KPU Diminta Tunggu Putusan Pengadilan
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) disarankan menunggu putusan akhir pengadilan sebelum menentukan kepengurusan partai politik (parpol) yang berhak mengikuti pilkada.
Apalagi, persoalan dualisme kepengurusan parpol ini termasuk hal yang paling rawan memicu masalah. Sejauh ini, KPU menyatakan sangat berhati-hati dalam menentukan salah satu di antara dua kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar yang berhak mengajukan calon di pilkada nanti.
Untuk itu, kemarin KPU meminta saran dan pandangan dari sejumlah pakar tata negara melalui kegiatan focus group discussion (FGD) yang digelar tertutup di Kantor KPU, Jakarta. Pada umumnya, pakar menyarankan agar penyelenggara pilkada menunggu putusan akhir pengadilan agar pendaftaran calon nanti tidak menimbulkan masalah.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan, kekuatan KPUberada pada legitimasi negara sehingga dalam memutus kepengurusan mana yang berhak untuk ikut pilkada harus mengacu pada ketetapan hukum akhir.
”Kalau putusan pengadilan sudah keluar, namun Menkumham belum mengeluarkan SK baru, maka KPU harus menggunakan keputusan pengadilan. Bagaimanapun, dalam hukum tata negara yang tertinggi adalah putusan pengadilan,” kata Bivitri di Gedung KPU, Jakarta, kemarin.
Dia juga meminta KPU untuk segera melakukan pertemuan dengan Mahkamah Agung (MA), terutama untuk membahas kemungkinan penyelesaian sengketa partai politik dipercepat sebelum pendaftaran calon dibuka oleh KPU. ”Barangkali saja MA belum paham bahwa Juni ini besar sekali (potensi sengketanya), sehingga saya berharap MA bisa mengeluarkan semacam surat edaran agar sengketa seperti ini bisa dipercepat agar Juni semua sudah inkrah,” ucapnya.
Hal yang sama diungkapkan pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar. ”KPU berdasarkan yang existing saja. Jadi kondisi hukum yang berlaku saat pendaftaran, gunakan yang existing ,” ujarnya.
Zainal sepakat apabila KPU tidak boleh mencampuri urusan internal partai politik. Namun, kewenangan KPU dalam memutus mana yang berhak ikut dalam pilkada akan tiba saat pendaftaran calon mulai dibuka. ”Nanti dilihat apakah keputusan SK (Kemenkumham) yang berlaku, atau keputusan pengadilan yang berlaku,” kata Zainal.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra membenarkan proses penyelesaian sengketa parpol yang saat ini sudah masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bisa dipercepat prosesnya. Menurutnya, apabila proses persidangan biasanya dilakukan hanya seminggu sekali maka untuk mempercepat putusan bisa dilakukan dalam intensitas yang lebih sering. ”Jadi kalau sekali seminggu ini jadi dua kali seminggu, itu bisa. Kalau memang mau mempercepat proses ini,” ujarnya.
Dua kubu di PPP dan Golkar saat ini sama-sama mengklaim paling berhak ikut pilkada. Khusus Partai Golkar, saat ini proses gugatan kubu Aburizal Bakrie (ARB) tengah berproses di PTUN. Dalam putusan selanya, PTUN menunda pemberlakuan SK Menkumham Yasonna H Laoly yang mengesahkan kubu Agung Laksono.
Sedangkan di PPP, yang bersaing adalah kubu ketua umum Djan Faridz dan kubu Romahurmuziy (Romi). PTUN Jakarta sudah membatalkan SK Menkumham yang sebelumnya mengakui keabsahan kubu Romi. Putusan akhir dualisme PPP masih menunggu proses banding yang diajukan Menkumham ke MA.
Menanggapi usulan pakar tersebut, Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan pihaknya sudah pernah meminta pendapat pimpinan MA mengenai upaya percepatan proses hukum itu. Namun, pimpinan MA, kata dia, menyatakan tidak akan mengeluarkan kebijakan apapun termasuk kemungkinan mempersingkat masa sidang.
Alasan yang dikemukakan adalah demi menjamin proses peradilan proporsional sebagaimana yang telah diatur dalam berita acara persidangan. ”Hakim memiliki independensi memutus, secara kelembagaan juga memiliki kewenangan berjenjang. Jadi, MA berpendapat itu (mempercepat proses sidang) bisa memengaruhi hasil di masingmasing tingkatan,” jelas Husni.
Daerah Belum Siap
Sementara itu, kesiapan anggaran sejumlah daerah untuk menggelar pilkada Desember 2015 nanti masih diragukan. Badan Pengawas Pemilu(Bawaslu) mengaku menemukan sedikitnya 127 daerah yang kekurangan dana.
”Bawaslu sudah melakukan penelusuran selama masa persiapan pelaksanaan pilkada ini. Dari 183 daerah yang kami telusuri, ada 127 daerah di antaranya yang tidak mempunyai cukup anggaran, dan bahkan ada yang sama sekali tidak ada dana untuk pilkada,” kata anggota Bawaslu Nasrullah di Jakarta kemarin.
Jumlah tersebut masih bisa bertambah mengingat 83 daerah belum terdeteksi, apakah sudah menganggarkan dana pilkada atau belum. Menurutnya, dari 269 daerah yang dijadwalkan mengikuti pilkada serentak 2015, hanya 56 daerah yang sudah siap dari segi pendanaan.
Terkait hal itu, Bawaslu berencana mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Pimpinan DPR RI guna menindaklanjuti melalui kebijakan khusus, mengingat tahapan pelaksanaan pilkada semakin dekat.
Dian ramdhani/ant
Apalagi, persoalan dualisme kepengurusan parpol ini termasuk hal yang paling rawan memicu masalah. Sejauh ini, KPU menyatakan sangat berhati-hati dalam menentukan salah satu di antara dua kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar yang berhak mengajukan calon di pilkada nanti.
Untuk itu, kemarin KPU meminta saran dan pandangan dari sejumlah pakar tata negara melalui kegiatan focus group discussion (FGD) yang digelar tertutup di Kantor KPU, Jakarta. Pada umumnya, pakar menyarankan agar penyelenggara pilkada menunggu putusan akhir pengadilan agar pendaftaran calon nanti tidak menimbulkan masalah.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan, kekuatan KPUberada pada legitimasi negara sehingga dalam memutus kepengurusan mana yang berhak untuk ikut pilkada harus mengacu pada ketetapan hukum akhir.
”Kalau putusan pengadilan sudah keluar, namun Menkumham belum mengeluarkan SK baru, maka KPU harus menggunakan keputusan pengadilan. Bagaimanapun, dalam hukum tata negara yang tertinggi adalah putusan pengadilan,” kata Bivitri di Gedung KPU, Jakarta, kemarin.
Dia juga meminta KPU untuk segera melakukan pertemuan dengan Mahkamah Agung (MA), terutama untuk membahas kemungkinan penyelesaian sengketa partai politik dipercepat sebelum pendaftaran calon dibuka oleh KPU. ”Barangkali saja MA belum paham bahwa Juni ini besar sekali (potensi sengketanya), sehingga saya berharap MA bisa mengeluarkan semacam surat edaran agar sengketa seperti ini bisa dipercepat agar Juni semua sudah inkrah,” ucapnya.
Hal yang sama diungkapkan pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar. ”KPU berdasarkan yang existing saja. Jadi kondisi hukum yang berlaku saat pendaftaran, gunakan yang existing ,” ujarnya.
Zainal sepakat apabila KPU tidak boleh mencampuri urusan internal partai politik. Namun, kewenangan KPU dalam memutus mana yang berhak ikut dalam pilkada akan tiba saat pendaftaran calon mulai dibuka. ”Nanti dilihat apakah keputusan SK (Kemenkumham) yang berlaku, atau keputusan pengadilan yang berlaku,” kata Zainal.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Saldi Isra membenarkan proses penyelesaian sengketa parpol yang saat ini sudah masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bisa dipercepat prosesnya. Menurutnya, apabila proses persidangan biasanya dilakukan hanya seminggu sekali maka untuk mempercepat putusan bisa dilakukan dalam intensitas yang lebih sering. ”Jadi kalau sekali seminggu ini jadi dua kali seminggu, itu bisa. Kalau memang mau mempercepat proses ini,” ujarnya.
Dua kubu di PPP dan Golkar saat ini sama-sama mengklaim paling berhak ikut pilkada. Khusus Partai Golkar, saat ini proses gugatan kubu Aburizal Bakrie (ARB) tengah berproses di PTUN. Dalam putusan selanya, PTUN menunda pemberlakuan SK Menkumham Yasonna H Laoly yang mengesahkan kubu Agung Laksono.
Sedangkan di PPP, yang bersaing adalah kubu ketua umum Djan Faridz dan kubu Romahurmuziy (Romi). PTUN Jakarta sudah membatalkan SK Menkumham yang sebelumnya mengakui keabsahan kubu Romi. Putusan akhir dualisme PPP masih menunggu proses banding yang diajukan Menkumham ke MA.
Menanggapi usulan pakar tersebut, Ketua KPU Husni Kamil Manik mengatakan pihaknya sudah pernah meminta pendapat pimpinan MA mengenai upaya percepatan proses hukum itu. Namun, pimpinan MA, kata dia, menyatakan tidak akan mengeluarkan kebijakan apapun termasuk kemungkinan mempersingkat masa sidang.
Alasan yang dikemukakan adalah demi menjamin proses peradilan proporsional sebagaimana yang telah diatur dalam berita acara persidangan. ”Hakim memiliki independensi memutus, secara kelembagaan juga memiliki kewenangan berjenjang. Jadi, MA berpendapat itu (mempercepat proses sidang) bisa memengaruhi hasil di masingmasing tingkatan,” jelas Husni.
Daerah Belum Siap
Sementara itu, kesiapan anggaran sejumlah daerah untuk menggelar pilkada Desember 2015 nanti masih diragukan. Badan Pengawas Pemilu(Bawaslu) mengaku menemukan sedikitnya 127 daerah yang kekurangan dana.
”Bawaslu sudah melakukan penelusuran selama masa persiapan pelaksanaan pilkada ini. Dari 183 daerah yang kami telusuri, ada 127 daerah di antaranya yang tidak mempunyai cukup anggaran, dan bahkan ada yang sama sekali tidak ada dana untuk pilkada,” kata anggota Bawaslu Nasrullah di Jakarta kemarin.
Jumlah tersebut masih bisa bertambah mengingat 83 daerah belum terdeteksi, apakah sudah menganggarkan dana pilkada atau belum. Menurutnya, dari 269 daerah yang dijadwalkan mengikuti pilkada serentak 2015, hanya 56 daerah yang sudah siap dari segi pendanaan.
Terkait hal itu, Bawaslu berencana mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Pimpinan DPR RI guna menindaklanjuti melalui kebijakan khusus, mengingat tahapan pelaksanaan pilkada semakin dekat.
Dian ramdhani/ant
(ftr)