Air untuk Ketahanan Pangan

Minggu, 22 Maret 2015 - 10:10 WIB
Air untuk Ketahanan Pangan
Air untuk Ketahanan Pangan
A A A
Hari Air Sedunia (World Water Day ) kembali diperingati pada hari ini, 22 Maret 2015. Hari Air Sedunia adalah sebuah kampanye global akan pentingnya air bagi kehidupan serta perlindungan dan pengelolaan sumber daya air yang dilakukan secara berkelanjutan.

Untuk tahun ini, UN Water menetapkan tema Water and Sustainable Development, ” Air dan Pembangunan Berkelanjutan”. Air memiliki peran yang penting dalam agenda pembangunan berkelanjutan. UN Water adalah mekanisme koordinasi antarlembaga PBB yang mengoordinasikan kampanye global Hari Air Sedunia. Pangan, energi, dan air adalah isu vital global saat ini.

Dunia sedang bersamasama membangun komitmen, memenuhi kebutuhan pangan, energi, dan air sertaberupaya menjamin kelestariannya. Dokumen perencanaan pembangunan nasional juga demikian, mengacu pada agenda-agenda global yang sedang menghadapi tantangan pangan energi dan air.

Setelah Millennium Development Goals (MDGs), kini dunia menyongsong era pembangunan berkelanjutan 2015-2025 yang antara lain berkonsentrasi pada ketahanan air. Deputi III Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim) Arief Yuwono mengatakan, kualitas air di Indonesia pada 2013 di angka 51, 82, yang berarti masih dalam kondisi kurang atau mengkhawatirkan.

Kerusakan lahan dan daerah resapan air pun membuat siklus air buruk. ”Kalau siklusnya baik seharusnya air hujan tidak langsung mengalir, tapi tersimpan baik di tanah berbulan-bulan baru kemudian mengalir. Kondisi sekarang, saat hujan deras di Bogor, air dari Katulampa sudah sampai Manggarai hanya dalam hitungan jam,” terangnya.

Kualitas Air Tentukan SDM

Ketua Komisi VII DPR Wardaya Karnika mengaku belum melihat upaya optimal dari pemerintah dalam menangani berbagai persoalan terkait kondisi terkini air di Indonesia. Dia memandang perlu berbagai terobosan untuk menjaga kelestarian air dan terutama kualitas air yang dikonsumsi masyarakat.

”Kalau airnya buruk, kesehatan masyarakat buruk, kualitas SDM juga buruk. Padahal negara kita sedang menghadapi persaingan global yang kian ketat. Perlu SDM-SDM yang lebih andal dari generasi sebelumnya. Ini harus jadi perhatian,” tandasnya.

Berdasarkan Status Lingkungan Hidup yang dirilis Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sepanjang 2008-2013 telah terjadi penurunan kualitas air sungai, terutama untuk Pulau Jawa dan Sumatera. Pencemaran didominasi akibat kegiatan domestik yang menimbulkan bakteri patogen (parasit) dan berbahaya bagi kesehatan manusia.

Dampaknya adalah penyakit hepatitis dan diare pada balita. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2012 menunjukkan, 33% rumah tangga di Indonesia masih menggunakan fasilitas yang tidak layak dalam memperoleh air minum. Kepala Pusat Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tri Widiyanto mengatakan, standar mutu dan kualitas air sangat menentukan pada kualitas sumber daya manusia.

”Masyarakat yang mengonsumsi air dengan kualitas baik, tingkat kesehatannya tentu lebih baik dan terjaga. Mereka yang mengonsumsi air berkualitas buruk sangat rentan penyakit seperti kolera, diare, kerusakan bagianbagian tubuh seperti gigi dan tulang serta lainnya,” jelas Tri.

Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Rinekso Soekmadi menjelaskan, dalam kondisi saat ini, masyarakat idealnya memanfaatkan sumber air berlimpah dari air permukaan atau air sungai.

Pemanfaatan secara maksimal air sungai atau danau dapat mengurangi penggunaan air dalam tanah yang otomatis menjaga kuantitas serta kualitas air tersebut. ”Sebagian besar tubuh manusia didominasi air. Jadi penting bagi kita untuk mendapatkan air bersih,” katanya.

Tenaga ahli Integrated Water Conservation Management (IMCM) Chay Asdak menjelaskan, ketahanan pangan dan energi memerlukan ketahanan air. Ketahanan air ditentukan oleh kuantitas dan kualitas. ”Kita mengalami persoalan pada kedua aspek tersebut,” sebutnya.

Dia menjelaskan, dilihat dari data sedimentasi sungai, status kualitas air di Indonesia dari waktu ke waktu cenderung tidak menunjukkan perbaikan, bahkan terus memburuk. Pada 1976, daerah aliran sungai (DAS) yang lahannya kritis hanya berjumlah 22. Pada 1995 meningkat menjadi 39, 2005 menjadi 62, dan 2009-2014 menjadi 108 DAS.

Artinya, kebijakan serta program penghijauan dan reboisasi yang digalakkan pemerintah kurang berhasil. Data lain yang dapat dijadikan indikator adalah sedimentasi Sungai Citarum (Jawa Barat) per tahun lebih besar dari 4 juta meter kubik (m3) per tahun, Sungai Cimanuk (calon Waduk Jatigede, Jawa Barat) lebih besar dari 5 juta m3 per tahun, dan Sungai Brantas (Jawa Timur) sedimentasinya lebih besar dari 3 juta m3 per tahun.

Dari data tersebut, Chay pesimistis ketahanan pangan dapat berkelanjutan kecuali semua pihak serius mengelola air sesuai dengan kaidah-kaidah berkelanjutan. Kualitas air sungai di Indonesia juga sangat terancam pencemaran limbah industri dan rumah tangga. Indikatornya adalah semakin banyak masyarakat yang tinggal di sekitar sungai.

Pada musim kemarau, masyarakat menjerit karena air sungai tidak aman dimanfaatkan untuk kebutuhan keluarga. Warna dan bau sungai menunjukkan upaya pengendalian pencemaran industri tidak berjalan sesuai dengan peraturan pemerintah.

Menurut Chay, jumlah studi amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) industri tidak berkorelasi dengan perbaikan kualitas air sungai. Laporan amdal dibuat hanya untuk memenuhi formalitas peraturan. ”Faktanya air sungai tetap tercemar. Ada yang salah di sana. Otoritas pengendalian lingkungan hidup harus bekerja lebih serius untuk hal ini,” tegasnya.

Dari sisi kuantitas, dibandingkan dua tahun lalu relatif sama karena curah hujan secara umum di Indonesia masih sama. Misalnya di Jawa Barat dan Banten jumlah pasokan air sekitar 65 miliar m3 per tahun, sementara kebutuhannya hanya sekitar 35 miliar m3 per tahun.

Chay juga menekankan, seringnya terjadi kekeringan atau kekurangan air pada musim kemarau di beberapa wilayah menunjukkan bahwa kualitas manajemen air belum maksimal. Ini bukan masalah kuantitas ketersediaan air. Buktinya, menurut dia, pada musim hujan selalu terjadi banjir karena potensi kuantitas air yang besar belum disimpan dan dikelola dengan baik. ”Jadi, yang terjadi sekarang ini adalah krisis manajemen air, bukan krisis air,” paparnya.

Dia memandang, tingkat ketahanan air nasional pada lima tahun ke depan belum menggembirakan karena jumlah air yang banyak masih menjelmakan bencana banjir dan langsung terbuang percuma ke laut. Kuantitas air belum dapat disimpan dengan baik dalam tanah karena rusaknya hutan.

Karena itu, apabila ingin agar ketahanan pangan terwujud dengan baik, pemerintah harus melancarkan upaya konservasi air besar-besaran dengan pembuatan waduk-waduk kecil dan sedang.

Direktur Institut Hijau Indonesia (IHI) Chalid Muhammad mengatakan, bagi kita khalayak masyarakat, ada beberapa hal paling sederhana, tetapi berdampak besar yang bisa dilakukan untuk menjaga ketahanan air, yakni mulai menghemat air, mengurangi berbagai kegiatan yang berdampak terhadap pencemaran air, melakukan upaya penyelamatan hutan sebagai sumber-sumber kehidupan sekaligus sebagai sumber mata air serta menjaga keberlanjutan dan ketahanan pangan.

Hermansah / Robi ardianto
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3780 seconds (0.1#10.140)