Suryadharma Ali Tuntut KPK Rp1 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Tersangka kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji 2010–2013 Suryadharma Ali (SDA) menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengganti kerugian atas penetapan dirinya sebagai tersangka.
Melalui permohonan praperadilan yang disampaikan kuasa hukumnya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, mantan menteri agama ini merasa dirugikan baik moral maupun materiil. “Menyatakan bahwa perbuatan termohon (KPK) yang menetapkan pemohon (SDA) sebagai tersangka tanpa prosedur adalah sebagai tindakan atau perbuatan yangtidaksahdantidakberdasarkan hukum.
Karena cacat yuridis dan bertentangan dengan hukum yang mengakibatkan kerugian Rp1 triliun,” tandas kuasa hukum SDA, Humphrey Djemat, saat membacakan permohonan praperadilan di PN Jakarta Selatan kemarin. Menurut Humphrey, penetapan tersangka atas SDA tidak sejalan dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal3UU31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang perubahan UU 31/1999 joPasal 55 ayat 1 KUHP jo Pasal 63 KUHP.
Pasal itu menyatakan bahwa untuk menjatuhkan status tersangka kepada seseorang harus disertai dengan adanya alat bukti yang kuat, sedangkan penetapan SDA sebagai tersangka tanpa adanya alat buktiyangkuat.“Oleh karena itu, penetapan aquotidak mempunyai kekuatan mengikat,” tandas Humphrey.
Humphrey meminta agar hakim menyatakan sprindik (surat perintah dimulainya penyidikan) tertanggal 24 September 2014, terkait dimulainya proses penyidikan atas perkara dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan ibadah haji 2010–2013, yang diterbitkan oleh KPK tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
“Sekaligus ditetapkannya pemohon sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan ibadah haji 2010–2013 adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum,” ujarnya. Kuasa hukum SDA lainnya, Johnson Panjaitan, menilai tuntutan Rp1 triliun yang diminta pihaknya sudah tepat. Pasalnya, penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap kliennya sangat merusak kredibilitas kliennya secara profesi dan sosial.
“Ini menyangkut harga diri karena yang diurus ini hubungan antara umat dan Tuhan. Ini bukan hanya sekadar proyek duniawi,” kata Johnson. Anggota Tim Biro Hukum KPK Chatarina M Girsang dalam eksepsinya membantah secara tegas unsur politis dalam penetapan tersangka SDA. Menurut dia, berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU 30 Tahun 2002, KPK adalah lembaga yang bertugas secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
“Untuk menjaga independensi, proses pengambilan keputusan termasuk penetapan seseorang menjadi tersangka, dilakukan melalui ekspose atau gelar perkara, setelah KPK menerima laporan dari penyelidik,” kata Chatarina. Dan dalam forum ekspose yang diikuti pihak penyelidik dan penyidik tersebut, dilakukan pemaparan mengenai peristiwa pidana beserta alat buktinya.
Berdasarkan alat bukti itulah, KPK baru berani menetapkan seseorang menjadi tersangka atau tidak. Chatarina menganggap apa yang dipikirkan oleh pihak pemohon adalah sebuah hal yang biasa ditemui dalam persidangan. Mengenai tuntutan Rp1 triliun yang diminta pihak pemohon, Chatarina mengatakan bahwa sesuai dengan UU Praperadilan maka tuntutan ganti rugi yang diatur hanya berkisar antara Rp1–3 juta.
Maka apabila disandingkan dengan angka tersebut, permohonan itu dianggap mengada- ada. “Kami menilai dalil pemohon hanya bersifat opini atau asumsi serta tidak berdasar, dan oleh karenanya harus dinyatakan ditolak,” tandasnya.
Dian ramdhani
Melalui permohonan praperadilan yang disampaikan kuasa hukumnya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, mantan menteri agama ini merasa dirugikan baik moral maupun materiil. “Menyatakan bahwa perbuatan termohon (KPK) yang menetapkan pemohon (SDA) sebagai tersangka tanpa prosedur adalah sebagai tindakan atau perbuatan yangtidaksahdantidakberdasarkan hukum.
Karena cacat yuridis dan bertentangan dengan hukum yang mengakibatkan kerugian Rp1 triliun,” tandas kuasa hukum SDA, Humphrey Djemat, saat membacakan permohonan praperadilan di PN Jakarta Selatan kemarin. Menurut Humphrey, penetapan tersangka atas SDA tidak sejalan dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal3UU31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang perubahan UU 31/1999 joPasal 55 ayat 1 KUHP jo Pasal 63 KUHP.
Pasal itu menyatakan bahwa untuk menjatuhkan status tersangka kepada seseorang harus disertai dengan adanya alat bukti yang kuat, sedangkan penetapan SDA sebagai tersangka tanpa adanya alat buktiyangkuat.“Oleh karena itu, penetapan aquotidak mempunyai kekuatan mengikat,” tandas Humphrey.
Humphrey meminta agar hakim menyatakan sprindik (surat perintah dimulainya penyidikan) tertanggal 24 September 2014, terkait dimulainya proses penyidikan atas perkara dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan ibadah haji 2010–2013, yang diterbitkan oleh KPK tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
“Sekaligus ditetapkannya pemohon sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan ibadah haji 2010–2013 adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum,” ujarnya. Kuasa hukum SDA lainnya, Johnson Panjaitan, menilai tuntutan Rp1 triliun yang diminta pihaknya sudah tepat. Pasalnya, penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap kliennya sangat merusak kredibilitas kliennya secara profesi dan sosial.
“Ini menyangkut harga diri karena yang diurus ini hubungan antara umat dan Tuhan. Ini bukan hanya sekadar proyek duniawi,” kata Johnson. Anggota Tim Biro Hukum KPK Chatarina M Girsang dalam eksepsinya membantah secara tegas unsur politis dalam penetapan tersangka SDA. Menurut dia, berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU 30 Tahun 2002, KPK adalah lembaga yang bertugas secara independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
“Untuk menjaga independensi, proses pengambilan keputusan termasuk penetapan seseorang menjadi tersangka, dilakukan melalui ekspose atau gelar perkara, setelah KPK menerima laporan dari penyelidik,” kata Chatarina. Dan dalam forum ekspose yang diikuti pihak penyelidik dan penyidik tersebut, dilakukan pemaparan mengenai peristiwa pidana beserta alat buktinya.
Berdasarkan alat bukti itulah, KPK baru berani menetapkan seseorang menjadi tersangka atau tidak. Chatarina menganggap apa yang dipikirkan oleh pihak pemohon adalah sebuah hal yang biasa ditemui dalam persidangan. Mengenai tuntutan Rp1 triliun yang diminta pihak pemohon, Chatarina mengatakan bahwa sesuai dengan UU Praperadilan maka tuntutan ganti rugi yang diatur hanya berkisar antara Rp1–3 juta.
Maka apabila disandingkan dengan angka tersebut, permohonan itu dianggap mengada- ada. “Kami menilai dalil pemohon hanya bersifat opini atau asumsi serta tidak berdasar, dan oleh karenanya harus dinyatakan ditolak,” tandasnya.
Dian ramdhani
(bhr)