Pemerintah Rancang PP Baru Terpidana Mati
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tengah menyusun peraturan baru bagi terpidana mati. Regulasi dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) ini berkaitan dengan pembatasan upaya hukum bagi terpidana mati.
Dalam draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) ini akan diatur pembatasan upaya hukum hanya pada tahap grasi. Artinya grasi merupakan upaya hukum terakhir yang bisa dilakukan oleh terpidana mati. ”Dalam PP tidak ada batasan waktu hanya diatur terpidana yang mengajukan grasi dan grasinya ditolak, maka bisa langsung dieksekusi,” ungkap Dirjen Peraturan Perundang- undangan (PP) Kemenkumham Wicipto Setiadi kepada KORAN SINDO kemarin.
Menurut dia, pembatasan upaya hukum bagi terpidana mati dilakukan bukan pada waktu, tetapi pada upaya grasi. Sebab sulit untuk membatasi waktu karena dalam aturan undang- undang juga tidak membatasi waktu. ”PP tidak boleh mengatur lebih dari UU-nya, maka kita batasi pada grasinya,” paparnya.
Dalam draf RPP itu juga ditekankan bahwa novum haruslah benar-benar berupa bukti baru. Sebab selama ini banyak terpidana mati yang mengajukan peninjauan kembali (PK), tetapi tidak disertai dengan bukti-bukti baru. ”Buktinya tidak berkembang, bukti lama kemudian diajukan lagi,” tandasnya.
Meski demikian, menurut Wicipto, RPP ini masih terus dibahas antarkementerian dan lembaga. Di antaranya Mahkamah Agung, kepolisian, Kejaksaan Agung (Kejagung), Menteri Sekretaris Negara, dan Kementerian Hukum dan HAM. ”Kalau stakeholder setiap lembaga yang terlibat sudah sepakat, RPP ini sudah bisa digunakan,” paparnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Tony T Spontana menyatakan, yang dibutuhkan Kejagung saat ini adalah pembatasan waktu pengajuan PK. ”Sebab sejauh ini belum ada aturannya,” ujar Tony.
Dia mencontohkan terpidana mati Gunawan Santoso. Ketika akan dieksekusi, dia menyatakan akan mengajukan PK sejak beberapa tahun lalu, tetapi sampai saat ini PKnya tidak pernah diajukan. ”Jadi, tidak ada kepastian hukum di sini, seharusnya ada pembatasan waktu (untuk PK) di dalam RPP,” ungkapnya.
Menurut Tony, RPP seharusnya juga bisa mengatur waktu pembatasan PK. Misalnya, jika sudah sekian tahun diberitahukan haknya ternyata tidak mengajukan PK juga bisa dianggap yang bersangkutan melepaskan hak hukumnya. Dengan demikian ada kepastian hukumnya juga.
Meski demikian Tony mengaku belum mendapat informasi mengenai perkembangan RPP ini. ”Saya belum dapat update dari biro hukum tentang perkembangannya,” tandasnya. Meski demikian, menurut Tony, Kejagung juga sudah menata kembali data serta prosedur hukum terpidana mati.
Kejagung ke depan akan aktif menanyakan sikap para terpidana mati melalui somasi. Tujuannya untuk mendapat kepastian hukum atas eksekusi para terpidana. Tony mengatakan, rencana somasi itu dirumuskan pada 9 Januari 2015. Jaksa Agung bersama Menteri Hukum dan HAM, hakim agung MA, Kabareskrim, serta instansi terkait sepakat membatasi jangka waktu pengajuan hak hukum terpidana.
Dalam kesepakatan tersebut, terpidana yang upaya kasasinya ditolak diberi kesempatan mengajukan PK. Namun jangka waktu pengajuan PK tersebut dibatasi. Tidak seperti saat ini, terpidana baru mengajukan PK setelah lewat beberapa tahun pengajuan kasasi. ”Kalau melewati jangka waktu tersebut, yang bersangkutan dianggap tidak menggunakan hak hukumnya,” paparnya.
Jangka waktu yang dimaksud adalah tiga bulan setelah kasasi ditolak. Prosedurnya, Kejagung akan mengirimkan somasi secara rutin untuk menanyakan apakah terpidana akan mengajukan PK atau tidak. Kalau ternyata terpidana mengajukan PK, akan diberi waktu tiga bulan untuk mengajukan. Kalau sampai tiga bulan belum ada jawaban somasi, Kejagung akan menyodorkan surat pernyataan.
Isinya, terpidana tersebut akan mengajukan PK atau tidak. Apabila tidak, terpidana akan dieksekusi. Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar sepakat jika RPP itu juga mengatur pembatasan waktu pengajuan PK. Menurut dia, idealnya waktu pengajuan PK bagi terpidana mati dibatasi maksimal 6 bulan.
”Baik mengajukan atau tidak, batasnya 6 bulan,” ujarnya. Setelah pengajuan PK selesai, lanjutnya, baru bisa mengajukan grasi, ini pun harus dibatasi waktunya agar tidak berlarut-larut.
Hasyim ashari
Dalam draf rancangan peraturan pemerintah (RPP) ini akan diatur pembatasan upaya hukum hanya pada tahap grasi. Artinya grasi merupakan upaya hukum terakhir yang bisa dilakukan oleh terpidana mati. ”Dalam PP tidak ada batasan waktu hanya diatur terpidana yang mengajukan grasi dan grasinya ditolak, maka bisa langsung dieksekusi,” ungkap Dirjen Peraturan Perundang- undangan (PP) Kemenkumham Wicipto Setiadi kepada KORAN SINDO kemarin.
Menurut dia, pembatasan upaya hukum bagi terpidana mati dilakukan bukan pada waktu, tetapi pada upaya grasi. Sebab sulit untuk membatasi waktu karena dalam aturan undang- undang juga tidak membatasi waktu. ”PP tidak boleh mengatur lebih dari UU-nya, maka kita batasi pada grasinya,” paparnya.
Dalam draf RPP itu juga ditekankan bahwa novum haruslah benar-benar berupa bukti baru. Sebab selama ini banyak terpidana mati yang mengajukan peninjauan kembali (PK), tetapi tidak disertai dengan bukti-bukti baru. ”Buktinya tidak berkembang, bukti lama kemudian diajukan lagi,” tandasnya.
Meski demikian, menurut Wicipto, RPP ini masih terus dibahas antarkementerian dan lembaga. Di antaranya Mahkamah Agung, kepolisian, Kejaksaan Agung (Kejagung), Menteri Sekretaris Negara, dan Kementerian Hukum dan HAM. ”Kalau stakeholder setiap lembaga yang terlibat sudah sepakat, RPP ini sudah bisa digunakan,” paparnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Tony T Spontana menyatakan, yang dibutuhkan Kejagung saat ini adalah pembatasan waktu pengajuan PK. ”Sebab sejauh ini belum ada aturannya,” ujar Tony.
Dia mencontohkan terpidana mati Gunawan Santoso. Ketika akan dieksekusi, dia menyatakan akan mengajukan PK sejak beberapa tahun lalu, tetapi sampai saat ini PKnya tidak pernah diajukan. ”Jadi, tidak ada kepastian hukum di sini, seharusnya ada pembatasan waktu (untuk PK) di dalam RPP,” ungkapnya.
Menurut Tony, RPP seharusnya juga bisa mengatur waktu pembatasan PK. Misalnya, jika sudah sekian tahun diberitahukan haknya ternyata tidak mengajukan PK juga bisa dianggap yang bersangkutan melepaskan hak hukumnya. Dengan demikian ada kepastian hukumnya juga.
Meski demikian Tony mengaku belum mendapat informasi mengenai perkembangan RPP ini. ”Saya belum dapat update dari biro hukum tentang perkembangannya,” tandasnya. Meski demikian, menurut Tony, Kejagung juga sudah menata kembali data serta prosedur hukum terpidana mati.
Kejagung ke depan akan aktif menanyakan sikap para terpidana mati melalui somasi. Tujuannya untuk mendapat kepastian hukum atas eksekusi para terpidana. Tony mengatakan, rencana somasi itu dirumuskan pada 9 Januari 2015. Jaksa Agung bersama Menteri Hukum dan HAM, hakim agung MA, Kabareskrim, serta instansi terkait sepakat membatasi jangka waktu pengajuan hak hukum terpidana.
Dalam kesepakatan tersebut, terpidana yang upaya kasasinya ditolak diberi kesempatan mengajukan PK. Namun jangka waktu pengajuan PK tersebut dibatasi. Tidak seperti saat ini, terpidana baru mengajukan PK setelah lewat beberapa tahun pengajuan kasasi. ”Kalau melewati jangka waktu tersebut, yang bersangkutan dianggap tidak menggunakan hak hukumnya,” paparnya.
Jangka waktu yang dimaksud adalah tiga bulan setelah kasasi ditolak. Prosedurnya, Kejagung akan mengirimkan somasi secara rutin untuk menanyakan apakah terpidana akan mengajukan PK atau tidak. Kalau ternyata terpidana mengajukan PK, akan diberi waktu tiga bulan untuk mengajukan. Kalau sampai tiga bulan belum ada jawaban somasi, Kejagung akan menyodorkan surat pernyataan.
Isinya, terpidana tersebut akan mengajukan PK atau tidak. Apabila tidak, terpidana akan dieksekusi. Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar sepakat jika RPP itu juga mengatur pembatasan waktu pengajuan PK. Menurut dia, idealnya waktu pengajuan PK bagi terpidana mati dibatasi maksimal 6 bulan.
”Baik mengajukan atau tidak, batasnya 6 bulan,” ujarnya. Setelah pengajuan PK selesai, lanjutnya, baru bisa mengajukan grasi, ini pun harus dibatasi waktunya agar tidak berlarut-larut.
Hasyim ashari
(ftr)