Tiga Ahli Nilai Menkumham Langgar Hukum
A
A
A
JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly dinilai telah melampaui kewenangannya dan melakukan penafsiran keliru atas putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) yang menjadi dasar pengesahan kepengurusan kubu Agung Laksono.
Pandangan ini disampaikan tiga saksi ahli yang dihadirkan DPP Partai Golkar kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) di persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta, kemarin. ”Saya berpendapat menteri memelintir, menyalahpahami putusan Mahkamah Partai, sebab putusan itu tidak mengesahkan salah satu kubu,” ujar mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Laica Marzuki di hadapan Majelis Hakim PTUN yang dipimpin Teguh Satya Bhakti.
Karena itu, SK Menkumham tentang pengesahan perubahan AD/ART serta komposisi kepengurusan Golkar bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yang dikeluarkan atas dasar pemeriksaan badan peradilan sesuai dengan Pasal 2 huruf e UU No 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
”Tapi merupakan Ketetapan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum,” ucapnya.
Pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin juga menilai, ketika putusan MPG menimbulkan perdebatan, seharusnya Menkumham mengundang hakim-hakim MPG itu untuk menanyakan seperti apa putusan sebenarnya. ”Kalau ini tidak dilakukan maka dianggap melanggar prinsip kehati-hatian dan kecermatan karena tidak mengumpulkan data-data secara maksimal,” paparnya.
Sidang akan dilanjutkan Senin (27/4). ”Pengadilan merasa perlu memanggil Ketua Mahkamah Partai Golkar Muladi, untuk diminta keterangannya terkait sengketa ini,” ujar Ketua Majelis Hakim Teguh Satya Bhakti. Sementara menanggapi keterangan ahli tersebut, Ketua DPP Partai Golkar kubu Munas Ancol Lawrence Siburian menilai putusan MPG bersifat final sehingga PTUN seharusnya tidak menyidangkannya.
Berdasarkan Pasal 32 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, juga disebutkan bahwa perselisihan parpol harus diselesaikan secara internal melalui mahkamah partai politik. ”Jadi, SK Menkumham tidak bisa disidangkan di sini (PTUN),” ucapnya.
Sucipto
Pandangan ini disampaikan tiga saksi ahli yang dihadirkan DPP Partai Golkar kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) di persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta, kemarin. ”Saya berpendapat menteri memelintir, menyalahpahami putusan Mahkamah Partai, sebab putusan itu tidak mengesahkan salah satu kubu,” ujar mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Laica Marzuki di hadapan Majelis Hakim PTUN yang dipimpin Teguh Satya Bhakti.
Karena itu, SK Menkumham tentang pengesahan perubahan AD/ART serta komposisi kepengurusan Golkar bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) yang dikeluarkan atas dasar pemeriksaan badan peradilan sesuai dengan Pasal 2 huruf e UU No 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
”Tapi merupakan Ketetapan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum,” ucapnya.
Pakar hukum tata negara Andi Irmanputra Sidin juga menilai, ketika putusan MPG menimbulkan perdebatan, seharusnya Menkumham mengundang hakim-hakim MPG itu untuk menanyakan seperti apa putusan sebenarnya. ”Kalau ini tidak dilakukan maka dianggap melanggar prinsip kehati-hatian dan kecermatan karena tidak mengumpulkan data-data secara maksimal,” paparnya.
Sidang akan dilanjutkan Senin (27/4). ”Pengadilan merasa perlu memanggil Ketua Mahkamah Partai Golkar Muladi, untuk diminta keterangannya terkait sengketa ini,” ujar Ketua Majelis Hakim Teguh Satya Bhakti. Sementara menanggapi keterangan ahli tersebut, Ketua DPP Partai Golkar kubu Munas Ancol Lawrence Siburian menilai putusan MPG bersifat final sehingga PTUN seharusnya tidak menyidangkannya.
Berdasarkan Pasal 32 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, juga disebutkan bahwa perselisihan parpol harus diselesaikan secara internal melalui mahkamah partai politik. ”Jadi, SK Menkumham tidak bisa disidangkan di sini (PTUN),” ucapnya.
Sucipto
(bbg)