Kejagung Kembali Siapkan Eksekusi

Jum'at, 01 Mei 2015 - 08:04 WIB
Kejagung Kembali Siapkan Eksekusi
Kejagung Kembali Siapkan Eksekusi
A A A
JAKARTA - Indonesia merespons dingin berbagai kecaman atas pelaksanaan hukuman mati delapan terpidana narkoba. Pemerintah memastikan hukuman mati akan terus dilakukan, termasuk yang saat ini sedang disiapkan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Tony Tribagus Spontana mengakui kejaksaan sedang merencanakan eksekusi gelombang III. Tony belum bersedia mengungkapkan detail rencana itu karena menunggu evaluasi eksekusi mati tahap II pada Rabu (29/4) dini hari lalu. “Pekan depan kemungkinan kami akan menggelar rapat evaluasi atas eksekusi gelombang kedua. Baru setelah itu dipikirkan eksekusi gelombang berikutnya,” kata Tony di Gedung Kejagung, Jakarta, kemarin.

Dia menuturkan, penentuan eksekusi itu nanti akan mencakup waktu pelaksanaan dan jumlah terpidana yang akan dihadapkan pada regu tembak. “Apakah ada jeda waktu hingga sebulan ke depan atau bagaimana, nanti (semuanya) disampaikan,” ujarnya.

Berdasarkan data Kejagung, hingga awal 2015 terdapat 64 narapidana kasus narkoba yang divonis hukuman mati. Enam di antaranya telah dieksekusi pada 18 Januari lalu dan 8 lainnya ditembak Rabu lalu. Sebelumnya Badan Narkotika Nasional (BNN) merilis laporan bahwa hingga saat ini ada 60 terpidana mati kasus narkoba yang menunggu eksekusi.

Tony mengungkapkan, pelaksanaan eksekusi gelombang kedua jauh lebih baik. Parameternya antara lain kesiapan lokasi dan fasilitas, cuaca yang mendukung, serta pengurusan jenazah yang lebih baik. “Semuanya lebih bagus dibandingkan tahap pertama,” kata dia.

Seperti diketahui, delapan terpidana mati kasus narkoba dieksekusi di Lapangan Limus Buntu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Mereka Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami, Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa, Okwudili Oyatanze (ketiganya warga Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), Rodrigo Gularte (Brasil), dan Zainal Abidin (Indonesia).

Satu terpidana yang sempat dibawa ke lapangan tembak, tetapi tak jadi dieksekusi adalah Mary Jane Fiesta Veloso asal Filipina. Eksekusi itu menimbulkan reaksi keras negara-negara sahabat. Australia menarik duta besarnya dari Jakarta sebagai wujud kemarahan.

Kemarin, Menteri Pertahanan Kevin Andrews mengkritik cara Indonesia menangani eksekusi yang dilakukan pada Hari Anzac, hari nasional paling penting di Australia. Menurut Andrews, apa yang dilakukan Indonesia itu seperti penghinaan terhadap Australia. “Saya pikir situasinya sekarang, Indonesia punya presiden dalam situasi lemah, dan kadang orang yang berada dalam situasi itu mengambil langkah yang mereka pikir bisa menunjukkan kekuatan,” kata Andrews.

Reaksi keras juga ditunjukkan media-media Australia. The Courier Mail memasang gambar Presiden Joko Widodo melambaikan tangan berlumur darah dalam sampul muka mereka. Koran itu memberi judul beritanya “Bloody Hands”. Kecaman juga kembali datang dari Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon. Ban mengekspresikan penyesalan mendalam atas eksekusi tersebut. “Hukuman mati tidak punya tempat pada abad ke-21,” ungkap Ban seperti dikutip BBC.

Ban mendesak Indonesia untuk membatalkan eksekusi semua terpidana mati. Desakan ini sejalan dengan sikap 117 negara yang menyuarakan moratorium penggunaan hukuman mati dalam Sidang Majelis Umum PBB pada Desember 2014.

Tidak Bereaksi

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia memastikan tidak akan bereaksi terhadap berbagai protes tersebut. Indonesia juga mengabaikan penarikan duta besar Australia dan Brasil dan meyakini ke depan hubungan antarnegara tidak akan terpengaruh.

“Kami yakin Indonesia masih akan berpengaruh di mata internasional walau sorotan tajam mengarah ke sini beberapa minggu ini,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir. “Terutama pada agenda besar di forum internasional, Indonesia masih dipercaya seperti pengajuan diri sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020,” sambung dia.

Arrmanatha menepis bahwa pelaksanaan eksekusi mati merupakan cara untuk mengangkat citra pemerintah saat ini. Hukuman mati, menurut dia, telah sesuai dengan hukum. Kepada para terpidana juga sudah diberikan beberapa kesempatan untuk membela diri sehingga hukum itu berlapis sebelum pada keputusan akhir.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Jember Honest Doddy Molasy optimistis hubungan bilateral Indonesia-Australia akan kembali membaik dalam waktu beberapa bulan ke depan. Kedua negara saling membutuhkan dalam banyak bidang. “Posisi Indonesia memiliki pengaruh cukup besar dan penting bagi Australia sehingga tidak mungkin mereka memboikot Indonesia,” kata akademisi jebolan Australia ini.

Pakar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mendesak Indonesia agar tidak mendiamkan cara pandang Sekjen PBB soal hukuman mati. Pemerintah, menurut Hikmahanto, perlu melayangkan protes keras atas pernyataan Ban. “Sekjen PBB tidak seharusnya menyampaikan pernyataan yang bersifat khusus dan ditujukan ke negara tertentu. Larangan ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB,” katanya.

Kasus Mary Jane

Kejagung menegaskan penyidikan kasus dugaan perdagangan manusia (human trafficking) yang melibatkan Mary Jane Fiesta Veloso tetap dilakukan di Indonesia. Kejagung menawarkan alternatif pemeriksaan melalui media telekonferensi. “Itu artinya dia tidak akan ke Filipina. Adapun keterangannya dibutuhkan pada 8 dan 14 Mei 2015 mendatang,” kata Tony Spontana.

Dia menjelaskan, penundaan eksekusi Mary Jane berdasarkan permintaan Menteri Kehakiman Filipina. Permintaan itu terkait dengan penyerahan diri Maria Cristina Sergio, sosok yang disebut-sebut sebagai perekrut Mary Jane. Tony melihat ada perbedaan sistem hukum pidana antara Filipina dan Indonesia. Filipina minta Mary Jane memberikan keterangan langsung.

Sementara berdasarkan Pasal 162 ayat 2 KUHAP, dimungkinkan seorang saksi tidak memberikan keterangan secara langsung, melainkan secara tertulis. Tony menegaskan, keterangan tertulis di bawah sumpah bernilai sama dengan pemeriksaan langsung. “Putusan Mary Jane itu tidak akan mengubah putusan yang telah ada. Namun kita lihat dulu saja perkembangannya,” kata dia.

Kejagung, menurut dia, memberikan toleransi kepada ibu dua anak itu sampai Mei 2015. Sementara itu, Mary Jane kemarin bertemu kembali dengan kerabatnya. Keluarga besar yang di antaranya dua anak Mary Jane, kedua orang tua, dan mantan suaminya dengan didampingi kuasa hukum serta perwakilan dari Kedutaan Besar Filipina tiba di LP Wirogunan Yogyakarta sekitar pukul 08.20 WIB.

Rombongan yang melakukan perjalanan dari Cilacap, Jawa Tengah, itu sempat menunggu beberapa saat sebelum akhirnya diizinkan masuk oleh pihak LP Wirogunan. Kepala LP Zaenal Arifin mengatakan, kedatangan keluarga bersifat lepas kangen pascapenundaan eksekusi.

“Pertemuan Mary Jane dan keluarga besar dilakukan di ruang khusus, bukan di ruang yang biasa digunakan menjenguk tahanan,” katanya.

Hasyim asyari/Ananda nararya / Andika hm/Sucipto /ant
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7983 seconds (0.1#10.140)