12 Juta Anak Terpaksa Berhenti Sekolah

Kamis, 16 April 2015 - 08:28 WIB
12 Juta Anak Terpaksa...
12 Juta Anak Terpaksa Berhenti Sekolah
A A A
Kemiskinan, diskriminasi gender, dan kekerasan memaksa lebih dari 12 juta anak di Timur Tengah harus berhenti sekolah.

Itu menjadi ancaman bagi masa depan anak-anak di tengah rendahnya kepedulian pemerintah di berbagai negara Timur Tengah yang lebih fokus mengurusi senjata dan kekuasaan dibandingkan pendidikan.

Badan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) Urusan Anak- Anak (UNICEF) memperingatkan tiga juta anak-anak di Suriah dan Irak harus berhenti sekolah karena peperangan. Mereka terpaksa ikut mengungsi ke lokasi yang lebih aman dan meninggalkan kawan serta harta benda. Laporan yang disusun UNICEF dan Institut untuk Statistik dari Badan Pendidikan dan Budaya PBB (UNIESCO) mengungkapkan, jumlah anak yang keluar dari sekolah di Timur Tengah memang mengalami penurunan.

Namun, jumlah keseluruhan anak yang tidak mendapatkan fasilitas pendidikan tetap tinggi. Sekitar 4,3 juta anak usia sekolah dasar dan 2,9 juta anak usia sekolah menengah berhenti bersekolah. Sedangkan 5,1 juta anak juga tidak mendapatkan kesempatan bergabung dengan taman kanak-kanak dan pendidikan usia dini. Yaman menjadi negara terburuk di mana anak berusia prasekolah tidak mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak.

Djibouti dan Sudan menjadi negara yang paling buruk dalam layanan pendidikan pada anak sekolah menengah, disusul Iran dan Maroko. Kemiskinan menjadi alasan utama anak-anak tidak dapat bersekolah. Keluarga enggan mengeluarkan biaya untuk membeli buku dan seragam. Banyak keluarga juga sangat khawatir jika anak-anak harus bersekolah, padahal mereka dapat bekerja.

”Anak-anak keluarga miskin, keluarga yang tidak mendapatkan keuntungan, sering tidak menyekolahkan putra-putrinya,” kata Maria Calivis, direktur regional UNICEF, kemarin di Beirut, Lebanon. Diskriminasi gender juga menjadi alasan klasik. ”Anak perempuan kerap tidak dihargai. Setelah dewasa, mereka tidak bekerja. Keluarga berpandangan mereka tak perlu belajar,” demikian laporan UNICEF dan UNESCO tersebut. Apalagi, banyak negara Timur Tengah yang meminta anak perempuan untuk menikah di usia dini.

”Bocah perempuan di pedalaman sangat tidak mendapatkan kesempatan yang menguntungkan,” ucap Dina Craissati, pejabat UNICEF, dilansir AFP . Kekerasan juga menjadi permasalahan, terutama di Suriah dan Irak, di mana jutaan anak-anak tidak mendapatkan layanan pendidikan. Ribuan sekolah pun terpaksa ditutup karena alasan keamanan.

”Saya biasanya pergi ke sekolah sebelum tentara itu menyerbu (kota kami),” ujar salah satu anak pada video yang dirilis UNICEF. Seiring meluasnya krisis di Yaman dan Libya, Craissati memperkirakan lebih banyak anak tidak dapat belajar di sekolah di dua negara tersebut. Laporan PBB awal April lalu mengungkap satu pertiga gerilyawan yang bertempur di Yaman adalah anak-anak.

”Kita melihat anak-anak di medan pertempuran. Mereka kerap menjadi terluka dan tewas di medan tempur,” ujar Julien Harnei, perwakilan UNICEF di Yaman. UNICEF dan UNESCO menyerukan dunia internasional untuk memperhatikan pendanaan di situasi darurat. Mereka juga meminta berbagai negara di Timur Tengah harus memahami bahwa konflik akan berakibat buruk bagi pendidikan anak.

”Perlunya upaya lintas sektor untuk membantu anak tetap bersekolah di tengah peperangan,” demikian rekomendasi dua lembaga PBB itu.

Andika Hendra M
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1113 seconds (0.1#10.140)