Dari TKI Kini Menjadi Profesor Ilmu Hadits
A
A
A
Melalui perjuangan dan pengorbanan cukup panjang, Siti Mujibatun mampu mengubah nasib. Dia yang semula merasakan hidup sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) di negara Timur Tengah, kini menyandang gelar profesor.
Ya, Siti kemarin dikukuhkan sebagai guru besar Ilmu Hadits Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah. Reputasi terhormat di dunia pendidikan itu tentu tak diraihnya dengan gampang, melainkan melalui perjuangan berat dan lika-liku hidup yang sulit. Jauh sebelum perempuan kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 13 April 1959 ini mampu menggapai cita-citanya di dunia pendidikan dan menyandang status guru besar di universitas ternama, dia pernah merasakan suka-dukanya menjadi TKI di Arab Saudi.
”Sebagai perempuan dari desa yang tidak paham dunia kampus dan bermodal paspasan, menjadi seorang profesor itu tidak mudah saya gapai. Saya hanya punya tekad kuat bahwa saya akan melakukan apa pun agar citacita saya terwujud,” kata dia. Siti menceritakan, setelah lulus sarjana di IAIN Walisongo Semarang yang kini menjadi UIN, dia sebetulnya berharap bisa kuliah S-2.
Namun, dia tak punya biaya. ”Saat itu mendapat beasiswa sulit sekali dan lama. Akhirnya saya diminta dosen saya untuk mencari pengalaman bermanfaat untuk karier ke depan. Saya pun nekat mendaftarkan diri menjadi TKI ke Arab Saudi,” imbuh ibu dari Fatih Ashthifani dan Addina Filwa Putri ini. Pada 1985 Siti berhasil berangkat ke Arab Saudi sebagai TKI dan bekerja kepada seorang majikan di Kota Riyadh.
Namun, karena memiliki pendidikan cukup tinggi, dia akhirnya tidak bekerja seperti TKI lain sebagai pembantu rumah tangga. Dia dipercaya mengajari anak-anak sang majikan untuk baca tulis dan pelajaran lain. ”Ya, sejenis les privat,” ujar warga Jalan Tanjungsari, Tambakaji Ngaliyan, Semarang ini. Selama 18 bulan bekerja sebagai TKI di Arab Saudi, Siti mengaku mendapat banyak pengalaman, termasuk mendalami kebudayaan negara tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW itu.
Tak hanya itu, di sana dia juga menemukan tambatan hatinya, Najamuddin, dan membangun mahligai rumah tangga. Setelah dirasa cukup mendapat pengalaman, Siti pun akhirnya kembali ke Tanah Air. Di Indonesia dia kemudian diminta IAIN Walisongo Semarang untuk mengabdikan ilmunya sebagai dosen.
”Dari menjadi dosen dan hasil bekerja selama di Arab Saudi itu pula saya bisa melanjutkan jenjang pendidikan S-2 dan S-3 di sini. Alhamdulillah, semua itu sudah saya lewati. Ini puncak karier dalam hidup saya yakni menjadi guru besar,” pungkasnya.
Sementara Rektor UIN Walisongo Semarang H Muhibbin mengatakan, kisah perjalanan Siti merupakan kisah inspiratif yang dapat menjadi pelecut semangat orang lain, baik dosen maupun mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Khusus untuk para dosen, Muhibbin berharap kisah kesuksesan Siti dapat dijadikan semangat melanjutkan studi.
Andika Prabowo
Kota Semarang
Ya, Siti kemarin dikukuhkan sebagai guru besar Ilmu Hadits Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah. Reputasi terhormat di dunia pendidikan itu tentu tak diraihnya dengan gampang, melainkan melalui perjuangan berat dan lika-liku hidup yang sulit. Jauh sebelum perempuan kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 13 April 1959 ini mampu menggapai cita-citanya di dunia pendidikan dan menyandang status guru besar di universitas ternama, dia pernah merasakan suka-dukanya menjadi TKI di Arab Saudi.
”Sebagai perempuan dari desa yang tidak paham dunia kampus dan bermodal paspasan, menjadi seorang profesor itu tidak mudah saya gapai. Saya hanya punya tekad kuat bahwa saya akan melakukan apa pun agar citacita saya terwujud,” kata dia. Siti menceritakan, setelah lulus sarjana di IAIN Walisongo Semarang yang kini menjadi UIN, dia sebetulnya berharap bisa kuliah S-2.
Namun, dia tak punya biaya. ”Saat itu mendapat beasiswa sulit sekali dan lama. Akhirnya saya diminta dosen saya untuk mencari pengalaman bermanfaat untuk karier ke depan. Saya pun nekat mendaftarkan diri menjadi TKI ke Arab Saudi,” imbuh ibu dari Fatih Ashthifani dan Addina Filwa Putri ini. Pada 1985 Siti berhasil berangkat ke Arab Saudi sebagai TKI dan bekerja kepada seorang majikan di Kota Riyadh.
Namun, karena memiliki pendidikan cukup tinggi, dia akhirnya tidak bekerja seperti TKI lain sebagai pembantu rumah tangga. Dia dipercaya mengajari anak-anak sang majikan untuk baca tulis dan pelajaran lain. ”Ya, sejenis les privat,” ujar warga Jalan Tanjungsari, Tambakaji Ngaliyan, Semarang ini. Selama 18 bulan bekerja sebagai TKI di Arab Saudi, Siti mengaku mendapat banyak pengalaman, termasuk mendalami kebudayaan negara tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW itu.
Tak hanya itu, di sana dia juga menemukan tambatan hatinya, Najamuddin, dan membangun mahligai rumah tangga. Setelah dirasa cukup mendapat pengalaman, Siti pun akhirnya kembali ke Tanah Air. Di Indonesia dia kemudian diminta IAIN Walisongo Semarang untuk mengabdikan ilmunya sebagai dosen.
”Dari menjadi dosen dan hasil bekerja selama di Arab Saudi itu pula saya bisa melanjutkan jenjang pendidikan S-2 dan S-3 di sini. Alhamdulillah, semua itu sudah saya lewati. Ini puncak karier dalam hidup saya yakni menjadi guru besar,” pungkasnya.
Sementara Rektor UIN Walisongo Semarang H Muhibbin mengatakan, kisah perjalanan Siti merupakan kisah inspiratif yang dapat menjadi pelecut semangat orang lain, baik dosen maupun mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Khusus untuk para dosen, Muhibbin berharap kisah kesuksesan Siti dapat dijadikan semangat melanjutkan studi.
Andika Prabowo
Kota Semarang
(bbg)