Masih Sempat Mengajar di Rumah Bimbingan Belajar
A
A
A
TAK hanya keluarga korban yang terpukul dengan pembunuhan dan pekerjaan Deudeuh Alfisahrin alias Tata Chubby alias Empi, 26.
Keluarga pelaku pun seolah tidak percaya jika M Prio Santoso, 25, memakai jasa wanita melalui Twitter, bahkan hingga nekat membunuhnya. ”Saya kaget, tak percaya dia pelakunya. Saya kebetulan mengikuti juga informasi pembunuhan Deudeuh ini,” kata Suhdi, paman Prio, ketika ditemui di Jalan Suka Bakti RT 5/2, Kelurahan Suka Bakti, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, kemarin.
Prio adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Susiadi dan Ersih. Setelah ditinggal mati ayahnya, Suhdi yang membawa Prio ke Tangerang dari Cimanggis, Kota Depok. Menurut dia, Prio merupakan anak muda yang pintar dan agamais. Ketika duduk di kelas tiga SD, Prio selalu dapat nilai bagus dan juara satu. Bahkan, Prio meraih beasiswa dari Kementerian Agama untuk kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). ”Kesehariannya juga tidak aneh, di kamarnya saya enggak pernah dapati gambar perempuan, film, atau yang agak menyimpang seksnya,” ujar Suhdi.
Meski urung menyelesaikan tugas akhirnya di IPB, Prio adalah lelaki yang tak banyak tingkah. ”Kalau di rumah dia diam saja. Jarang main. Salat rajin, dari SD, SMP, pesantren ranking satu terus, bahkan dapat beasiswa,” katanya. Alasan Suhdi mengirimkan Prio kepondok pesantren karena dia khawatir akan lingkungan di sekitar kediamannya.
”Bukan karena dia nakal, saya ingin dia mendalami tentang agama Islam,” tambahnya. Neneng Aliyanti, istri Suhdi, menuturkan bahwa keluarganyalah yang membiayai sekolah Prio. Tapi, sudah dua tahun terakhir, setelah Prio menikah di Bogor, mereka belum bertemu lagi. Kini, Prio telah memiliki anak. ”Ya, kami menganggap seperti anak sendiri, tapi setelah menikah tak ada kabar lagi,” ujarnya.
Di rumah kontrakannya di Jalan Batu Tapak II RT 01/11, Kampung Mutiara Baru, Desa Kedung Waringin, Bojonggede, Kabupaten Bogor, Prio dikenal kurang bersosialisasi dan tertutup. Pelaku tinggal di sini sejak 18 Februari 2015 bersama Rizki Oktaviani Bilqis, istri, dan satu anak laki-lakinya.
”Dia sudah 2 kali pindah kontrakan. Yang pertama di kontrakan Pak Slamet, baru sebulan dia pindah kontrakan lagi, tapi masih di RT 1, punya Pak Burhanudin,” ujar Syamsul Rizal, ketua RT setempat. Pelaku pindah kontrakan pada 8 Maret lalu dengan alasan anaknya sering menangis karena di belakang rumahnya ada sebuah makam. Dia hanya mengetahui pelaku merupakan guru les privat pada lembaga bimbingan belajar di Jakarta Barat. ”Dia jarang keluar rumah. Kalau kerja juga dia pergi pagi, terus pulangnya malam,” ucapnya.
Burhanudin, pemilik tempat tersangka tinggal, mengenal Prio sebagai pribadi yang baik dan tidak berperilaku aneh-aneh. ”Saat datang untuk mengontrak juga biasa saja, kelihatannya baik,” ujarnya. Di lingkungan rumah bimbingan belajar, teman satu kantornya mengenal Prio memiliki kepribadian yang mudah bergaul dan sikap profesional dalam bekerja. Ditemui di rumah belajar Clavius, Jalan Surya Mandala I, Kelurahan Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Benni Setiawan, 31, rekan kerja Prio, menyebut Prio sebagai orang yang mudah bergaul.
”Kita (pengajar) mengenal dia sebagai pribadi yang baik. Benar dia guru matematika dan IPA, tapi bukan termasuk pengajar berprestasi,” ujarnya. Kepribadian tegas dan disiplin serta ramah kerap ditunjukkan Rio saat dia mengajar di kelas. Melihat sosok Prio yang demikian, Benni tak menyangka Prio tega menghabisi nyawa orang lain, terlebih ”bermain” dengan wanita panggilan freelance.
Menurut dia, Prio baru 1,5 tahun kerja di tempat itu dengan gaji Rp3,5 juta. Setiap hari Prio selaluketempat kerjadanpulang rumah dengan transportasi umum, yaitu kereta Commuter Line dan bus Transjakarta. Sepengetahuan Ima, staf administrasi di bimbingan belajar itu, pada Senin atau Selasa Prio masih mengajar karena dia memegang kelas XII. ”Perilakunya biasa saja, sampai sekarang saya enggak percaya,” ujarnya.
Denny irawan/ haryudi/yan yusuf
Keluarga pelaku pun seolah tidak percaya jika M Prio Santoso, 25, memakai jasa wanita melalui Twitter, bahkan hingga nekat membunuhnya. ”Saya kaget, tak percaya dia pelakunya. Saya kebetulan mengikuti juga informasi pembunuhan Deudeuh ini,” kata Suhdi, paman Prio, ketika ditemui di Jalan Suka Bakti RT 5/2, Kelurahan Suka Bakti, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, kemarin.
Prio adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Susiadi dan Ersih. Setelah ditinggal mati ayahnya, Suhdi yang membawa Prio ke Tangerang dari Cimanggis, Kota Depok. Menurut dia, Prio merupakan anak muda yang pintar dan agamais. Ketika duduk di kelas tiga SD, Prio selalu dapat nilai bagus dan juara satu. Bahkan, Prio meraih beasiswa dari Kementerian Agama untuk kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). ”Kesehariannya juga tidak aneh, di kamarnya saya enggak pernah dapati gambar perempuan, film, atau yang agak menyimpang seksnya,” ujar Suhdi.
Meski urung menyelesaikan tugas akhirnya di IPB, Prio adalah lelaki yang tak banyak tingkah. ”Kalau di rumah dia diam saja. Jarang main. Salat rajin, dari SD, SMP, pesantren ranking satu terus, bahkan dapat beasiswa,” katanya. Alasan Suhdi mengirimkan Prio kepondok pesantren karena dia khawatir akan lingkungan di sekitar kediamannya.
”Bukan karena dia nakal, saya ingin dia mendalami tentang agama Islam,” tambahnya. Neneng Aliyanti, istri Suhdi, menuturkan bahwa keluarganyalah yang membiayai sekolah Prio. Tapi, sudah dua tahun terakhir, setelah Prio menikah di Bogor, mereka belum bertemu lagi. Kini, Prio telah memiliki anak. ”Ya, kami menganggap seperti anak sendiri, tapi setelah menikah tak ada kabar lagi,” ujarnya.
Di rumah kontrakannya di Jalan Batu Tapak II RT 01/11, Kampung Mutiara Baru, Desa Kedung Waringin, Bojonggede, Kabupaten Bogor, Prio dikenal kurang bersosialisasi dan tertutup. Pelaku tinggal di sini sejak 18 Februari 2015 bersama Rizki Oktaviani Bilqis, istri, dan satu anak laki-lakinya.
”Dia sudah 2 kali pindah kontrakan. Yang pertama di kontrakan Pak Slamet, baru sebulan dia pindah kontrakan lagi, tapi masih di RT 1, punya Pak Burhanudin,” ujar Syamsul Rizal, ketua RT setempat. Pelaku pindah kontrakan pada 8 Maret lalu dengan alasan anaknya sering menangis karena di belakang rumahnya ada sebuah makam. Dia hanya mengetahui pelaku merupakan guru les privat pada lembaga bimbingan belajar di Jakarta Barat. ”Dia jarang keluar rumah. Kalau kerja juga dia pergi pagi, terus pulangnya malam,” ucapnya.
Burhanudin, pemilik tempat tersangka tinggal, mengenal Prio sebagai pribadi yang baik dan tidak berperilaku aneh-aneh. ”Saat datang untuk mengontrak juga biasa saja, kelihatannya baik,” ujarnya. Di lingkungan rumah bimbingan belajar, teman satu kantornya mengenal Prio memiliki kepribadian yang mudah bergaul dan sikap profesional dalam bekerja. Ditemui di rumah belajar Clavius, Jalan Surya Mandala I, Kelurahan Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Benni Setiawan, 31, rekan kerja Prio, menyebut Prio sebagai orang yang mudah bergaul.
”Kita (pengajar) mengenal dia sebagai pribadi yang baik. Benar dia guru matematika dan IPA, tapi bukan termasuk pengajar berprestasi,” ujarnya. Kepribadian tegas dan disiplin serta ramah kerap ditunjukkan Rio saat dia mengajar di kelas. Melihat sosok Prio yang demikian, Benni tak menyangka Prio tega menghabisi nyawa orang lain, terlebih ”bermain” dengan wanita panggilan freelance.
Menurut dia, Prio baru 1,5 tahun kerja di tempat itu dengan gaji Rp3,5 juta. Setiap hari Prio selaluketempat kerjadanpulang rumah dengan transportasi umum, yaitu kereta Commuter Line dan bus Transjakarta. Sepengetahuan Ima, staf administrasi di bimbingan belajar itu, pada Senin atau Selasa Prio masih mengajar karena dia memegang kelas XII. ”Perilakunya biasa saja, sampai sekarang saya enggak percaya,” ujarnya.
Denny irawan/ haryudi/yan yusuf
(ars)