PDIP: Reshuffle Kabinet Sulit Dihindari
A
A
A
JAKARTA - Reshuffle kabinet dinilai hal yang sudah sulit dihindari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Makin merosotnya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan menjadi sinyal kuat bagi Jokowi untuk segera merombak jajaran menterinya.
Dukungan reshuffle ini bahkan datang dari elite DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan partai pengusung utama Jokowi. ”Salah satu faktor tidak maksimalnya kinerja pemerintahan Jokowi adalah kinerja kabinet yang tidak optimal. Maka pilihan reshuffle kabinet memang sulit dihindari,” kata Wakil Sekjen DPP PDIP Bidang Pemerintahan Ahmad Basarah di Jakarta kemarin.
Terpisah, Ketua DPP PDIP Sukur Nababan mengatakan, partainya menyadari bahwa kebijakan reshuffle adalah hak prerogatif Presiden. Namun, dengan melihat kondisi terakhir di mana masyarakat makin menunjukkan rasa tidak puas terhadap kinerja pemerintah, perombakan menteri menjadi hal yang niscaya. ”Masyarakat sudah melek huruf, tentu kita tidak bisa menutup mata. Untuk itu, Presiden harus memberikan evaluasi terhadap kinerja menterimenterinya,” kata Sukur di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.
Sukur menjelaskan, evaluasi mutlak dilakukan karena dengan itu Jokowi dapat mengetahui mana menterinya yang harus diganti dan mana yang perlu ditingkatkan kinerjanya. Sukur mengatakan, rapat di DPP PDIP memang tidak dibahas soal reshuffle ataupun figur menteri karena tidak ingin mengintervensi presiden. DPP hanya membahas rekomendasi politik sebagai bagian mengingatkan Presiden.
”Kami punya kepentingan mengingatkan Jokowi. Di sini bedanya partai pengusung dan bukan. Kami mengkritisi untuk perbaikan kinerja,” ujarnya. Terkait hasil survei yang menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan dalam enam bulan yang makin merosot, PDIP melihat itu disebabkan berbagai faktor.
Selain kinerja menteri yang tidak maksimal, faktor lain yang menjadi penghalang pemerintah bekerja maksimal adalah kondisi politik nasional di mana di parlemen masih terbentuk dua blok politik, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). ”Perseteruan politik antara KIH dan KMP di DPR saja sudah memakan waktu sekitar tiga bulan dan praktis pada masa itu hubungan pemerintah dan DPR mengalami stagnasi,” ujar Ahmad Basarah.
Hal lain, kata dia, yakni masa adaptasi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) bersama para menterinya terlalu lamban sehingga belum menemukan chemistry atau format yang sesuai. ”Hal tersebut diperparah lagi atas ulah beberapa menteri atau pejabat setingkat menteri yang punya hidden agenda sendiri di pemerintahan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, paradigma pemerintahan yang dibangun Jokowi belum sepenuhnya dapat diterima parpolparpol pengusung dan pendukungnya. Jokowi, kata Basarah, menganggap bahwa parpol- parpol itu hanya salah satu bagian yang sama dengan kelompok- kelompok pendukung lainnya dalam proses kemenangan di pemilihan presiden.
”Sementara kami menganggap pemerintahan Jokowi-JK lahir dari rahim politik PDIP dan parpol pendukung lainnya. Oleh karenanya terjadi kesalahpahaman yang membuat sinergi pemerintah dengan parpol pendukung tidakmaksimal,” ujarnya. Seperti diberitakan sebelumnya, hingga enam bulan masa pemerintahan, mayoritas publik menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-JK.
Berdasarkan hasil survei yang dirilis Poltracking, Minggu (19/4), sebanyak 48,5% responden menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK, sedangkan yang menyatakan puas hanya 44%, dan mengaku tidak tahu atau tidak menjawab 7,5%. Untuk dapat memperbaiki kinerja pemerintah, salah satu yang diusulkan adalah Jokowi me-reshuffle kabinet.
Sebanyak 41% responden mendukung dilakukan reshuffle , sedangkan yang tidak setuju 28%. Sinyal dukungan reshuffle juga disampaikan Partai Nasdem. Menurut Sekjen DPP Partai NasDem Patrice Rio Capella, rendahnya tingkat kepuasan publik tentu bisa menjadi pintu masuk evaluasi atas kinerja Kabinet Kerja.
”Bila untuk meningkatkan kepuasan masyarakat, demi lancarnya program dan pelayanan masyarakat, NasDem setuju saja di-reshuffle,” katanya. Bagi NasDem, kata dia, reshuffle kabinet itu tujuannya untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan politik atau kepentingan kelompok tertentu saja. Presiden Jokowi juga harus memastikan menteri baru yang diangkatnya mempunyai kinerja lebih baik dibandingkan menteri yang diganti.
”Dengan begitu, kinerja pemerintah diharapkan akan meningkat,” tukasnya. Sementara itu, Sekjen DPP Partai Gerindra, Ahmad Muzani mengatakan, dalam enam bulan, pemerintah sudah dua kali menaikkan harga BBM bersubsidi, dan juga dua kali menurunkannya. Hal itu telah menimbulkan gejolak harga kebutuhan pokok di level masyarakat bawah.
”Sekarang ada kecenderungan mudah membuat keputusan dan mudah ditarik kembali. Ada kesan coba-coba di hampir semua sektor. Ini kecenderungan yang tidak baik,” tegas Ketua Fraksi Partai Gerindra itu.
Rahmat sahid/ kiswondari
Dukungan reshuffle ini bahkan datang dari elite DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan partai pengusung utama Jokowi. ”Salah satu faktor tidak maksimalnya kinerja pemerintahan Jokowi adalah kinerja kabinet yang tidak optimal. Maka pilihan reshuffle kabinet memang sulit dihindari,” kata Wakil Sekjen DPP PDIP Bidang Pemerintahan Ahmad Basarah di Jakarta kemarin.
Terpisah, Ketua DPP PDIP Sukur Nababan mengatakan, partainya menyadari bahwa kebijakan reshuffle adalah hak prerogatif Presiden. Namun, dengan melihat kondisi terakhir di mana masyarakat makin menunjukkan rasa tidak puas terhadap kinerja pemerintah, perombakan menteri menjadi hal yang niscaya. ”Masyarakat sudah melek huruf, tentu kita tidak bisa menutup mata. Untuk itu, Presiden harus memberikan evaluasi terhadap kinerja menterimenterinya,” kata Sukur di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin.
Sukur menjelaskan, evaluasi mutlak dilakukan karena dengan itu Jokowi dapat mengetahui mana menterinya yang harus diganti dan mana yang perlu ditingkatkan kinerjanya. Sukur mengatakan, rapat di DPP PDIP memang tidak dibahas soal reshuffle ataupun figur menteri karena tidak ingin mengintervensi presiden. DPP hanya membahas rekomendasi politik sebagai bagian mengingatkan Presiden.
”Kami punya kepentingan mengingatkan Jokowi. Di sini bedanya partai pengusung dan bukan. Kami mengkritisi untuk perbaikan kinerja,” ujarnya. Terkait hasil survei yang menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan dalam enam bulan yang makin merosot, PDIP melihat itu disebabkan berbagai faktor.
Selain kinerja menteri yang tidak maksimal, faktor lain yang menjadi penghalang pemerintah bekerja maksimal adalah kondisi politik nasional di mana di parlemen masih terbentuk dua blok politik, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). ”Perseteruan politik antara KIH dan KMP di DPR saja sudah memakan waktu sekitar tiga bulan dan praktis pada masa itu hubungan pemerintah dan DPR mengalami stagnasi,” ujar Ahmad Basarah.
Hal lain, kata dia, yakni masa adaptasi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) bersama para menterinya terlalu lamban sehingga belum menemukan chemistry atau format yang sesuai. ”Hal tersebut diperparah lagi atas ulah beberapa menteri atau pejabat setingkat menteri yang punya hidden agenda sendiri di pemerintahan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, paradigma pemerintahan yang dibangun Jokowi belum sepenuhnya dapat diterima parpolparpol pengusung dan pendukungnya. Jokowi, kata Basarah, menganggap bahwa parpol- parpol itu hanya salah satu bagian yang sama dengan kelompok- kelompok pendukung lainnya dalam proses kemenangan di pemilihan presiden.
”Sementara kami menganggap pemerintahan Jokowi-JK lahir dari rahim politik PDIP dan parpol pendukung lainnya. Oleh karenanya terjadi kesalahpahaman yang membuat sinergi pemerintah dengan parpol pendukung tidakmaksimal,” ujarnya. Seperti diberitakan sebelumnya, hingga enam bulan masa pemerintahan, mayoritas publik menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-JK.
Berdasarkan hasil survei yang dirilis Poltracking, Minggu (19/4), sebanyak 48,5% responden menyatakan tidak puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK, sedangkan yang menyatakan puas hanya 44%, dan mengaku tidak tahu atau tidak menjawab 7,5%. Untuk dapat memperbaiki kinerja pemerintah, salah satu yang diusulkan adalah Jokowi me-reshuffle kabinet.
Sebanyak 41% responden mendukung dilakukan reshuffle , sedangkan yang tidak setuju 28%. Sinyal dukungan reshuffle juga disampaikan Partai Nasdem. Menurut Sekjen DPP Partai NasDem Patrice Rio Capella, rendahnya tingkat kepuasan publik tentu bisa menjadi pintu masuk evaluasi atas kinerja Kabinet Kerja.
”Bila untuk meningkatkan kepuasan masyarakat, demi lancarnya program dan pelayanan masyarakat, NasDem setuju saja di-reshuffle,” katanya. Bagi NasDem, kata dia, reshuffle kabinet itu tujuannya untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan politik atau kepentingan kelompok tertentu saja. Presiden Jokowi juga harus memastikan menteri baru yang diangkatnya mempunyai kinerja lebih baik dibandingkan menteri yang diganti.
”Dengan begitu, kinerja pemerintah diharapkan akan meningkat,” tukasnya. Sementara itu, Sekjen DPP Partai Gerindra, Ahmad Muzani mengatakan, dalam enam bulan, pemerintah sudah dua kali menaikkan harga BBM bersubsidi, dan juga dua kali menurunkannya. Hal itu telah menimbulkan gejolak harga kebutuhan pokok di level masyarakat bawah.
”Sekarang ada kecenderungan mudah membuat keputusan dan mudah ditarik kembali. Ada kesan coba-coba di hampir semua sektor. Ini kecenderungan yang tidak baik,” tegas Ketua Fraksi Partai Gerindra itu.
Rahmat sahid/ kiswondari
(bbg)