Ketika Ular Melawan Takdir

Minggu, 19 April 2015 - 10:12 WIB
Ketika Ular Melawan Takdir
Ketika Ular Melawan Takdir
A A A
Teater Koma mementaskan lakon Opera Ular Putih di Graha Bhakti Budaya, TIM, dari 3 hingga 19 April, hari ini. Lakon produki ke-139 yang dibesut sutradara N Riantiarno ini menghadirkan berlapis-lapis nilai. Ada nilai religi, ada nilai moral, etik dan estetik.

Dikisahkan, Phitinio-seekor ular putih-ingin berubah wujud menjadi (siluman) manusia. Motifnya, ia ingin membalas kebaikan manusia yang pernah menolongnya.

Niatnya tak mudah diwujudkan, karena para dewa dan dewi melarangnya turun ke bumi dan mengganggu manusia. Jika larangan itu dilanggar, risikonya adalah hukuman mati. Namun, niatnya untuk turun ke bumi begitu kuat, sehingga terjadi pertempuran ketika pasukan langit yang dipimpin Paduka Dewa Bahai menghalanginya. Pertarungan terhenti ketika Dewa Tinggi yang arif dan bijaksana melepaskannya.

Setibanya di bumi, Phitinio-ular putih yang berubah rupa menjadi perempuan cantik- bertemu dengan Kohanbun. Kohanbun yang bekerja sebagai asisten apoteker merupakan reinkarnasi lelaki miskin yang pernah menolongnya. Ke-duanya saling jatuh cinta. Kohanbun dan Phitinio akhirnya menikah. Mereka lalu membangun usaha apotek sendiri dan membuka praktik pengobatan gratis bagi rakyat miskin.

Atas kepedulian terhadap rakyat itulah, nama Kohanbun dan Phitinio makin populer di kalangan rakyat miskin. Kohanbun pun dikenal sebagai tabib masyhur yang bijaksana serta dermawan. Namun, kebaikan Phitinio tidak serta merta menghapus takdirnya. Label siluman tetaplah siluman yang identik dengan kejahatan. Kebaikan dan kejahatan menurut langit telah digariskan dalam porsinya masing-masing.

Phitinio pun harus menerima hukuman. Ia ditangkap dan dipenjarakan seumur hidup di dalam pagoda karena telah melanggar aturan, menyentuh bumi dan menikahi manusia. Meski dipenjara, hasratnya untuk berbuat baik tak pudar. Teater Koma, dengan didukung pemain berpengalaman, berhasil menghidupkan pesan di balik kisah ini. Lakon ini hadir di tengah konteks hukum dan sosiopolitik yang semakin kacau.

Pada satu sisi, masyarakat semakin bingung membedakan mana yang benar dan mana yang salah ketika seorang terang-benderang bersalah, namun dibenarkan oleh hukum. Pada sisi yang lain, stereotip terhadap orang atau kelompok tertentu kerap menghapus apa pun yang bernilai positif pada orang atau kelompok itu. Perbuatan baik sekalipun, sering dicurigai mengandung niat jahat. Itulah konteks yang disentil Opera Ular Putih . Lakon Opera Ular Putih sendiri memang pernah dimainkan pada masa Orde Baru.

Namun, menurut sang sutradara N. Riantiarno, pementasan kala itu kurang ekspresif dan elaboratif. Maklum, pada masa itu para penguasa sangat sensitif dengan kritik. Pada pementasan kedua kali ini, Opera Ular Putih dikemas secara ciamik dan kekinian. ”Dalam lakon yang ditayangkan kedua kalinya ini, kami lebih ekspresif dalam menyampaikan pesan. (Karena), selain kebebasan menyampaikan tadi, lakon ini juga kami bingkai dengan suguhan yang modern agar dapat dicerna dengan mudah dari berbagai kalangan,” ujarnya.

Diapresiasi Siswa

Lakon Opera Ular Putih tak hanya dinikmati oleh warga Jakarta. Sekelompok siswa binaan Bakti BCA dari SMAN 1 Karangmojo Yogyakarta, SMAN 1 Gadingrejo Lampung, dan SMAN 3 Serang beserta para guru pendamping mereka, pada Minggu (12/4), juga menyaksikan suguhan para aktor Teater Koma. Ini merupakan upaya bersama Teater Koma dan BCA agar mendekatkan dunia teater kepada para pelajar.

Pada acara nonton bareng para pelajar itu, Kepala Produksi Teater Koma Ratna Riantiarno menjelaskan pentingnya mengembangkan budaya teater di dalam dunia pendidikan. Menurutnya, teater bukan sekadar tontonan untuk hiburan belaka. Di dalamnya terdapat banyak pelajaran yang dapat dipetik oleh pelajar. Misalnya, dalam teater dibutuhkan sebuah kerja sama tim secara menyeluruh baik mulai aktor utama, aktor pendukung, hingga penata panggung.

”Semua menjadi satu kesatuan yang tidak bisa diremehkan perannya, termasuk penata panggung dan yang bekerja di balik layar,” tuturnya. Keseriusan dan tekad yang kuat adalah modal utama dalam membentuk disiplin dalam budaya teater. Jadwal latihan teater yang cukup ketat serta kesulitan menyinkronkan waktu latihan dapat menguras energi para pemain. Di sinilah, menurutnya, pemain dapat belajar tentang arti sebuah disiplin dan kerja sama.

Disiplin, komitmen, serta kerja sama merupakan elemen yang dapat mengarah kepada pembentukan karakter ke arah yang lebih positif. Sekretaris BCA Inge Setiawati mengatakan, kerja sama dengan Teater Koma dalam memperkenalkan seni budaya teater kepada siswa adalah komitmen BCA. Bentuk dukungan tersebut dilakukan dengan memberikan penyediaan fasilitas di sekolah-sekolah binaan yang dibutuhkan para guru maupun pelajar.

”Kami senantiasa berkomitmen untuk turut memberikan dukungan baik kepada pengembangan dunia pendidikan maupun peningkatan mutu sumber daya manusia. Salah satu bentuk nyata dukungan tersebut adalah dukungan yang diberikan BCA kepada sekolah-sekolah binaan berupa penyediaan fasilitas maupun softskill yang dibutuhkan baik kepada para guru maupun para siswa,” paparnya.

Imas damayanti
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3906 seconds (0.1#10.140)