Sastra dan Kritik Sosial

Minggu, 03 Mei 2015 - 12:16 WIB
Sastra dan Kritik Sosial
Sastra dan Kritik Sosial
A A A
Puisi adalah harapan terakhir yang bisa merawat kebudayaan di muka bumi ketika politik dan ekonomi tak mampu memeliharanya, saya masih yakin sastra (dalam hal ini puisi) memiliki fungsi sebagai “agama” dan kontrol sosial.

**** Hal yang menarik dari sastra ialah selalu diperbincangkan dalam riuh maupun sunyi. Sastra memang selalu seksi untuk diperbincangkan, sampai akhirnya ada pertanyaan apakah sastra masih kontekstual dengan persoalan masa kini.

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus memulainya bahwa sastra selalu diperebutkan oleh kekuasaan Orde Baru, Orde Lama, dan Orde Reformasi hingga sekarang. Mungkin masih ingat saat pilpres tahun lalu, bagaimana Fadli Zon berbalas puisi dengan lawan politiknya. Itu artinya puisi memang dibutuhkan oleh kekuasaan politik. Kemudian kita juga menyadari bahwa sastra bukan merupakan teori yang bisa dipraktekkan seketika. Ia gerak dan digerakkan, hidup dan dihidupkan oleh sesuatu yang tidak disadari namun terjadi.

Jadi, sastra disempurnakan oleh fenomena kejadian alam (bisa ambil contoh puisi Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni). Dan yang paling harus kita pahami bahwa sastra bukan lahir begitu saja tanpa pemikiran intelektual, ia lahir dari cermin kehidupan. Sebuah karya sastra pada umumnya, tidak hanya mampu menyuguhkan rangkaian kata dan bahasa yang estetis dan segar, tetapi juga harus memuat makna yang mendalam, baik yang tersirat maupun sengaja ditegaskan oleh penulisnya.

Karya sastra selain bisa memberikan suatu pengalaman batin yang baru, juga menyadarkan pembaca pada nilai-nilai esensial kehidupan. Karena sastra bukan melulu jadi hiburan dari rasa sunyi penyair, tapi cermin kehidupan sosial yang dapat mencerahkan masyarakat pembacanya.

Saya ingin memulai dari almarhum WS Rendra. Beliaulah yang kemudian disebut sebagai pelopor sastra mimbar (puisi Pamflet), sebagai bentuk kesadaran penyair untuk memberontak terhadap perilaku semenamena pemerintahan. Dengan menggunakan bahasa yang jernih, lugas dan terukur, juga mampu merefleksikan kenyataan yang tengah terjadi, syair Rendra seakan menjadi penyambung lidah masyarakat yang ingin melakukan perlawanan.

Karya-karya Rendra sebagai bentuk kejujuran peristiwa yang terjadi. Bagi Rendra puisimenjadi semacam dokumen peristiwa jauhsebelumlahir Facebook, Twitter, dan YouTube. Karya sastra Rendra menjadi bahan rujukan yang dapat menjadi refleksi kenyataan sosial di masyarakat. Sebagi penyair dan penulis naskah drama, Rendra peduli terhadap kehidupan sosial masyarakatnya.

Puisi-puisinya seolah menjadi potret buram sejarah Indonesia. Bayangkan betapa hampir semua mahasiswa di Indonesia menjadikan beberapa puisi Rendra sebagai materi demonstrasi. Dan, demonstrasi adalah kesadaran sosial itu sendiri. Sejak tahun 1967-an, puisi Rendra sudah sarat kritik sosial dan politik.

Kegelisahan eksistensial Rendra adalah puisi, karena saat Orde Baru fenomena politik sangat kental. Lalu Rendra denganlugasmemanfaatkandiksiyangunik, kadang mudah diterjemahkan, namun tak jarang sulit untuk diterjemahkan.

Generasi Wiji Thukul

Penyair memang sebaiknya bersentuhan dengan masyarakat, bersentuhan dengan kenyataan sosial, karena karya sastra selalu bergesekan dengan masyarakat, agar ia berpihak pada kepentingan masyarakat. Sudah saatnya penyair tidak lagi berpikir menulis puisi untuk menumbuhkan kreativitas, mendapatkan penghasilan dari menulis puisi, akan terkenal karena menulis, menggembirakan hati dan lain-lain.

Sudah saatnya (bahkan sejak lama), penyair menjadi “Khotib” untuk kepentingan ideologi. Puisi harus berbicara persoalan dalam masyarakat, tentang fakta yang terjadi baik itu kemiskinan, pendidikan, sosial, politik, atau harga cabai yang mahal. Wiji Thukul misalnya, menjadikan puisi sebagai dialog menolak adanya kebohongan dan penindasan. Ia ingin penyair sebagai penjaga moral, sehingga sastra memiliki posisi tawar untuk kesadaran masyarakat.

Kritik dan penyadaran sosial lewatsastradiIndonesiasebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan zamanManikbusudahmengedepankan realisme dan menjadikan polemik paling keras sepanjang sejarah sastra di Indonesia. Hingga lahir buku 33 Tokoh Sastra PalingBerpengaruhyangdiusungahlipenelitiDennyJA, kemudianditentang oleh hampir semua kalangan sastrawan bahkan Saut Situmorang dan Iwan Soekri, dua sastrawan senior terkena dampak hukum.

Tetapi harus diakui, sebagai sebuah gerakan, sastra tidak bisa dilakukan sendiri ia harus bergerak secara kolektif agar gerakan penyadaran itu menjadi masif. Karena pada akhirnya karya sastra menjadi amar ma’ruf nahi munkar. Seperti puisi Wiji Thukul. Meski dari sudut pengucapan, tidak ada yang baru, cita rasa estetik yang ditunjukkannya dalam diksi dan metafora sangat tepat.

Puisi baginya didedikasikan pada nasib manusia. Perlawanan terhadap kesewenangwenangan, jeritan kemiskinan, dan kemelaratan menjadi tema puisi-puisinya.

Matdon
Rois ‘Am Majelis Sastra Bandung
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0956 seconds (0.1#10.140)