Semangat untuk Hidup yang Lebih Baik
A
A
A
Ada pepatah, ”kejarlah ilmu sampai ke negeri China”, yang artinya tidak ada batasan untuk dapat meraih ilmu. Bahkan, di tengah kondisi yang tidak memungkinkan, banyak cara masih bisa dilakukan untuk dapat belajar.
Kondisi sulit meraih pendidikan formal di Indonesia memang bukan cerita baru. Banyak anak putus sekolah dengan alasan tidak ada biaya untuk melanjutkan, atau terpaksa berhenti sekolah karena harus bekerja mencari rezeki agar dapat bertahan hidup. Dilatarbelakangi kepedulian untuk mengatasi jumlah anak putus sekolah itulah lahir yayasan ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan.
Salah seorang peserta didik yang ikut menjalani sekolah nonformal itu adalah Nia Ellawati. Perempuan berusia 18 tahun yang biasa disapa Ella ini melanjutkan pendidikannya melalui program Paket C yang diselenggarakan Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB) yang berlokasi di kawasan Bintaro.
Sebelumnya, Ella sudah menjalani sekolah formal dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP) di tempat asalnya, yakni Pekalongan. Namun, karena harus pindah danbekerjadiJakarta, Ellaharusrelaberhenti sekolah. ”Sekarang ada kesempatan sekolah lagi. Jadi, saya tertarik untuk ikut. Sebab, saya inginmenempuhpendidikan yang lebih baik. Kemudian dapat pekerjaan yang lebih baik dan saya ingin punya banyak teman juga,” ujarnya.
Ella bercerita banyak hal dan pelajaran yang didapatkannya dari menuntut ilmu di YPAB. Selain karena ada teman dan tutor yang baik, pelajaran yang diberikan YPAB juga tidak hanya mata pelajaran formal. ”Kami juga diajarkan bagaimana berperilaku dan beretika yang baik. Belum lagi di sini ada kelas inspirasi untuk terus memotivasi kami agar tidak mudah menyerah dan putus asa sehingga tambah semangat menjalani hidup,” katanya.
Setelah lulus dari YPAB, jika ada kesempatan lagi, Ella ingin meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Kecintaan pada mata pelajaran matematika, membuatnya semangat untuk menjadi guru matematika. ”Saya ingin bisa menjadi guru karena saya ingin membalas utang budi ini dengan cara menjadi guru bagi anak-anak yang tidak mampu juga,” ujarnya.
Peserta didik YPAB lain, yaitu Edi Asgori, mengaku pertama kali tertarik mengikuti kelas YPAB saat melihat sang pendiri tampil menjadi narasumber di salah satu media. Kemudian, Edi mulai mencari tahu dan mengenal YPAB, hingga akhirnya memutuskan untuk bergabung sebagai peserta didik.
”Saya memang pernah mengalami kegagalan. Keadaan itu membuat saya jadi tidak nyaman berinteraksi dengan lingkungan. Akhirnya saya memutuskan harus bisa sekolah lagi agar saya dapat menambah wawasan dan mendapatkan ijazah,” katanya.
Edi merasa metode pembelajaran yang diberikan YPAB sudah cukup baik. Para tutornya pun beragam, mulai lulusan S-1 hingga S-3 sehingga mereka dinilai sudah paham dengan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. Walaupun bersekolah di YPAB tidak dipungut biaya, Edi mengaku masih mengalami kendala.
Pekerjaan sebagai sopir angkutan kota (angkot) membuat dirinya susah membagi waktu ketika harus bekerja dan bersekolah. Selama bergabung enam bulan belakangan ini, Edi mengatakan, sangat senang karena tutornya mengajar penuh kesabaran. Lingkungan dan teman sesama peserta didik adalah orang-orang yang memiliki semangat tinggi serta motivasi yang besar untuk belajar.
Karena itu, ketika melihat semangat mereka, Edi juga ikut termotivasi untuk semangat bersekolah. ”Jadi, kami semua saling mendukung. Rasa kekeluargaan yang sangat erat di antara peserta didik dan tutor, membuat saya merasa khawatir dan sedih kalau harus berpisah dengan teman-teman yang sudah seperti keluarga,” katanya.
Namun, Edi tetap harus kembali pada tujuan awalnya bersekolah lagi. Sebab, Edi ingin dapat bersaing dan bekerja lebih baik dengan ijazah yang dimilikinya nanti. Edi berharap YPAB bisa terus berkembang dan maju, hingga dikenal masyarakat luas. ”Agar YPAB dapat membantu lebih banyak lagi anak putus sekolah. Di luar sana masih banyak yang membutuhkan pendidikan gratis. Banyak anak yang gagal dan putus sekolah. Jadi, memang saat ini YPAB perlu tempat yang lebih besar dan strategis,” katanya.
Pengalaman berbeda diungkapkan Ridwan dan Rusli, peserta didik Sekolah Master. Sekolah yang berada di kawasan Depok itu sudah menampung banyak murid mulai jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga kuliah. Rusli mengatakan, awal tertarik bersekolah di Master karena memang ingin melanjutkan pendidikannya. ”Saya sempat putus sekolah saat kelas 4 SD. Kemudian ketika tahu bahwa ada sekolah gratis, yaitu Master, saya mulai mencoba,” kata Rusli.
Ridwan pun berkata demikian. Peserta didik kelas 1 SMA ini mengetahui SekolahMasterdari temanayahnya. Sebelumnya, dia pernah bersekolah hingga kelas 5 SD di sekolah di daerah Beji, Depok. Ridwan mengaku sangat senang bisa melanjutkan pendidikan di Master.
Sebab, kegiatan yang dilaksanakan Sekolah Master tidak sebatas belajar biasa. Namun, juga ada seminar dan ekstrakulikuler yang dapat membantu siswa untuk produktif dan beraktivitas lewat kegiatan yang positif.
Rusli menyebutkan, bukan hanya pelajaran formal, Master juga memberikan pelajaran agama melalui materi membaca Alquran. ”Sekolah di tempat ini gratis. Yang penting modalnya hanya DUIT. DUIT singkatan dari doa, usaha, ikhtiar, dan tawakal. Inilah yang diajarkan kepada kami oleh para tutor,” ujarnya.
Rusli bercerita, pelajaran yang ia dan kawan-kawan dapat bukan hanya berasal dari buku, melainkan berdasarkan pengalaman orang lain. ”Jadi, kami tahu mana yang bagus dan tidak, membuat kami lebih paham dan dapat memilah mana yang baik dan buruk,” katanya bersemangat.
Meskipun tidak ada kendala berarti yang dirasakan dengan menjadi peserta didik di Sekolah Master, Ridwan mengatakan pernah diejek teman-temannya. ”Mereka bilang, untuk apa saya bersekolah di tempat ini? Tetapi itu semua tidak saya pedulikan. Sebab, saya merasa sangat nyaman berada di sini. Guru-guru memperlakukan kami dengan baik. Kami sudah seperti keluarga. Mereka tidak pernah membeda-bedakan murid,” kata laki-laki berusia 18 tahun itu.
Teman yang dimiliki Ridwan dan Rusli pun bermacam-macam, mulai pengamen, pedagang asongan, hingga anak jalanan. ”Semua itu tidak menjadi masalah ataupun alasan untuk tidak menjadi orang baik. Karena di Sekolah Master banyak sekali kegiatan positif jika mereka mau melakukannya. Yang paling penting, ada keinginan untuk belajar,” ujar Ridwan.
Rusli menimpali, alasan terbesarnya untuk sekolah lagi adalah ingin mengubah keadaan keluarga. Hal itu dia sadari meskipun tidak sekolah di sekolah formal, ilmu masih bisa diraihnya. ”Kegiatan di sekolah ini beragam. Bahkan, kami sering kedatangan tamu, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk memberikan pelajaran serta motivasi kepada kami,” cerita Rusli dengan raut wajah gembira.
Dina angelina
Kondisi sulit meraih pendidikan formal di Indonesia memang bukan cerita baru. Banyak anak putus sekolah dengan alasan tidak ada biaya untuk melanjutkan, atau terpaksa berhenti sekolah karena harus bekerja mencari rezeki agar dapat bertahan hidup. Dilatarbelakangi kepedulian untuk mengatasi jumlah anak putus sekolah itulah lahir yayasan ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan.
Salah seorang peserta didik yang ikut menjalani sekolah nonformal itu adalah Nia Ellawati. Perempuan berusia 18 tahun yang biasa disapa Ella ini melanjutkan pendidikannya melalui program Paket C yang diselenggarakan Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB) yang berlokasi di kawasan Bintaro.
Sebelumnya, Ella sudah menjalani sekolah formal dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah pertama (SMP) di tempat asalnya, yakni Pekalongan. Namun, karena harus pindah danbekerjadiJakarta, Ellaharusrelaberhenti sekolah. ”Sekarang ada kesempatan sekolah lagi. Jadi, saya tertarik untuk ikut. Sebab, saya inginmenempuhpendidikan yang lebih baik. Kemudian dapat pekerjaan yang lebih baik dan saya ingin punya banyak teman juga,” ujarnya.
Ella bercerita banyak hal dan pelajaran yang didapatkannya dari menuntut ilmu di YPAB. Selain karena ada teman dan tutor yang baik, pelajaran yang diberikan YPAB juga tidak hanya mata pelajaran formal. ”Kami juga diajarkan bagaimana berperilaku dan beretika yang baik. Belum lagi di sini ada kelas inspirasi untuk terus memotivasi kami agar tidak mudah menyerah dan putus asa sehingga tambah semangat menjalani hidup,” katanya.
Setelah lulus dari YPAB, jika ada kesempatan lagi, Ella ingin meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Kecintaan pada mata pelajaran matematika, membuatnya semangat untuk menjadi guru matematika. ”Saya ingin bisa menjadi guru karena saya ingin membalas utang budi ini dengan cara menjadi guru bagi anak-anak yang tidak mampu juga,” ujarnya.
Peserta didik YPAB lain, yaitu Edi Asgori, mengaku pertama kali tertarik mengikuti kelas YPAB saat melihat sang pendiri tampil menjadi narasumber di salah satu media. Kemudian, Edi mulai mencari tahu dan mengenal YPAB, hingga akhirnya memutuskan untuk bergabung sebagai peserta didik.
”Saya memang pernah mengalami kegagalan. Keadaan itu membuat saya jadi tidak nyaman berinteraksi dengan lingkungan. Akhirnya saya memutuskan harus bisa sekolah lagi agar saya dapat menambah wawasan dan mendapatkan ijazah,” katanya.
Edi merasa metode pembelajaran yang diberikan YPAB sudah cukup baik. Para tutornya pun beragam, mulai lulusan S-1 hingga S-3 sehingga mereka dinilai sudah paham dengan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. Walaupun bersekolah di YPAB tidak dipungut biaya, Edi mengaku masih mengalami kendala.
Pekerjaan sebagai sopir angkutan kota (angkot) membuat dirinya susah membagi waktu ketika harus bekerja dan bersekolah. Selama bergabung enam bulan belakangan ini, Edi mengatakan, sangat senang karena tutornya mengajar penuh kesabaran. Lingkungan dan teman sesama peserta didik adalah orang-orang yang memiliki semangat tinggi serta motivasi yang besar untuk belajar.
Karena itu, ketika melihat semangat mereka, Edi juga ikut termotivasi untuk semangat bersekolah. ”Jadi, kami semua saling mendukung. Rasa kekeluargaan yang sangat erat di antara peserta didik dan tutor, membuat saya merasa khawatir dan sedih kalau harus berpisah dengan teman-teman yang sudah seperti keluarga,” katanya.
Namun, Edi tetap harus kembali pada tujuan awalnya bersekolah lagi. Sebab, Edi ingin dapat bersaing dan bekerja lebih baik dengan ijazah yang dimilikinya nanti. Edi berharap YPAB bisa terus berkembang dan maju, hingga dikenal masyarakat luas. ”Agar YPAB dapat membantu lebih banyak lagi anak putus sekolah. Di luar sana masih banyak yang membutuhkan pendidikan gratis. Banyak anak yang gagal dan putus sekolah. Jadi, memang saat ini YPAB perlu tempat yang lebih besar dan strategis,” katanya.
Pengalaman berbeda diungkapkan Ridwan dan Rusli, peserta didik Sekolah Master. Sekolah yang berada di kawasan Depok itu sudah menampung banyak murid mulai jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga kuliah. Rusli mengatakan, awal tertarik bersekolah di Master karena memang ingin melanjutkan pendidikannya. ”Saya sempat putus sekolah saat kelas 4 SD. Kemudian ketika tahu bahwa ada sekolah gratis, yaitu Master, saya mulai mencoba,” kata Rusli.
Ridwan pun berkata demikian. Peserta didik kelas 1 SMA ini mengetahui SekolahMasterdari temanayahnya. Sebelumnya, dia pernah bersekolah hingga kelas 5 SD di sekolah di daerah Beji, Depok. Ridwan mengaku sangat senang bisa melanjutkan pendidikan di Master.
Sebab, kegiatan yang dilaksanakan Sekolah Master tidak sebatas belajar biasa. Namun, juga ada seminar dan ekstrakulikuler yang dapat membantu siswa untuk produktif dan beraktivitas lewat kegiatan yang positif.
Rusli menyebutkan, bukan hanya pelajaran formal, Master juga memberikan pelajaran agama melalui materi membaca Alquran. ”Sekolah di tempat ini gratis. Yang penting modalnya hanya DUIT. DUIT singkatan dari doa, usaha, ikhtiar, dan tawakal. Inilah yang diajarkan kepada kami oleh para tutor,” ujarnya.
Rusli bercerita, pelajaran yang ia dan kawan-kawan dapat bukan hanya berasal dari buku, melainkan berdasarkan pengalaman orang lain. ”Jadi, kami tahu mana yang bagus dan tidak, membuat kami lebih paham dan dapat memilah mana yang baik dan buruk,” katanya bersemangat.
Meskipun tidak ada kendala berarti yang dirasakan dengan menjadi peserta didik di Sekolah Master, Ridwan mengatakan pernah diejek teman-temannya. ”Mereka bilang, untuk apa saya bersekolah di tempat ini? Tetapi itu semua tidak saya pedulikan. Sebab, saya merasa sangat nyaman berada di sini. Guru-guru memperlakukan kami dengan baik. Kami sudah seperti keluarga. Mereka tidak pernah membeda-bedakan murid,” kata laki-laki berusia 18 tahun itu.
Teman yang dimiliki Ridwan dan Rusli pun bermacam-macam, mulai pengamen, pedagang asongan, hingga anak jalanan. ”Semua itu tidak menjadi masalah ataupun alasan untuk tidak menjadi orang baik. Karena di Sekolah Master banyak sekali kegiatan positif jika mereka mau melakukannya. Yang paling penting, ada keinginan untuk belajar,” ujar Ridwan.
Rusli menimpali, alasan terbesarnya untuk sekolah lagi adalah ingin mengubah keadaan keluarga. Hal itu dia sadari meskipun tidak sekolah di sekolah formal, ilmu masih bisa diraihnya. ”Kegiatan di sekolah ini beragam. Bahkan, kami sering kedatangan tamu, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk memberikan pelajaran serta motivasi kepada kami,” cerita Rusli dengan raut wajah gembira.
Dina angelina
(ftr)