sistemik. Dalam kebijakan makroprudensial tersebut, BI siap meningkatkan kerja sama dengan OJK, Kementerian Keuangan, dan LPS.

Kerja sama dibutuhkan untuk mendorong intermediasi yang seimbang sehingga penyaluran kredit sesuai dengan penyerapan perekonomian. Kerja sama juga dilakukan untuk meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan. Chief Executive Director Mandiri Institute Destry Damayanti optimistis pertumbuhan ekonomi sepanjang 2015 masih bisa di atas 5%.

Keyakinannya karena melihat potensi pembangunan dan belanja pemerintah yang dapat dilakukan. Menurutnya, pada semester kedua, proyek-proyek infrastruktur pemerintah bisa diakselerasi. Dia memprediksi pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2015 dapat mencapai 5,3%.

Hafid fuad/ Rahmat fiansyah
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0697 seconds (0.1#10.140)