Berkontribusi Cerdaskan Kehidupan Bangsa
A
A
A
Perekonomian nasional terus mengalami pertumbuhan, yang salah satunya terlihat dari meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia.
Bank Dunia menilai, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia sangat cepat. Setiap tahun kelas menengah tumbuh 7 juta. Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2003 jumlah kelas menengah di Indonesia hanya 37,7% dari populasi, namun pada 2010 kelas menengah Indonesia mencapai 134 juta jiwa atau 56,5%.
Namun, pertumbuhan kelas menengah yang cukup signifikan tersebut tidak membuat kesenjangan ekonomi semakin rendah. Salah satunya diukur dari rasio gini sebagai ukuran pemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Pada 2005 rasio gini Indonesia sebesar 36,3%, meningkat menjadi 41,3% pada 2013.
Tidak heran jika masih banyak anak Indonesia yang terpaksa memilih tidak melanjutkan sekolah karena faktor biaya. Beruntung, masih ada sebagian masyarakat yang dengan suka rela memberikan pendidikan nonformal kepada mereka. Langkah tersebut diharapkan bisa ikut memberikan kontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan, pendidikan nonformal yang diadakan lembaga swadaya masyarakat (LSM)/yayasan merupakan hal baik. Keberadaannya diharapkan bisa memberikan bekal kepada anak jalanan, anak kurang mampu, dan anak putus sekolah. ”Selama masih ada yang berkeinginan baik, maka kebaikan ini akan terus terjadi,” ucapnya.
Doni mengatakan, biasanya LSM/ yayasan itu merancang program pendidikan luar sekolah dengan tiga komponen dasar, yaitu pengetahuan umum, keterampilan vokasional, dan keterampilan hidup. Kurikulum yang dikembangkan tersebut berdasarkan kebutuhan anak jalanan, anak kurang mampu, dan anak putus sekolah yang menjadi peserta pendidikan.
Hanya, sejauh ini belum ada kurikulum standar yang telah dipergunakan dalam proses pendidikan nonformal tersebut. Akibatnya, outputyang dihasilkan cenderung tidak memiliki kualitas seperti yang diharapkan. Padahal, sebenarnya anak-anak tersebut memiliki hak untuk bisa berkembang lebih jauh lagi demi menjamin masa depan mereka.
Apalagi, menurut Doni, persamaan kesempatan belajar yang menjadi prasyarat akuntabilitas pendidikan adalah memastikan semua siswa dapat hadir di sekolah dan belajar dengan metode pengajaran berkualitas. Materi yang terorganisasi baik, logis, dan koheren yang didukung kehadiran guru yang cakap, kompeten, dan profesional.
Disertai fasilitas sekolah yang aman dan nyaman untuk belajar, kebijakan sekolah yang nondiskriminatif, serta pemberian materi pelajaran yang selaras standar isi minimal kurikulum sesuai yang ditetapkan. Itulah sebabnya, diperlukan campur tangan pemerintah yang lebih besar untuk mengembangkan pendidikan nonformal, sesuai dengan amanat konstitusi yang menyebutkan anak terlantar dilindungi negara.
Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Education Reform di Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen mengakui, keberadaan pendidikan yang diselenggarakan oleh LSM/ yayasan kepada anak-anak kurang beruntung merupakan sesuatu yang bagus. Apalagi harus diakui kalau sebenarnya masih cukup banyak anak yang belum bisa dijangkau pendidikan formal.
Abduhzen menyebutkan, kendati hanya pendidikan nonformal, bukan berarti kualitasnya kalah dengan peserta pendidikan formal. Apalagi jika kurikulum pendidikan nonformal yang dikembangkan aspiratif yang bersifat pragmatis. ”Artinya mempunyai nilai guna praktis untuk kehidupan. Harus menunjang dunia kerja. Tetapi yang nonformal ini sebagian diharapkan memiliki legalitas formal,” katanya.
Keterampilan vokasional yang diberikan oleh LSM/yayasan dimaksudkan untuk membekali anak jalanan dan pekerja anak dengan berbagai keterampilan yang dibutuhkan pada kemudian hari sehingga dapat mandiri secara ekonomis. Adapun keterampilan hidup yang diberikan ditujukan agar anak jalanan dan pekerja anak mempunyai keterampilan untuk mempertahankan kehidupan.
Hal ini disebabkan anak jalanan dan pekerja anak setiap hari harus berhadapan dengan lingkungan kehidupan yang keras. Dengan begitu harus beradaptasi dan mengembangkan strategi mempertahankan kehidupan yang tidak sama dengan anak-anak lain yang tak harus bekerja dan berada di jalanan.
”Pendidikan nonformal sudah terbukti dampak hebatnya. Bill Gates sebagai satu contoh. Dia pernah dikeluarkan(drop out) oleh universitasnya. Namun, program hasil karyanya dan timnya menjalar ke seluruh dunia, bahkan ada di rumah kita dan terbukti bisa memberikan kemudahan di bidang informatika, kemudahan untuk bekerja, belajar, ataupun sekolah,” sebut Abduhzen.
Hermansah
Bank Dunia menilai, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia sangat cepat. Setiap tahun kelas menengah tumbuh 7 juta. Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2003 jumlah kelas menengah di Indonesia hanya 37,7% dari populasi, namun pada 2010 kelas menengah Indonesia mencapai 134 juta jiwa atau 56,5%.
Namun, pertumbuhan kelas menengah yang cukup signifikan tersebut tidak membuat kesenjangan ekonomi semakin rendah. Salah satunya diukur dari rasio gini sebagai ukuran pemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan. Pada 2005 rasio gini Indonesia sebesar 36,3%, meningkat menjadi 41,3% pada 2013.
Tidak heran jika masih banyak anak Indonesia yang terpaksa memilih tidak melanjutkan sekolah karena faktor biaya. Beruntung, masih ada sebagian masyarakat yang dengan suka rela memberikan pendidikan nonformal kepada mereka. Langkah tersebut diharapkan bisa ikut memberikan kontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pengamat Pendidikan Doni Koesoema mengatakan, pendidikan nonformal yang diadakan lembaga swadaya masyarakat (LSM)/yayasan merupakan hal baik. Keberadaannya diharapkan bisa memberikan bekal kepada anak jalanan, anak kurang mampu, dan anak putus sekolah. ”Selama masih ada yang berkeinginan baik, maka kebaikan ini akan terus terjadi,” ucapnya.
Doni mengatakan, biasanya LSM/ yayasan itu merancang program pendidikan luar sekolah dengan tiga komponen dasar, yaitu pengetahuan umum, keterampilan vokasional, dan keterampilan hidup. Kurikulum yang dikembangkan tersebut berdasarkan kebutuhan anak jalanan, anak kurang mampu, dan anak putus sekolah yang menjadi peserta pendidikan.
Hanya, sejauh ini belum ada kurikulum standar yang telah dipergunakan dalam proses pendidikan nonformal tersebut. Akibatnya, outputyang dihasilkan cenderung tidak memiliki kualitas seperti yang diharapkan. Padahal, sebenarnya anak-anak tersebut memiliki hak untuk bisa berkembang lebih jauh lagi demi menjamin masa depan mereka.
Apalagi, menurut Doni, persamaan kesempatan belajar yang menjadi prasyarat akuntabilitas pendidikan adalah memastikan semua siswa dapat hadir di sekolah dan belajar dengan metode pengajaran berkualitas. Materi yang terorganisasi baik, logis, dan koheren yang didukung kehadiran guru yang cakap, kompeten, dan profesional.
Disertai fasilitas sekolah yang aman dan nyaman untuk belajar, kebijakan sekolah yang nondiskriminatif, serta pemberian materi pelajaran yang selaras standar isi minimal kurikulum sesuai yang ditetapkan. Itulah sebabnya, diperlukan campur tangan pemerintah yang lebih besar untuk mengembangkan pendidikan nonformal, sesuai dengan amanat konstitusi yang menyebutkan anak terlantar dilindungi negara.
Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Education Reform di Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen mengakui, keberadaan pendidikan yang diselenggarakan oleh LSM/ yayasan kepada anak-anak kurang beruntung merupakan sesuatu yang bagus. Apalagi harus diakui kalau sebenarnya masih cukup banyak anak yang belum bisa dijangkau pendidikan formal.
Abduhzen menyebutkan, kendati hanya pendidikan nonformal, bukan berarti kualitasnya kalah dengan peserta pendidikan formal. Apalagi jika kurikulum pendidikan nonformal yang dikembangkan aspiratif yang bersifat pragmatis. ”Artinya mempunyai nilai guna praktis untuk kehidupan. Harus menunjang dunia kerja. Tetapi yang nonformal ini sebagian diharapkan memiliki legalitas formal,” katanya.
Keterampilan vokasional yang diberikan oleh LSM/yayasan dimaksudkan untuk membekali anak jalanan dan pekerja anak dengan berbagai keterampilan yang dibutuhkan pada kemudian hari sehingga dapat mandiri secara ekonomis. Adapun keterampilan hidup yang diberikan ditujukan agar anak jalanan dan pekerja anak mempunyai keterampilan untuk mempertahankan kehidupan.
Hal ini disebabkan anak jalanan dan pekerja anak setiap hari harus berhadapan dengan lingkungan kehidupan yang keras. Dengan begitu harus beradaptasi dan mengembangkan strategi mempertahankan kehidupan yang tidak sama dengan anak-anak lain yang tak harus bekerja dan berada di jalanan.
”Pendidikan nonformal sudah terbukti dampak hebatnya. Bill Gates sebagai satu contoh. Dia pernah dikeluarkan(drop out) oleh universitasnya. Namun, program hasil karyanya dan timnya menjalar ke seluruh dunia, bahkan ada di rumah kita dan terbukti bisa memberikan kemudahan di bidang informatika, kemudahan untuk bekerja, belajar, ataupun sekolah,” sebut Abduhzen.
Hermansah
(ftr)