Penetapan Tersangka Jadi Objek Praperadilan

Rabu, 29 April 2015 - 09:18 WIB
Penetapan Tersangka...
Penetapan Tersangka Jadi Objek Praperadilan
A A A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa penetapan tersangka bisa masuk objek praperadilan jika tanpa disertai dua alat bukti.

Hal itu tertuang dalam putusan gugatan yang diajukan General Manager Sumatera Light South PT Chevron Pacific Indonesia Bachtiar Abdul Fatah atas Undang- Undang (UU) 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bachtiar mempersoalkan ketentuan penetapan tersangka yang tidak masuk dalam objek praperadilan.

Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan Bachtiar tersebut. ”Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD1945 sepanjang tidak dimaknai, termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan,” ungkap Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan di ruang sidang MK, Jakarta, kemarin.

MK menilai, dalam proses peradilan pidana, terdakwa dan terpidana wajib mendapatkan perlindungan terhadap pemenuhan hak asasi manusia walaupun telah diduga melakukan kesalahan. Karena itu, masuknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan diperlukan untuk check and balances system, sehingga MK memandang perlu adanya mekanisme pengujian atas keabsahan alat bukti.

Langkah ini harus dilakukan agar dalam menemukan alat bukti, aparat penegak hukum tidak melakukan kesewenangwenangan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Menurut Arief, penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan dan dimungkinkan adanya kesewenangwenangan.

Dengan adanya alat bukti yang sah, penetapan tersangka pada seseorang menjadi lebih pasti dan tidak diragukan legitimasinya. Untuk itu, MK menyatakan penetapan tersangka masuk dalam objek praperadilan diperlukan apabila proses yang dilakukan tidak ideal.

MK pun memutuskan, frasa bukti permulaan yang cukup dalam Pasal 184 KUHAP harus diartikan dua alat bukti yang kuat sehingga dalam melakukan penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan harus minimal disertai dua alat bukti.

Hakim konstitusi Anwar Usman mengatakan, KUHAP tidak mengatur ketentuan dan mekanisme jumlah alat bukti dalam penetapan tersangka. Pada Pasal 1 angka 14 KUHAP dinyatakan bahwa penetapan tersangka hanya didasari pada bukti permulaan tanpa menyebutkan jumlah alat bukti.

Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan bahwa bukti permulaan telah ada apabila ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti. ”Bahwa asas due process of law sebagai perwujudan pengakuan hak-hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama bagi lembaga-lembaga penegak hukum,” ungkapnya.

Karena itu, MK mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa ”minimal dua alat bukti” dalam proses penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka. Sebelumnya dalam pasal-pasal itu tidak dijelaskan jumlah bukti permulaan.

Selain itu, MK juga mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang Objek Praperadilan. MK menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai objek praperadilan. Meski demikian, putusan MK tidaklah bulat. Tiga hakim menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) atas keputusan ini. Mereka adalah I Dewa Gede Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto.

Ketiga hakim konstitusi ini menganggap pasal 77 menyebutkan penetapan tersangka tetap bukan bagian dari objek praperadilan. Sementara Maqdir Ismail, kuasa hukum Bachtiar, menyatakan putusan MK membuktikan harus ada perlindungan hak asasi manusia bagi seseorang yang ditetapkan tersangka tetapi prosesnya tidak ideal. Ini pun dapat dijadikan pengawasan horizontal terhadap kegiatan penyidik.

”Jadi, ini untuk ingatkan penyidikdari awal bahwa mereka harus hati-hati dalam menetapkan orang menjadi tersangka. Jika tidak maka ada potensi HAM yang dilanggar,” ungkap Maqdir.

Nurul adriyana
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0773 seconds (0.1#10.140)