Sultan: Sabda Raja Perintah Langsung Gusti Allah

Sabtu, 09 Mei 2015 - 11:06 WIB
Sultan: Sabda Raja Perintah Langsung Gusti Allah
Sultan: Sabda Raja Perintah Langsung Gusti Allah
A A A
YOGYAKARTA - Simpang siur isi sabda raja selama beberapa hari belakangan ini akhirnya diluruskan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Menepati janjinya, Sultan kemarin membeberkan maksud dan substansi sabda raja.

Penjelasan diharapkan dapat mengakhiri sejumlah pemahaman berbeda dan kecurigaan- kecurigaan tertentu. Adapun sejumlah pihak kembali meminta agar perselisihan internal keraton segera diselesaikan untuk kebaikan keluarga dan seluruh masyarakat Yogyakarta.

”Sultan Yogya tidak arogan, keluarga juga tidak arogan. Dengan musyawarah insya Allah selesai dengan baik, husnul khatimah,” kata Tubagus Abbas Waseh, salah satu keturunan Kesultanan Banten, di Kota Serang, Banten, kemarin. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mendorong agar persoalan keraton segera diselesaikan agar tidak merembet ke masyarakat.

Menurutnya, untuk menyelesaikan persoalan ini bisa saja keraton membentuk dewan lembaga keraton yang anggotanya dari seluruh trah keturunan Dinasti Mataram. ”Dan setelah itu baru duduk bersama dengan kepala dingin membicarakan persoalan yang ada itu,” katanya.

Berbicara di Ndalem Wirogunan, Sri Sultan Hamengku Buwono X kemarin mengakui telah mengeluarkan sabda raja pada Kamis (30/4) dan dawuh raja (5/5). Kedua pernyataan yang kemudian beredar di masyarakat tersebut, biarpun benar, sesungguhnya tidak tepat (bener ning ora pener ).

Salah satunya tudingan penghapusan tradisi salam ”assalamualaikum” di acara-acara protokoler Keraton Yogyakarta. Sultan menegaskan tidak menghilangkan salam tersebut meskipun pada sabda raja dirinya tidak mengucapkan ”assalamualaikum”. Pemimpin Kesultanan Yogyakarta ini beralasan, sabda raja tidak menggunakan katatersebutkarenamerupakan perintah langsung dari Tuhan.

”Saya merasa sabda raja ini merupakan dawuh Allah (wahyu Tuhan) lewat leluhur saya. Masak dawuh Gusti Allah kepada orang lain menggunakan assalamualaikum? Kan tidak,” kata Sultan, kemarin. Mengenai kontroversi penggantian nama dari Buwono menjadi Bawono, Sultanmenjelaskan, Buwono merupakan jagad alit (lingkungan kecil), sedangkan Bawono merupakan jagad ageng (lingkungan besar).

”Umpamanya Buwono itu daerah, maka Bawonoitunasional, Buwono itu nasional berarti Bawono itu internasional,” kata Gubernur DIY ini. Sultan menerangkan nama dan gelarnya saat ini adalah ”Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumenenng Kasepuluh, Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalogo Langgening Bawano Langgeng, Langgenging Toto Panoto Gomo”.

Penggantian frase ”khalifatullah sayiddin ” menjadi ”langgeng toto panoto gomo ” menurutnya untuk pranatan jagat. Sementara mengenai anggapan bahwa putri sulungnya telah ditetapkan sebagai putri mahkota, Sultan menepis. Dia mengaku hanya mengganti nama dan gelar, bukan penunjukan sebagai calon pengganti. ”Kalau lebih dari itu (memastikan sebagai penerus takhta), saya dikira mengarang cerita. Wahyu yang saya dapat sebatas itu,” ungkapnya.

GKR Mangkubumi mengaku memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat setelah mendapat gelar baru. Sayangnya dia tidak menjelaskan detail soal itu. Apakah benar menjadi putri mahkota? Dia menjawab diplomatis. ”Saya diminta duduk di atas watu gilang saat dawuh raja,” ungkapnya. Watu gilang merupakan batu singgasana Panembahan Senopati di mana raja-raja Keraton Yogyakarta sebelum bertakhta harus melalui prosesi duduk di atas batu tersebut. Secara implisit, GKR Mangkubumi merupakan putri keraton yang dipilih sang raja untuk meneruskan takhta Keraton Yogyakarta.

Penolakan Meluas

Penolakan atas sabda raja terus mengemuka. Setelah muncul dari adik-adik Sultan dan abdi dalem, kemarin ratusan spanduk yang menentang sabda itu tersebar di sejumlah titik Yogyakarta. Spanduk itu bertuliskan, ”Kembalikan Paugeran, Jogja Tetap Istimewa”.

Salah seorang pemasang spanduk, Muhammad Muslih, 40, warga Kauman Kecamatan Keraton Yogyakarta mengungkapkan pemasangan seruan itu bukan hanya inisiatif warga Kauman, melainkan warga Yogyakarta yang tidak setuju dengan keputusan Sultan mengganti gelar Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

”Pemasangan ini juga mendapat dukungan dari sejumlah tokoh agama dan pengasuh pondok pesantren,” klaim dia. Sementara itu pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf menilai sabda raja yang dikeluarkan Sri Sultan Hamengku Bawono X tidak berdampak pada pengubahan Undang-Undang (UU) Keistimewaan.

Pasalnya sabda raja tersebut tidak berdampak bagi pemerintahan. ”Misalnya gelar khalifatullah itu ada atau tidak hubungannya dengan pemerintahan atau kewenangan-kewenangan gubernur. Kalau tidak berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab gubernur tidak usah dipermasalahkan,” ujar dia. Dia menilai sabda raja tersebut hanya berkaitan dengan kultur Keraton Yogyakarta. Dengan demikian tidak perlu diselesaikan dengan langkah hukum.

Ridwan anshori/ dita angga/sindonews
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5010 seconds (0.1#10.140)
pixels