KPU Tunggu Sengketa Parpol Inkracht
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya menetapkan aturan bagi partai politik (parpol) yang berhak mengajukan pasangan calon kepala daerah dalam pilkada serentak pada Desember 2015.
Berdasarkan aturan yang dimuat dalam peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan, proses verifikasi KPU terhadap parpol yang mengalami konflik kepengurusan akan dilakukan dalam beberapa tahap. Langkah pertama, KPU akan mengecek kepengurusan parpol yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Jika surat keputusan (SK) dari Kemenkumham untuk parpol tertentu tengah digugat di pengadilan, KPU akan menunggu sampai keluar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun jika belum ada keputusan inkracht hingga tiba masa pendaftaran pasangan calon pada 26–28 Juli 2015, KPU mendorong parpol yang berkonflik untuk melakukan islah.
Dari hasil islah tersebut pihak yang bersengketa akan diminta membuat akta perdamaian dan selanjutnya menyusun kepengurusan bersama untuk didaftarkan ke Kemenkumham. ”Kepengurusan yang disetujui antarpihak yang bersengketa harus didaftarkan lagi ke Kemenkumham,” ujar Ketua KPU Husni Kamil Manik di Jakarta kemarin.
Untuk diketahui, keputusan KPU ini berbeda dengan rekomendasi yang disampaikan Panja Pilkada DPR. Rekomendasi panja adalah KPU diminta tidak perlu menunggu putusan pengadilan yang inkracht. Jika proses pengadilan masih berlangsung hingga pendaftaran calon, KPU disarankan hanya mengacu pada putusan akhir pengadilan. ”Ini sudah putusan KPU, jadi tidak perlu lagi dikatakan berbeda dengan rekomendasi DPR,” ujar Komisioner KPU Arief Budiman secara terpisah kemarin.
Lantas, bagaimana jika putusan pengadilan belum inkracht hingga pendaftaran calon dan parpol juga tidak mencapai islah, siapa yang dinyatakan berhak mendaftar? Menanggapi itu, Arief enggan berspekulasi. ”Nanti kita lihat, tapi dugaan kami parpol yang berkonflik akan mencapai islah, itu juga akan terus kami dorong,” ujarnya.
Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang masih terbelah sangat berkepentingan dengan aturan ini. Saat ini dua kubu di partai masing-masing sama-sama mengklaim berhak mengikuti pilkada. Dalam kasus Golkar, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam putusan selanya memerintahkan penundaan pemberlakuan SK pengesahan Menkumham untuk kubu Agung Laksono. Proses sidang sengketa Golkar di PTUN masih berjalan saat ini.
Adapun dalam kasus PPP, PTUN sudah mengabulkan gugatan kubu Djan Faridz dan membatalkan SK Menkumham yang sebelumnya mengesahkan kubu Romahurmuziy (Romi). Namun kasus ini berlanjut karena Menkumham dan Romi sama-sama mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Wakil Ketua DPP PPP versi Muktamar Jakarta Epyardi Asda berpendapat, keputusan KPU sudah baik meski nanti akan dibicarakan di Komisi II. Menurut dia, yang terpenting adalah KPU mengacu pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bukan mengacu pada Kemenkumham saja.”Nanti kita lihat dan pelajari lagi bagaimana dan akan kami rapatkan, sekarang masih reses,” ujar anggota Komisi II DPR itu kemarin.
Ketua Umum DPP PPP hasil Muktamar Surabaya Romi menjelaskan, keputusan KPU ini sesuai dengan UU Nomor 30/2014 di mana setiap penyelenggara pemerintahan terikat pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Menurutnya, memang harus ada kepastian hukum sehingga yang mesti diacu adalah putusan pengadilan yang inkracht. ”Jika belum inkracht, berarti tetap pada SK yang terdaftar di Kemenkumham,” kata Romi.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi Partai Golkar versi Munas Bali Bambang Soesatyo tidak ingin menanggapi jauh putusan KPU. ”Suka-suka dia (KPU)-lah. Yang pasti kita akan hadapi dengan kewenangan kita (DPR) dengan mengacu pada ketentuan yang diberikan undang-undang,” kata Bambang.
Di lain pihak, Ketua DPP Partai Golkar versi Munas Ancol Agun Gunandjar Sudarsa menilai langkah KPU tepat karena tidak ada istilah rekomendasi DPR yang mengikat seperti yang dirumuskan dalam UU MD3. Dalam konteks PKPU, KPU dapat mengabaikan rekomendasi panja. ”Ini sudah pernah terjadi saat Komisi II membahas PKPU yang mengatur syarat keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan parpol. Saat DPR menolak, KPU bersikukuh menerbitkan aturan itu,” ujarnya
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman mengaku kecewa atas keputusan KPU yang tidak mengakomodasi rekomendasi Panja Pilkada dalam PKPU. Oleh karena itu, Komisi II akan memanggil KPU untuk mempertanyakan dasar diabaikannya rekomendasi panja.”Pimpinan DPR dan Komisi II akan mengundang KPU dan Menteri Dalam Negeri pada 4 atau 5 Mei nanti,” kata Rambe kemarin.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai KPU memang mandiri dalam membuat putusan dan harus lepas dari intervensi.
Menurut Titi, dengan peraturan yang ketat KPU secara tidak langsung memaksa partai politik yang bersengketa dan ingin ikut pilkada menyegerakan diri untuk bersatu. ”Yang terbaik tentu islah, terutama untuk kepentingan pencalonan,” kata Titi.
Dian ramdhani/ Kiswondari
Berdasarkan aturan yang dimuat dalam peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan, proses verifikasi KPU terhadap parpol yang mengalami konflik kepengurusan akan dilakukan dalam beberapa tahap. Langkah pertama, KPU akan mengecek kepengurusan parpol yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Jika surat keputusan (SK) dari Kemenkumham untuk parpol tertentu tengah digugat di pengadilan, KPU akan menunggu sampai keluar putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun jika belum ada keputusan inkracht hingga tiba masa pendaftaran pasangan calon pada 26–28 Juli 2015, KPU mendorong parpol yang berkonflik untuk melakukan islah.
Dari hasil islah tersebut pihak yang bersengketa akan diminta membuat akta perdamaian dan selanjutnya menyusun kepengurusan bersama untuk didaftarkan ke Kemenkumham. ”Kepengurusan yang disetujui antarpihak yang bersengketa harus didaftarkan lagi ke Kemenkumham,” ujar Ketua KPU Husni Kamil Manik di Jakarta kemarin.
Untuk diketahui, keputusan KPU ini berbeda dengan rekomendasi yang disampaikan Panja Pilkada DPR. Rekomendasi panja adalah KPU diminta tidak perlu menunggu putusan pengadilan yang inkracht. Jika proses pengadilan masih berlangsung hingga pendaftaran calon, KPU disarankan hanya mengacu pada putusan akhir pengadilan. ”Ini sudah putusan KPU, jadi tidak perlu lagi dikatakan berbeda dengan rekomendasi DPR,” ujar Komisioner KPU Arief Budiman secara terpisah kemarin.
Lantas, bagaimana jika putusan pengadilan belum inkracht hingga pendaftaran calon dan parpol juga tidak mencapai islah, siapa yang dinyatakan berhak mendaftar? Menanggapi itu, Arief enggan berspekulasi. ”Nanti kita lihat, tapi dugaan kami parpol yang berkonflik akan mencapai islah, itu juga akan terus kami dorong,” ujarnya.
Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang masih terbelah sangat berkepentingan dengan aturan ini. Saat ini dua kubu di partai masing-masing sama-sama mengklaim berhak mengikuti pilkada. Dalam kasus Golkar, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam putusan selanya memerintahkan penundaan pemberlakuan SK pengesahan Menkumham untuk kubu Agung Laksono. Proses sidang sengketa Golkar di PTUN masih berjalan saat ini.
Adapun dalam kasus PPP, PTUN sudah mengabulkan gugatan kubu Djan Faridz dan membatalkan SK Menkumham yang sebelumnya mengesahkan kubu Romahurmuziy (Romi). Namun kasus ini berlanjut karena Menkumham dan Romi sama-sama mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Wakil Ketua DPP PPP versi Muktamar Jakarta Epyardi Asda berpendapat, keputusan KPU sudah baik meski nanti akan dibicarakan di Komisi II. Menurut dia, yang terpenting adalah KPU mengacu pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bukan mengacu pada Kemenkumham saja.”Nanti kita lihat dan pelajari lagi bagaimana dan akan kami rapatkan, sekarang masih reses,” ujar anggota Komisi II DPR itu kemarin.
Ketua Umum DPP PPP hasil Muktamar Surabaya Romi menjelaskan, keputusan KPU ini sesuai dengan UU Nomor 30/2014 di mana setiap penyelenggara pemerintahan terikat pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Menurutnya, memang harus ada kepastian hukum sehingga yang mesti diacu adalah putusan pengadilan yang inkracht. ”Jika belum inkracht, berarti tetap pada SK yang terdaftar di Kemenkumham,” kata Romi.
Sementara itu, Sekretaris Fraksi Partai Golkar versi Munas Bali Bambang Soesatyo tidak ingin menanggapi jauh putusan KPU. ”Suka-suka dia (KPU)-lah. Yang pasti kita akan hadapi dengan kewenangan kita (DPR) dengan mengacu pada ketentuan yang diberikan undang-undang,” kata Bambang.
Di lain pihak, Ketua DPP Partai Golkar versi Munas Ancol Agun Gunandjar Sudarsa menilai langkah KPU tepat karena tidak ada istilah rekomendasi DPR yang mengikat seperti yang dirumuskan dalam UU MD3. Dalam konteks PKPU, KPU dapat mengabaikan rekomendasi panja. ”Ini sudah pernah terjadi saat Komisi II membahas PKPU yang mengatur syarat keterwakilan 30% perempuan dalam kepengurusan parpol. Saat DPR menolak, KPU bersikukuh menerbitkan aturan itu,” ujarnya
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman mengaku kecewa atas keputusan KPU yang tidak mengakomodasi rekomendasi Panja Pilkada dalam PKPU. Oleh karena itu, Komisi II akan memanggil KPU untuk mempertanyakan dasar diabaikannya rekomendasi panja.”Pimpinan DPR dan Komisi II akan mengundang KPU dan Menteri Dalam Negeri pada 4 atau 5 Mei nanti,” kata Rambe kemarin.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai KPU memang mandiri dalam membuat putusan dan harus lepas dari intervensi.
Menurut Titi, dengan peraturan yang ketat KPU secara tidak langsung memaksa partai politik yang bersengketa dan ingin ikut pilkada menyegerakan diri untuk bersatu. ”Yang terbaik tentu islah, terutama untuk kepentingan pencalonan,” kata Titi.
Dian ramdhani/ Kiswondari
(ftr)