Akses Pendidikan untuk Anak Jalanan
A
A
A
Kepedulian Shefti Lailatul Latifah terhadap anak jalanan tidak perlu diragukan lagi. Meski sempat ditentang orangtua karena terlalu sibuk mengurusi anak-anak jalanan, Shei-sapaan akrabnya-tetap berkomitmen untuk terus memberikan dan memperhatikan anak jalanan agar bisa terus belajar.
Shei lantas mendirikan sebuah komunitas, yaitu Save Street Child, untuk menunjang aktivitas sosialnya itu. Bagaimana awal cerita Shei tertarik untuk berbagi kasih dengan anak-anak jalanan? Berikut wawancara KORAN SINDO dengan gadis kelahiran Jombang, 5 September 1989 ini.
Bagaimana awalnya Anda bisa mendirikan komunitas anak jalanan?
Saya tidak pernah terpikir untuk mengurusi anak-anak jalanan, karena kegiatan saya saat masih menjadi mahasiswi di Universitas Paramadina pada waktu itu cukup padat. Semua begitu tiba-tiba. Ketika itu saya sedang makan di sebuah warung angkringan bersama teman.
Kemudian, saya melihat ada dua orang anak jalanan sedang mabuk. Mereka tampak mengejar truk sampah yang melintas. Karena merasa iba, saya memanggil mereka lalu mengajak makan di warung tersebut. Sambil makan mereka saya tanya banyak hal, tentang apa yang sedang mereka lakukan, tentang identitas mereka. Nama mereka adalah Wati dan Lisa. Pekerjaan mereka biasanya mengamen di jalanan.
Lalu?
Seminggu kemudian, saya kembali mengunjungi kedua anak tersebut. Sambil membawa pakaian layak pakai untuk mereka dan saya menawarkan kepada mereka untuk tinggal bersama di rumah indekos yang saya sewa di daerah Mampang. Wati dan Lisa saat itu mengakses kamar saya hanya sebagai tempat istirahat ketika malam hari. Sebab, siang hari mereka berada di jalanan untuk mengamen. Meski mereka sehari-hari berada di jalanan sebagai pengamen, anak-anak tersebut memiliki sifat yang baik, tidak mencuri, dan lain sebagainya.
Saya lantas merasa harus berbuat lebih untuk kedua anak tersebut. Tidak hanya memberikan mereka tempat tinggal, tetapi juga bagaimana mereka mendapatkan akses pendidikan. Dari situ, saya terpikir untuk bisa merangkul lebih banyak lagi anak jalanan, memikirkan bagaimana melakukan gerakan peduli anak jalanan. Lalu, melalui jejaring sosial Twitter, saya memulai sebuah gerakan peduli anak jalanan, yang saya beri nama Save Street Child atau SSC.
Apa saja kendala mendirikan SSC?
Saya merasakan berat ketika memulainya, terutama pada tahun pertama Save Street Child berdiri. Sebab, banyak yang mencibir aktivitas yang saya lakukan saat itu. Belum lagi kondisi internal kepengurusan SSC bermasalah. Para pengurus saat itu datang dan pergi, bahkan pernah hanya tinggal tiga orang yang tersisa. Sampai saat ini relawan yang pasang-surut menjadi kendala, namun kami tidak bisa memaksakan mereka juga. Karena, mereka tidak digaji ataupun dibayar karena semua murni sukarela.
Para pengajar tidak jarang mengeluarkan kocek pribadi untuk aktivitas belajar di kelas. Kemudian, yang menjadi kendala kedua adalah dana. Karena kami memiliki aktivitas untuk belajar-mengajar ataupun kegiatan lain, jadi butuh dana untuk menyewa tempat belajar.
Selama ini bagaimana sistem penggalangan dana untuk SSC?
Saya dibantu teman-teman yang bergabung di SSC melakukan fundrising dengan berbagai macam cara. Contohnya seperti penjualan merchandise, donasi pribadi yang rutin seperti orangtua asuh, dan juga CSR yang tidak terikat perusahaan.
Apakah ada cerita menarik ketika berada di kelas belajar SSC?
Banyak sekali cerita menarik, mulai harus bermasalah dengan preman, kelas kami diacak-acak oleh preman, pernah juga dengan polisi. Waktu itu anak didik saya ditangkap karena melakukan tindakan kriminal. Anak tersebut berkelahi dengan pedagang tahu, sampai pedagang itu mengalami luka di pelipis mata. Saya terpaksa mengurusnya ke kantor polisi. Tetapi, saya tidak bisa menolong karena diminta uang Rp5 juta untuk jaminan. Anak itu akhirnya dipenjara.
Mungkin ada hikmahnya, agar ada efek jera terhadap anak tersebut. Kemudian, tiga minggu kemudian dapat kabar lagi bahwa anak didik saya yang lain tertangkap dengan kasus mencuri di KRL. Padahal, saya sudah sering memberi nasihat kepada mereka. Hingga akhirnya, saya harus ke kantor polisi lagi untuk mengurus anak tersebut.
Selama berada di SSC, apa saja manfaat yang Anda rasakan?
Alhamdulillah, saya merasa hidup saya jauh lebih berguna karena bisa saling berbagi dan mengasihi dengan sesama. Serta, bisa menjalin silaturahmi antar-relawan, anak-anak, dan beberapa pihak lain yang turut andil. Sebab, saya merasa tidak bisa apa-apa tanpa bantuan para relawan tersebut.
Apa yang Anda lakukan dalam mengembangkan kegiatan SSC?
Saya mencoba banyak bertukar pikiran dengan teman-teman relawan yang masih aktif. Kemudian dengan pihak-pihak lain yang juga turut aktif di berbagai kegiatan sosial, seperti pendidikan ataupun aktivis sosial lain. Semua dilakukan agar pendidikan anak jalanan ini semakin baik dan memudahkan mereka mengakses pendidikan.
Saat ini, apa kesibukan Anda sehari-hari?
Saat ini saya mengajar di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta mengurus rumah tangga sambil menanti kelahiran buah hati saya yang pertama. Sesekali mengontrol kegiatan Save Street Child. Biasanya, saya berdiskusi dengan para relawan melalui media sosial.
Adakah peristiwa yang menjadi titik terendah dalam hidup Anda?
Pada saat saya menampung adikadik di kamar indekos, ketika itu ada sekitar 10 orang. Saya merasa mereka menjadi tanggung jawab saya, padahal saya belum memiliki pendapatan sendiri, sehingga tidak memiliki biaya yang cukup karena saya masih bergantung dari kiriman orangtua dan beberapa donatur. Saya dan adik-adik merasa hidup susah sekali. Tetapi, saya memiliki tekad bahwa adik-adik harus tetap bisa sekolah dan tidak kelaparan.
Apa rencana Anda kedepan yang ingin dicapai dalam hidup?
Saya tidak memiliki impian yang muluk-muluk, hanya ingin menjadi orang yang bisa bermanfaat untuk orang lain, serta dapat berbuat baik sebanyak-banyaknya dan terusmenerus. Sebab, sebagai seorang muslim, kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan.
Selain itu, saya berharap bisa membina keluarga dengan sebaik-baiknya karena saya yakin kita tidak akan bisa membangun sebuah peradaban yang baik, jika itu tidak dimulai dari keluarga.
Robi ardianto/dina angelina
Shei lantas mendirikan sebuah komunitas, yaitu Save Street Child, untuk menunjang aktivitas sosialnya itu. Bagaimana awal cerita Shei tertarik untuk berbagi kasih dengan anak-anak jalanan? Berikut wawancara KORAN SINDO dengan gadis kelahiran Jombang, 5 September 1989 ini.
Bagaimana awalnya Anda bisa mendirikan komunitas anak jalanan?
Saya tidak pernah terpikir untuk mengurusi anak-anak jalanan, karena kegiatan saya saat masih menjadi mahasiswi di Universitas Paramadina pada waktu itu cukup padat. Semua begitu tiba-tiba. Ketika itu saya sedang makan di sebuah warung angkringan bersama teman.
Kemudian, saya melihat ada dua orang anak jalanan sedang mabuk. Mereka tampak mengejar truk sampah yang melintas. Karena merasa iba, saya memanggil mereka lalu mengajak makan di warung tersebut. Sambil makan mereka saya tanya banyak hal, tentang apa yang sedang mereka lakukan, tentang identitas mereka. Nama mereka adalah Wati dan Lisa. Pekerjaan mereka biasanya mengamen di jalanan.
Lalu?
Seminggu kemudian, saya kembali mengunjungi kedua anak tersebut. Sambil membawa pakaian layak pakai untuk mereka dan saya menawarkan kepada mereka untuk tinggal bersama di rumah indekos yang saya sewa di daerah Mampang. Wati dan Lisa saat itu mengakses kamar saya hanya sebagai tempat istirahat ketika malam hari. Sebab, siang hari mereka berada di jalanan untuk mengamen. Meski mereka sehari-hari berada di jalanan sebagai pengamen, anak-anak tersebut memiliki sifat yang baik, tidak mencuri, dan lain sebagainya.
Saya lantas merasa harus berbuat lebih untuk kedua anak tersebut. Tidak hanya memberikan mereka tempat tinggal, tetapi juga bagaimana mereka mendapatkan akses pendidikan. Dari situ, saya terpikir untuk bisa merangkul lebih banyak lagi anak jalanan, memikirkan bagaimana melakukan gerakan peduli anak jalanan. Lalu, melalui jejaring sosial Twitter, saya memulai sebuah gerakan peduli anak jalanan, yang saya beri nama Save Street Child atau SSC.
Apa saja kendala mendirikan SSC?
Saya merasakan berat ketika memulainya, terutama pada tahun pertama Save Street Child berdiri. Sebab, banyak yang mencibir aktivitas yang saya lakukan saat itu. Belum lagi kondisi internal kepengurusan SSC bermasalah. Para pengurus saat itu datang dan pergi, bahkan pernah hanya tinggal tiga orang yang tersisa. Sampai saat ini relawan yang pasang-surut menjadi kendala, namun kami tidak bisa memaksakan mereka juga. Karena, mereka tidak digaji ataupun dibayar karena semua murni sukarela.
Para pengajar tidak jarang mengeluarkan kocek pribadi untuk aktivitas belajar di kelas. Kemudian, yang menjadi kendala kedua adalah dana. Karena kami memiliki aktivitas untuk belajar-mengajar ataupun kegiatan lain, jadi butuh dana untuk menyewa tempat belajar.
Selama ini bagaimana sistem penggalangan dana untuk SSC?
Saya dibantu teman-teman yang bergabung di SSC melakukan fundrising dengan berbagai macam cara. Contohnya seperti penjualan merchandise, donasi pribadi yang rutin seperti orangtua asuh, dan juga CSR yang tidak terikat perusahaan.
Apakah ada cerita menarik ketika berada di kelas belajar SSC?
Banyak sekali cerita menarik, mulai harus bermasalah dengan preman, kelas kami diacak-acak oleh preman, pernah juga dengan polisi. Waktu itu anak didik saya ditangkap karena melakukan tindakan kriminal. Anak tersebut berkelahi dengan pedagang tahu, sampai pedagang itu mengalami luka di pelipis mata. Saya terpaksa mengurusnya ke kantor polisi. Tetapi, saya tidak bisa menolong karena diminta uang Rp5 juta untuk jaminan. Anak itu akhirnya dipenjara.
Mungkin ada hikmahnya, agar ada efek jera terhadap anak tersebut. Kemudian, tiga minggu kemudian dapat kabar lagi bahwa anak didik saya yang lain tertangkap dengan kasus mencuri di KRL. Padahal, saya sudah sering memberi nasihat kepada mereka. Hingga akhirnya, saya harus ke kantor polisi lagi untuk mengurus anak tersebut.
Selama berada di SSC, apa saja manfaat yang Anda rasakan?
Alhamdulillah, saya merasa hidup saya jauh lebih berguna karena bisa saling berbagi dan mengasihi dengan sesama. Serta, bisa menjalin silaturahmi antar-relawan, anak-anak, dan beberapa pihak lain yang turut andil. Sebab, saya merasa tidak bisa apa-apa tanpa bantuan para relawan tersebut.
Apa yang Anda lakukan dalam mengembangkan kegiatan SSC?
Saya mencoba banyak bertukar pikiran dengan teman-teman relawan yang masih aktif. Kemudian dengan pihak-pihak lain yang juga turut aktif di berbagai kegiatan sosial, seperti pendidikan ataupun aktivis sosial lain. Semua dilakukan agar pendidikan anak jalanan ini semakin baik dan memudahkan mereka mengakses pendidikan.
Saat ini, apa kesibukan Anda sehari-hari?
Saat ini saya mengajar di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta mengurus rumah tangga sambil menanti kelahiran buah hati saya yang pertama. Sesekali mengontrol kegiatan Save Street Child. Biasanya, saya berdiskusi dengan para relawan melalui media sosial.
Adakah peristiwa yang menjadi titik terendah dalam hidup Anda?
Pada saat saya menampung adikadik di kamar indekos, ketika itu ada sekitar 10 orang. Saya merasa mereka menjadi tanggung jawab saya, padahal saya belum memiliki pendapatan sendiri, sehingga tidak memiliki biaya yang cukup karena saya masih bergantung dari kiriman orangtua dan beberapa donatur. Saya dan adik-adik merasa hidup susah sekali. Tetapi, saya memiliki tekad bahwa adik-adik harus tetap bisa sekolah dan tidak kelaparan.
Apa rencana Anda kedepan yang ingin dicapai dalam hidup?
Saya tidak memiliki impian yang muluk-muluk, hanya ingin menjadi orang yang bisa bermanfaat untuk orang lain, serta dapat berbuat baik sebanyak-banyaknya dan terusmenerus. Sebab, sebagai seorang muslim, kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan.
Selain itu, saya berharap bisa membina keluarga dengan sebaik-baiknya karena saya yakin kita tidak akan bisa membangun sebuah peradaban yang baik, jika itu tidak dimulai dari keluarga.
Robi ardianto/dina angelina
(ars)