Dualisme Parpol Dikonsultasikan ke MA

Jum'at, 24 April 2015 - 08:45 WIB
Dualisme Parpol Dikonsultasikan...
Dualisme Parpol Dikonsultasikan ke MA
A A A
JAKARTA - Perdebatan mengenai dualisme kepengurusan terkait keabsahan peserta pilkada serentak belum juga berakhir. Karena itu, Komisi II DPR bersama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berinisiatif konsultasi ke Mahkamah Agung (MA).

”Konsultasi ke MA menjadi jalan terakhir kalau kesepahaman enggak juga ditemukan, tapi tadi belum juga putus,” kata Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman kepada wartawan di sela-sela rapat Panja Pilkada bersama dengan KPU dan Bawaslu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.

Menurut Rambe, konsultasi ke MA merupakan kesepakatan antara Ketua Poksi Fraksi-Fraksi di Komisi II DPR pada akhir pekan lalu. Pasalnya, mereka melihat perdebatan yang dicakup dalam Peraturan KPU (PKPU) Pencalonan itu tidak ada ujungnya. Namun demikian, lanjut Rambe, terdapat beberapa alternatif untuk menentukan kepengurusan parpol mana di antara PPP dan Partai Golkar yang berhak mendaftarkan diri menjadi peserta pilkada.

Pertama, ada kesepakatan bahwa batasan waktu yang dibuat tetap harus ada koordinasi dari KPU dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). ”Batasan paling lambat dua bulan itu tidak usah, kan KPU bisa melakukannya (menentukan batas) kapan saja. Dan jangan mempersulit kita sendiri,” jelas politikus Partai Golkar itu.

Kedua, terkait kepesertaan parpol dalam pilkada serentak, Rambe mengakui semua fraksi, KPU, dan Bawaslu bersepakat bahwa peserta Pemilu 2014 harus ikut serta menjadi peserta Pilkada 2015. Tapi khusus parpol yang berselisih, dan kepengurusan mana yang berhak, maka itu yang masih dicari jalan keluarnya.

”Dengan latar belakang berbeda-beda harusnya dari persyaratan, kalau tidak terjadi inkracht maka peserta Pemilu 2014,” terang Rambe. Rambe berpesan jangan sampai dari PKPU ini ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan secara sepihak. ”KPU memberikan pelayanan yang terbaik lah untuk parpol pemilu,” tandasnya.

Sementara itu, anggota Komisi II dari Fraksi PDIP Arif Wibowo mengatakan, hingga malam kemarin masih ada perbedaan pandangan antar fraksi. Fraksi Golkar meminta agar partai yang masih bersengketa di PTUN agar diberikan pengaturan bahwa apabila terbit putusan PTUN maka bisa dijadikan dasar bagi yang menang untuk memberikan persetujuan kepada calon meskipun belum inkracht.

”Jadi, Golkar berpandangan bahwa misalnya kubu A menang maka mereka berhak memberikan persetujuan kepada calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” kata Arif saat dihubungi wartawan. Menurut Arif, terdapat dua alternatif usulan, yakni kepengurusan yang berhak ditentukan dengan basis SK Menkumham dan putusan inkracht.

Dan kedua , berbasis SK Menkumham dan putusan hukum yang ada sebelum pencalonan meskipun belum inkracht. ”Mayoritas yang setuju usulan nomor satu, kecuali Golkar dan PPP,” ujarnya. Arif menilai pada dasarnya ini merupakan hal teknis yang menjadi kewenangan atributif KPU.

Dalam UU MD3 pun menyebutkan bahwa memang KPU- Bawaslu harus mengadakan rapat konsultasi dengan DPR, tapi sifat rapat konsultasi itu tidak bersifat mengikat. ”Berdasarkan pengalaman masa lalu, KPU sering membuat peraturan yang bertentangan dengan UU. Beberapa fraksi minta agar mengikat, ada rekomendasi. Kalau ada alternatif, lalu KPU lebih cenderung ke salah satu dianggap berpihak,” ujar dia.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, politik uang pada saat pilkada dinilai akan lebih marak jika dibandingkan dengan pemilihan presiden (pilpres). Menurut dia, kecenderungan ini disebabkan rentang jarak antara kandidat dan para pemilih lebih dekat dibandingkan dengan pilpres.

Kandidat calon kepala daerah akan lebih mudah untuk langsung berinteraksi dengan pemilih. ”Pilpres itu kompetisi basisnya nasional. Jadi saat di daerah lebih perpanjangan tim sukses. Bahkan, Kadang-kadang timses tidak mengakar. Komunikasi dengan kandidat lebih sulit. Lebih banyak kampanye oleh tim pemenangan,” jelasnya.

Dengan kemudahan berinteraksi langsung dengan kandidat, potensi praktik politik uang lebih kuat. Kandidat pun berusaha untuk menggunakan segala macam cara untuk menang dalam pilkada. ”Pilkada pusat kepentingan ada di daerah dan isunya sangat lokal. Ruang politik uang lebih kuat karena relasi dengan masyarakat dekat. Semua ada di arena lokal baik kandidat maupun pemilih,” tuturnya.

Apalagi jika salah satu kandidat merupakan petahana, maka dapat dipastikan akan menggunakan kekuasaan yang pada dirinya agar terpilih. Misalnya saja melalui bantuan sosial (bansos) yang ada di pemerintah daerah. ”Dari beberapa sengketa hasil pil-kada, sering terjadi bansos untuk pemenangan. Sebenarnya bansos tidak menjadi masalah jika mengikuti aturan.

Tapi masalahnya, bansos ini dikemas bahwa yang memberikan petahana. Dipersonalisasi. Ini adalah bantuan pemerintah, tapi dipolitisasi bantuan,” jelas dia. Titi mengatakan, butuh komitmen kuat dari para kandidat agar tidak melakukan politik uang di pilkada. Pasalnya, praktik politik uang dimulai oleh para kandidat demi kemenangan.

Kiswondari/dita angga
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5297 seconds (0.1#10.140)