Suap Marak di Pengawasan Ketenagakerjaan

Selasa, 24 Maret 2015 - 10:35 WIB
Suap Marak di Pengawasan Ketenagakerjaan
Suap Marak di Pengawasan Ketenagakerjaan
A A A
JAKARTA - Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) menengarai ada praktik suap di ranah pengawasan ketenagakerjaan.

Ini terbukti dengan banyak ekspatriat yang bekerja tanpa izin di Indonesia. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengungkapkan, pengawasan ketenagakerjaan yang berintegritas itu sangat penting. Namun, yang menjadi problem di lapangan adalah marak praktik suap antara petugas pengawas dan perusahaan yang diawasi sehingga banyak kasus ketenagakerjaan tidak teratasi.

Dia mengatakan, praktik suap ini tidak hanya terjadi di pemerintah pusat, namun juga di daerah. Seakanakan kasus ketenagakerjaan sudah beres, namun hasilnya malah memperburuk situasi dan kondisi hubungan industrial.

”Salah satu problem di lapangan adalah gaya 86. Banyak temuan masalah mengendap karena pola 86 ini. Pengawasan ketenagakerjaan pun jadi letoy karenanya,” katanya saat membuka Pertemuan Nasional Subbidang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Rangka Implementasi UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah di Kantor Kemenaker kemarin.

Politikus PKB ini menerangkan, salah satu temuannya adalah ketika sidak ke PT Merge Mining Industry di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan pekan lalu. Dalam sidaknya, dia menangkap lima tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok yang tidak memiliki izin kerja di perusahaan pertambangan itu. Selain menangkap TKA tidak berizin, dalam blusukannya dia juga menemukan informasi ada puluhan TKA tidak berizin lain yang belum tertangkap dan tidak bisa berbahasa Indonesia.

Hanif mengungkapkan, kepala dinas tenaga kerja setempat mengaku kesal karena tidak diberi tahu akan sidak di PT Merge Mining Industry. Menurut dia, jika pihaknya berkoordinasi dengan dinas, penangkapan tidak akan terjadi lantaran dinas akan segera membereskannya. Dia mengaku sidak di Sulawesi Utara gagal karena bocor dan sudah ada pembersihan di lapangan.

”Kadis marah-marah karena kesal saya tidak berkoordinasi. Saya tahu, jika saya koordinasi, pasti akan hilang itu barang. Di Sulut saya gagal karena saya tahu di lapangan pasti sudah dibersihkan,” ungkapnya. Hanif menjelaskan, persoalan TKA semakin kritis apalagi Indonesia akan memasuki masa Masyarakat Ekonomi ASEAN(MEA). Dia mengaku heran mengapa banyak perusahaan melanggar norma ketenagakerjaan apalagi pemerintah begitu dibodohi karena jumlah TKA lebih banyak daripada pekerja lokal.

Sekarang adalah momentum penataan sistem pengawasan secara keseluruhan. Poin yang ingin diwujudkan adalah pengawasan harus kuat, kredibel, dan efektif dari sinergi pemerintah pusat dan daerah. Keberadaan UU No 23/2014, di mana di dalamnya pengawasan menjadi urusan bersama pusat dan daerah, dapat menjadi peluang untuk mengoptimalkan pengawasan. Hanif mengakui, jumlah pengawas ketenagakerjaan memang masih kurang.

Contohnya saja di Bandung ada sekitar 1900 perusahaan yang beroperasi, namun pengawas ketenagakerjaannya hanya enam orang. Karena itu, terangnya, perlu ada skema penambahan jumlah pengawas yang tidak hanya mengandalkan dari penerimaan calon PNS. Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf berpendapat, praktik 86 di Indonesia terjadi di semua lini baik di perpajakan maupun bea cukai. Ini terjadi karena jumlah PPNS Kemenaker di bidang pengawasan memang sangat kurang.

Sementara dinas tenaga kerja yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan Kemenaker untuk melaksanakan fungsinya tidak bekerja dengan baik. Dede mengaku, kondisi inilah yang harus direfungsi oleh pemerintah bahwa penegakan aturan dengan sanksi ketat dan komitmen tinggi harus ada. Tidak hanya melakukan sidak, namun juga memperkuat pengawasan di daerah sehingga praktik 86 dapat dihilangkan.

Neneng zubaidah
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6079 seconds (0.1#10.140)