Komunikasi Ahok Dinilai Bergaya Otoriter
A
A
A
JAKARTA - Panitia hak angket DPRD kian yakin bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bermasalah dalam etika. Panitia hak angket pun siap menggelar paripurna pada Rabu (1/4).
Keyakinan tersebut setelah mereka mendengar keterangan pakar komunikasi politik kemarin. Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, dalam teori komunikasi, sedikitnya ada tiga tipe gaya kepemimpinan yaitu demokratis, partisipatif, dan otoriter.
Berdasarkan pengamatannya dari sejumlah media, dia melihat cara Ahok berkomunikasi yang kerap menunjuk-nunjuk mencerminkan ingin memperlihatkan posisinya lebih tinggi. ”Gaya komunikasi Ahok ke ruang publik, menurut saya, tidak wajar. Itu cermin karakter Ahok yang tidak mengindahkan komunikasi politik.
Jadi kategori itu saya katakan gaya komunikasi yang otoriter bila dilihat pilihan kata gaya bahasa nonverbal, bahasa tubuhnya, dan tanganyangdigunakankeruang publik,” kata Emrus di Gedung DPRD DKI kemarin. Dia menjelaskan, untuk memberantas korupsi yang kerap menjadi alasan utama Ahok dalam menggunakan kata-kata tidak beretika, bukanlah suatu hal yang dibenarkan.
Korupsi itu musuh utama dalam sebuah negara. Namun, untuk memerangi itu bukan dengan katakata yang tidak mengindahkan etika. Melanggar etika itu jauh lebih buruk dampaknya dari tindakan korupsi. Baginya, pemberantasan korupsi harus dibarengi dengan penyampaian etika yang baik.
”Kalau yang mengatakan rampok atau tidak itu proses pengadilan karena hukumlah yang memutus orang bersalah atau tidak. Keluarnya kata-kata tidak pantas dari mulut Ahok saat tampil di sebuah stasiun televisi swasta juga sangat disayangkan apa pun alasannya,” ucapnya. Emrus meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku kepala negara segera memberikan teguran.
Ini sesuai dengan yang selalu dikatakan Jokowi bahwa negara harus selalu hadir dalam setiap persoalan di masyarakat. Persoalan etika komunikasi saat ini bukan hanya masalah pribadi seorang Ahok, tetapi sudah menjadi persoalan negara. Bagaimanapun, Jakarta merupakan wajah Indonesia. Terlebih sikap Ahok sudah bertentangan dengan revolusi mental yang selalu digembor-gemborkan sekarang ini.
”Bukankah pelanggaran etika itu bertentangan dengan revolusi mental? Jadi saya pikir sudah waktunya. Wajar, menurut saya, dia (Jokowi) harus memberikan teguran sebagai kepala negara, bukan sebagai kepala pemerintahan. Paling tidak teguran tertulis,” ungkapnya. Sebagai pemimpin, Ahok sudah waktunya memiliki juru bicara (jubir) untuk menyampaikan informasi dengan suasana lebih sejuk. Jubir tersebut harus orang yang memiliki kemampuan di bidang komunikasi.
Dia bisa menjalin komunikasi antara pemerintah dan DPRD sertabisa menjabarkan pikiran Ahok dalam konteks komunikasi yang beretika. ”Pendapat saya ini bukan berarti saya mau ditunjuk agar jadi jubirnya,” sebutnya. Panitia hak angket DPRD DKI Jakarta terus berusaha merampungkan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran prosedur penyerahan APBD DKI kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan dugaan pelanggaran etika yang dilakukan Ahok.
Sebelumnya dua pakar hukum tata negara dihadirkan untuk meyakinkan panitia hak angket mengambil kesimpulan. Setelah dua pakar hukum tata negara, giliran pakar komunikasi politik dihadirkan. Hasil ini akan dibawa ke paripurna sebelum digulirkan hak menyatakan pendapat (HMP). ”Senin (30/3) sudah mantap. Rabu (1/4) paripurna. Kalau diundur-undur lagi, enggak tahulah.
Habis paripurna ituHMPdanbentuklagi panitia,” kata anggota Panitia Hak Angket Veri Younnevil. Sementara itu, Ahok mempersilakan panitia hak angket melakukan upaya apa pun. Dia menuturkan, keputusan salah atau tidak berada di tangan Mahkamah Agung. ”Apa pun mereka mau ngomong, terserah saja.
Silakan saja undang orang mau ngomong apa pun. Lucu aja , selisih sama saya, tunjuk orang,” ucapnya. Mantan Bupati Belitung Timur itu memprediksi hak angket itu hanya gertakan agar dia menerima pokok pikiran Dewan. Sampai saat ini dia masih konsisten tidak akan menerima pokok pikiran dalam bentuk nilai 1 sen pun.
Dia menyarankan kepada Dewan agar sejumlah pokok pikiran itu dititipkan dalam musyawarah rencana pembangunan (musrembang). ”Jadi hak angket ini upaya untuk menyingkirkan saya. Nah, mau nyikirin saya, nasibnya bukan di tangan mereka, tapi MA. Silakan aja singkirin saya nyogok MA kalau bisa nyogok,” ucapnya.
Bima setiyadi
Keyakinan tersebut setelah mereka mendengar keterangan pakar komunikasi politik kemarin. Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan, dalam teori komunikasi, sedikitnya ada tiga tipe gaya kepemimpinan yaitu demokratis, partisipatif, dan otoriter.
Berdasarkan pengamatannya dari sejumlah media, dia melihat cara Ahok berkomunikasi yang kerap menunjuk-nunjuk mencerminkan ingin memperlihatkan posisinya lebih tinggi. ”Gaya komunikasi Ahok ke ruang publik, menurut saya, tidak wajar. Itu cermin karakter Ahok yang tidak mengindahkan komunikasi politik.
Jadi kategori itu saya katakan gaya komunikasi yang otoriter bila dilihat pilihan kata gaya bahasa nonverbal, bahasa tubuhnya, dan tanganyangdigunakankeruang publik,” kata Emrus di Gedung DPRD DKI kemarin. Dia menjelaskan, untuk memberantas korupsi yang kerap menjadi alasan utama Ahok dalam menggunakan kata-kata tidak beretika, bukanlah suatu hal yang dibenarkan.
Korupsi itu musuh utama dalam sebuah negara. Namun, untuk memerangi itu bukan dengan katakata yang tidak mengindahkan etika. Melanggar etika itu jauh lebih buruk dampaknya dari tindakan korupsi. Baginya, pemberantasan korupsi harus dibarengi dengan penyampaian etika yang baik.
”Kalau yang mengatakan rampok atau tidak itu proses pengadilan karena hukumlah yang memutus orang bersalah atau tidak. Keluarnya kata-kata tidak pantas dari mulut Ahok saat tampil di sebuah stasiun televisi swasta juga sangat disayangkan apa pun alasannya,” ucapnya. Emrus meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku kepala negara segera memberikan teguran.
Ini sesuai dengan yang selalu dikatakan Jokowi bahwa negara harus selalu hadir dalam setiap persoalan di masyarakat. Persoalan etika komunikasi saat ini bukan hanya masalah pribadi seorang Ahok, tetapi sudah menjadi persoalan negara. Bagaimanapun, Jakarta merupakan wajah Indonesia. Terlebih sikap Ahok sudah bertentangan dengan revolusi mental yang selalu digembor-gemborkan sekarang ini.
”Bukankah pelanggaran etika itu bertentangan dengan revolusi mental? Jadi saya pikir sudah waktunya. Wajar, menurut saya, dia (Jokowi) harus memberikan teguran sebagai kepala negara, bukan sebagai kepala pemerintahan. Paling tidak teguran tertulis,” ungkapnya. Sebagai pemimpin, Ahok sudah waktunya memiliki juru bicara (jubir) untuk menyampaikan informasi dengan suasana lebih sejuk. Jubir tersebut harus orang yang memiliki kemampuan di bidang komunikasi.
Dia bisa menjalin komunikasi antara pemerintah dan DPRD sertabisa menjabarkan pikiran Ahok dalam konteks komunikasi yang beretika. ”Pendapat saya ini bukan berarti saya mau ditunjuk agar jadi jubirnya,” sebutnya. Panitia hak angket DPRD DKI Jakarta terus berusaha merampungkan penyelidikan terkait dugaan pelanggaran prosedur penyerahan APBD DKI kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan dugaan pelanggaran etika yang dilakukan Ahok.
Sebelumnya dua pakar hukum tata negara dihadirkan untuk meyakinkan panitia hak angket mengambil kesimpulan. Setelah dua pakar hukum tata negara, giliran pakar komunikasi politik dihadirkan. Hasil ini akan dibawa ke paripurna sebelum digulirkan hak menyatakan pendapat (HMP). ”Senin (30/3) sudah mantap. Rabu (1/4) paripurna. Kalau diundur-undur lagi, enggak tahulah.
Habis paripurna ituHMPdanbentuklagi panitia,” kata anggota Panitia Hak Angket Veri Younnevil. Sementara itu, Ahok mempersilakan panitia hak angket melakukan upaya apa pun. Dia menuturkan, keputusan salah atau tidak berada di tangan Mahkamah Agung. ”Apa pun mereka mau ngomong, terserah saja.
Silakan saja undang orang mau ngomong apa pun. Lucu aja , selisih sama saya, tunjuk orang,” ucapnya. Mantan Bupati Belitung Timur itu memprediksi hak angket itu hanya gertakan agar dia menerima pokok pikiran Dewan. Sampai saat ini dia masih konsisten tidak akan menerima pokok pikiran dalam bentuk nilai 1 sen pun.
Dia menyarankan kepada Dewan agar sejumlah pokok pikiran itu dititipkan dalam musyawarah rencana pembangunan (musrembang). ”Jadi hak angket ini upaya untuk menyingkirkan saya. Nah, mau nyikirin saya, nasibnya bukan di tangan mereka, tapi MA. Silakan aja singkirin saya nyogok MA kalau bisa nyogok,” ucapnya.
Bima setiyadi
(bbg)