Kiai Minta Koruptor Dimiskinkan
A
A
A
JOMBANG - Para kiai dan ulama berpengaruh di Jawa Timur (Jatim) mendukung hukuman berat terhadap para pelaku tindak pidana korupsi. Bahkan mereka meminta agar koruptor dimiskinkan.
Hal itu merupakan 1 dari 5 poin rekomendasi yang berhasil disusun para kiai dan ulama se- Jatim dalam halaqah antikorupsi di Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, Jatim, kemarin.
Sejumlah kiai berpengaruh hadir dalam acara itu. Mereka di antaranya KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), KH Fahmi Amrullah, KH Hisyam Syafaat (Ponpes Darussalam Banyuwanyi), Gus Reza Ahmad Zahid (Pengasuh Ponpes Al-Mahrusy Lirboyo, Kediri), KH Muwafiq (Ponpes Bustanul Ma’mur Banyuwangi) dan beberapa kiai lain dari Situbondo, Probolinggo, Sumenep, Malang, Pasuruan, Mojokerto, dan Madiun.
Tidak hanya itu, para kiai dan ulama ini juga mengundang Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie serta Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto. KH Imron Rosyadi Hamid atau Gus Imron dari Ponpes Islhiyah Malang yang ditunjuk membacakan hasil rekomendasi mengatakan, korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat dibenarkan dari aspek mana pun.
Karena itu, pondok pesantren sangat mendukung pemberantasan korupsi dan menentang segala bentuk pelemahan terhadapnya. Menurut dia, para kiai dan ulama se-Jatim telah berhasil menyusun 5 rekomendasi untuk pemberantasan korupsi. Rekomendasi itu berhasil disusun setelah melalui diskusi dan perdebatan panjang. “Rencananya, rekomendasi ini akan kami serahkan kepada Presiden Jokowi,” tandas Gus Imron di Jombang kemarin.
Rekomendasi itu di antaranya, pertama, pesantren sebagai lembaga yang peduli pada kepentingan dan kemaslahatan umat berpandangan bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak dibenarkan dari aspek manapun dan nyatanyata merugikan umat. Karena itu, pesantren dengan tegas mendukung pemberantasan korupsi dan menentang segala bentuk pelemahan terhadapnya.
Kedua, negara Indonesia harus diselenggarakan oleh pemimpin yang bisa menggunakan akal sehat dan hati nurani serta memiliki integritas. Karena itu, seluruh penyelenggara negara di semua tingkatan harus menunjukkan komitmennya sebagai pelopor pemberantasan korupsi.
Ketiga, dalam praktik pemberantasan korupsi terdapat intervensi kekuatan-kekuatan besar yang mencoba mengganggu proses penegakan hukum. Karena itu, dengan dukungan umat dan pesantren, Presiden harus bersikap tegas dalam penanganan urusan korupsi dengan melakukan upayaupaya politik nyata yang mengarah pada penyamaan persepsi dan penguatan institusiinstitusi hukum seperti Polri, KPK, MA, kejaksaan.
“Presiden juga harus menolak segala bentuk intervensi politik pihak mana pun yang mengarah pada pelemahan dan kriminalisasi terhadap lembaga maupunpegiat antikorupsiyang berpihak dan memperhatikan aspirasi rakyat,” ujarnya.
Poin keempat, mengusulkan hukuman seberat-beratnya, pemiskinan, sanksi sosial bagi koruptor serta menolak pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi mereka. Kelima, mendorong pemerintah dan parlemen untuk memberikan dukungan politik bagi penguatan lembaga antikorupsi.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) membenarkan bahwa hasil halaqahini akan disampaikan kepada Presiden, DPR, serta pihak-pihak terkait. Pemberantasan korupsi, menurut Gus Solah, adalah agenda utama gerakan reformasi 1998.
Karena itu, pemerintah akhirnya membentuk KPK sebagai ujung tombak perang terhadap korupsi. Namun keberadaan lembaga antikorupsi ini sering mendapatkan gangguan. Mulai dari era Ketua KPK Antasari Azhar, Bibit Samat Riyanto, dan Candra Hamzah.
“Sekarang ada kasus Abraham Samad dan Bambang W. Kita tidak ingin gangguan itu terulang kembali.Karena itu, rekomendasi para kiai ini akan kita sampaikan ke Presiden, DPR, dan pihak terkait lainnya,” tandas Gus Solah.
Rumusan dan rekomendasi halaqah ini ditandatangani 18 kiai dan pengasuh pesantren di Jawa Timur, di antaranya dari Jombang, Mojokerto, Malang, Banyuwangi, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Madiun, dan Sumenep. Sementara itu, Johan Budi mengatakan dirinya berharap ada sumbangsih nyata dari kiai dan ulama untuk mengokohkan kembali upaya pemberantasan korupsi.
Stakeholder pemberantasan korupsi, menurutnya, tidak mengenal entitas. “Termasuk para kiai. Kami juga mendapat masukan dari para kiai dan ini menjadi koreksi kami,” ungkap Johan Budi. Menurut dia, kedatangannya sebagai undangan ini untuk menjawab permintaan para kiai. Johan pun mengaku sudah menyampaikan perihal kondisi terkini di KPK.
Dia mengapresiasi jika kemudian para kiai di Jatim ini membuat sebuah keputusan yang bermuara pada tegaknya kembali upaya pemberantasan korupsi. “Ada masukan-masukan yang bisa kami pakai untuk introspeksi,” paparnya.
Lebih lanjut Johan menyatakan, pimpinan KPK sudah melayangkan permintaan diterbitkannya surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) agar gelombang praperadilan bisa dihentikan. “Tapi sampai saat ini belum ada jawaban dari MA,” tandasnya.
Tritus julan
Hal itu merupakan 1 dari 5 poin rekomendasi yang berhasil disusun para kiai dan ulama se- Jatim dalam halaqah antikorupsi di Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng, Jombang, Jatim, kemarin.
Sejumlah kiai berpengaruh hadir dalam acara itu. Mereka di antaranya KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), KH Fahmi Amrullah, KH Hisyam Syafaat (Ponpes Darussalam Banyuwanyi), Gus Reza Ahmad Zahid (Pengasuh Ponpes Al-Mahrusy Lirboyo, Kediri), KH Muwafiq (Ponpes Bustanul Ma’mur Banyuwangi) dan beberapa kiai lain dari Situbondo, Probolinggo, Sumenep, Malang, Pasuruan, Mojokerto, dan Madiun.
Tidak hanya itu, para kiai dan ulama ini juga mengundang Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie serta Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto. KH Imron Rosyadi Hamid atau Gus Imron dari Ponpes Islhiyah Malang yang ditunjuk membacakan hasil rekomendasi mengatakan, korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak dapat dibenarkan dari aspek mana pun.
Karena itu, pondok pesantren sangat mendukung pemberantasan korupsi dan menentang segala bentuk pelemahan terhadapnya. Menurut dia, para kiai dan ulama se-Jatim telah berhasil menyusun 5 rekomendasi untuk pemberantasan korupsi. Rekomendasi itu berhasil disusun setelah melalui diskusi dan perdebatan panjang. “Rencananya, rekomendasi ini akan kami serahkan kepada Presiden Jokowi,” tandas Gus Imron di Jombang kemarin.
Rekomendasi itu di antaranya, pertama, pesantren sebagai lembaga yang peduli pada kepentingan dan kemaslahatan umat berpandangan bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak dibenarkan dari aspek manapun dan nyatanyata merugikan umat. Karena itu, pesantren dengan tegas mendukung pemberantasan korupsi dan menentang segala bentuk pelemahan terhadapnya.
Kedua, negara Indonesia harus diselenggarakan oleh pemimpin yang bisa menggunakan akal sehat dan hati nurani serta memiliki integritas. Karena itu, seluruh penyelenggara negara di semua tingkatan harus menunjukkan komitmennya sebagai pelopor pemberantasan korupsi.
Ketiga, dalam praktik pemberantasan korupsi terdapat intervensi kekuatan-kekuatan besar yang mencoba mengganggu proses penegakan hukum. Karena itu, dengan dukungan umat dan pesantren, Presiden harus bersikap tegas dalam penanganan urusan korupsi dengan melakukan upayaupaya politik nyata yang mengarah pada penyamaan persepsi dan penguatan institusiinstitusi hukum seperti Polri, KPK, MA, kejaksaan.
“Presiden juga harus menolak segala bentuk intervensi politik pihak mana pun yang mengarah pada pelemahan dan kriminalisasi terhadap lembaga maupunpegiat antikorupsiyang berpihak dan memperhatikan aspirasi rakyat,” ujarnya.
Poin keempat, mengusulkan hukuman seberat-beratnya, pemiskinan, sanksi sosial bagi koruptor serta menolak pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi mereka. Kelima, mendorong pemerintah dan parlemen untuk memberikan dukungan politik bagi penguatan lembaga antikorupsi.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) membenarkan bahwa hasil halaqahini akan disampaikan kepada Presiden, DPR, serta pihak-pihak terkait. Pemberantasan korupsi, menurut Gus Solah, adalah agenda utama gerakan reformasi 1998.
Karena itu, pemerintah akhirnya membentuk KPK sebagai ujung tombak perang terhadap korupsi. Namun keberadaan lembaga antikorupsi ini sering mendapatkan gangguan. Mulai dari era Ketua KPK Antasari Azhar, Bibit Samat Riyanto, dan Candra Hamzah.
“Sekarang ada kasus Abraham Samad dan Bambang W. Kita tidak ingin gangguan itu terulang kembali.Karena itu, rekomendasi para kiai ini akan kita sampaikan ke Presiden, DPR, dan pihak terkait lainnya,” tandas Gus Solah.
Rumusan dan rekomendasi halaqah ini ditandatangani 18 kiai dan pengasuh pesantren di Jawa Timur, di antaranya dari Jombang, Mojokerto, Malang, Banyuwangi, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Madiun, dan Sumenep. Sementara itu, Johan Budi mengatakan dirinya berharap ada sumbangsih nyata dari kiai dan ulama untuk mengokohkan kembali upaya pemberantasan korupsi.
Stakeholder pemberantasan korupsi, menurutnya, tidak mengenal entitas. “Termasuk para kiai. Kami juga mendapat masukan dari para kiai dan ini menjadi koreksi kami,” ungkap Johan Budi. Menurut dia, kedatangannya sebagai undangan ini untuk menjawab permintaan para kiai. Johan pun mengaku sudah menyampaikan perihal kondisi terkini di KPK.
Dia mengapresiasi jika kemudian para kiai di Jatim ini membuat sebuah keputusan yang bermuara pada tegaknya kembali upaya pemberantasan korupsi. “Ada masukan-masukan yang bisa kami pakai untuk introspeksi,” paparnya.
Lebih lanjut Johan menyatakan, pimpinan KPK sudah melayangkan permintaan diterbitkannya surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) agar gelombang praperadilan bisa dihentikan. “Tapi sampai saat ini belum ada jawaban dari MA,” tandasnya.
Tritus julan
(ftr)