Dua Anak Berniat Penjarakan Ibu Kandung
A
A
A
JAKARTA - Kentjana Sutjiawan, 83, menangis tersedu- sedu. Di usia senja, ibu enam anak itu harus berhadapan dengan hukum.
Ironisnya, lawannya adalah dua anak kandungnya yakni Edhi Sudjono Muliadi (anak pertama) dan Suwito Muliadi (anak kelima). Keduanya bahkan melakukan berbagai upaya agar ibunya dideportasi ke China untuk dapat menguasai tiga bidang tanah milik Kentjana. “Saya sebenarnya malu. Saya serahkan semuanya kepada Tuhan. Saya tidak bisa apa-apa. Punyaanak kok sepertiini. Inianak kandung saya,” ujar Kentjana kemarin.
Untuk mendapatkan keinginannya itu, Edhi dan Suwito juga berniat memenjarakan ibunya. “Waktu pertama kali, saya sudah sampaikan jangan ribut-ribut. Namun, saya malah mau dipenjara. Dia mau saya dipenjara baru puas,” ungkapnya.
Dia tidak mempermasalahkan tanah yang diduga diambil dua anaknya tersebut. Namun, semua kasus panjang ini sudah masuk ranah hukum sehingga harus dihadapi secara hukum. “Saya tidak ada perasaan apaapa. Secara pribadi tidak masalah. Kamu kasih mati saya juga tidak apa-apa, tapi ini sudah urusan hukum,” tuturnya.
Kuasa hukum Kentjana, Dedy Heryadi, mengatakan bahwa permasalahan ini bermula ketika Edhi meminta ibunya tiga bidang tanah, pertama seluas 124 meter persegi di Jalan Kemurnian VI, Tamansari, Jakarta Barat; kedua seluas 3.130 meter persegi di Penjaringan, Jakarta Utara; dan ketiga seluas 2.000 meter persegi di Penjaringan, semua sertifikatnya menjadi atas namanya.
Pada 2000, Edhi kemudian meminta sertifikat tanah itu dijadikan jaminan kredit di bank. “Ibu Kentjana menolak, karena tanah itu bukan hanya untuk kepentingan Edhi, namun juga anak-anaknya yang lain,” ujar Dedy.
Konflik pun terjadi. Edhi kemudian melaporkan ibunya ke Polres Jakarta Utara atas tuduhan penggelapan dan penipuan. Ibu tua itu pun terancam dipenjara. Namun, akhirnya pengadilan memutuskan membebaskan Kentjana karena tidak terbukti bersalah. Kentjana lalu mengajukan gugatan peralihan hak atas ketiga bidang tanah itu.
Pengadilan hingga Mahkamah Agung (MA) mengabulkannya. “Atas putusan itu, Kakanwil BPN DKI Jakarta menerbitkan surat keputusan pembatalan sertifikat hak guna bangunan (HGB) di dua bidang tanah di Penjaringan atas nama Edhi. PN Jakarta Utara juga menerbitkan penetapan eksekusi agar Edhi atau pihak lain yang berada di atas kedua bidang tanah itu menyerahkannya kepada Kentjana,” terangnya.
Edhi tak kehabisan akal. Dia mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan PN Jakarta Utara. “Anehnya PTUN mengabulkan gugatan Edhi dengan membatalkan putusan Kakanwil BPN. Sementara PN Jakarta Utara juga mengeluarkan putusan yang aneh dan menyatakan penetapan eksekusi pengosongan lahan tidak sah,” ujar Dedy.
Merespons hal itu, pihaknya telah melaporkan kedua majelis hakim PTUN Jakarta dan PN Jakarta Utara ke Komisi Yudisial (KY) dan MA. Saat ini masih dalam proses. Dia menuturkan tak hanya melalui jalur hukum, Edhi dan Suwito juga menempuh jalan lain dengan cara melaporkan ke Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM jika Kentjana bukan warga negara Indonesia.
Padahal, Kentjana mengantongi bukti kewarganegaraan Indonesia bernomor 527908/AL tanggal 16 Maret 1962; surat pernyataan ganti nama nomor 144965/GN/DB/1968 tanggal 8 Januari 1968; KTP atas nama Kentjana oleh Pemkot Jakarta Barat; paspor atas nama Kentjana tanggal 29 Mei 1975 dan sudah diperpanjang; serta bukti-bukti lainnya.
Kendati demikian, kasus ini belum berujung. Tanah milik Kentjana tetap dikuasai Edhi dan Suwito. Sementara Kentjana terus dihantui kekhawatiran lantaran masih terancam dideportasi sewaktu-waktu.
Anak ketiga Kentjana, Tjendana Muliadi mengaku sedih melihat kondisi ibunya yang sudah tua, namun harus menghadapi masalah ini. “Seharusnya umur segini sudah menikmati hidup. Bisa hidup tenang, tapi malah menghadapi masalah seperti ini,” ucapnya.
Dia menceritakan setelah ayahnya meninggal, ibunya yang saat itu berusia sekitar 40 tahun berjuang membesarkan enam anaknya. Ketika itu sekitar tahun 1970-an, ada sejumlah toko dan rumah, tapi statusnya masih sewa. Perlahan-lahan usaha ibunya di bidang penjualan alat kematian seperti peti mati, kayu bakar, dan pernak-pernik lainnya berkembang.
“Akhirnya bisa beli tanah di Penjaringan. Kita orang (empat anak lainnya) tidak kuliah. Hanya Edhi sama Suwito yang kuliah. Edhi kuliah di kedokteran. Dia enggak mau pegang toko. Dulu bangga kalau punya anak bisa jadi dokter. Anak pertama bisa jadi pengganti ayah,” ujarnya.
Namun, kini harapan tinggal harapan. Edhi dan Suwito malah ingin menguasai tanah milik ibunya. “Dulu akur. Jadi tidak masalah sertifikat pakai nama siapa saja, tapi sekarang jadi begini,” ucapnya.
Helmi syarif
Ironisnya, lawannya adalah dua anak kandungnya yakni Edhi Sudjono Muliadi (anak pertama) dan Suwito Muliadi (anak kelima). Keduanya bahkan melakukan berbagai upaya agar ibunya dideportasi ke China untuk dapat menguasai tiga bidang tanah milik Kentjana. “Saya sebenarnya malu. Saya serahkan semuanya kepada Tuhan. Saya tidak bisa apa-apa. Punyaanak kok sepertiini. Inianak kandung saya,” ujar Kentjana kemarin.
Untuk mendapatkan keinginannya itu, Edhi dan Suwito juga berniat memenjarakan ibunya. “Waktu pertama kali, saya sudah sampaikan jangan ribut-ribut. Namun, saya malah mau dipenjara. Dia mau saya dipenjara baru puas,” ungkapnya.
Dia tidak mempermasalahkan tanah yang diduga diambil dua anaknya tersebut. Namun, semua kasus panjang ini sudah masuk ranah hukum sehingga harus dihadapi secara hukum. “Saya tidak ada perasaan apaapa. Secara pribadi tidak masalah. Kamu kasih mati saya juga tidak apa-apa, tapi ini sudah urusan hukum,” tuturnya.
Kuasa hukum Kentjana, Dedy Heryadi, mengatakan bahwa permasalahan ini bermula ketika Edhi meminta ibunya tiga bidang tanah, pertama seluas 124 meter persegi di Jalan Kemurnian VI, Tamansari, Jakarta Barat; kedua seluas 3.130 meter persegi di Penjaringan, Jakarta Utara; dan ketiga seluas 2.000 meter persegi di Penjaringan, semua sertifikatnya menjadi atas namanya.
Pada 2000, Edhi kemudian meminta sertifikat tanah itu dijadikan jaminan kredit di bank. “Ibu Kentjana menolak, karena tanah itu bukan hanya untuk kepentingan Edhi, namun juga anak-anaknya yang lain,” ujar Dedy.
Konflik pun terjadi. Edhi kemudian melaporkan ibunya ke Polres Jakarta Utara atas tuduhan penggelapan dan penipuan. Ibu tua itu pun terancam dipenjara. Namun, akhirnya pengadilan memutuskan membebaskan Kentjana karena tidak terbukti bersalah. Kentjana lalu mengajukan gugatan peralihan hak atas ketiga bidang tanah itu.
Pengadilan hingga Mahkamah Agung (MA) mengabulkannya. “Atas putusan itu, Kakanwil BPN DKI Jakarta menerbitkan surat keputusan pembatalan sertifikat hak guna bangunan (HGB) di dua bidang tanah di Penjaringan atas nama Edhi. PN Jakarta Utara juga menerbitkan penetapan eksekusi agar Edhi atau pihak lain yang berada di atas kedua bidang tanah itu menyerahkannya kepada Kentjana,” terangnya.
Edhi tak kehabisan akal. Dia mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan PN Jakarta Utara. “Anehnya PTUN mengabulkan gugatan Edhi dengan membatalkan putusan Kakanwil BPN. Sementara PN Jakarta Utara juga mengeluarkan putusan yang aneh dan menyatakan penetapan eksekusi pengosongan lahan tidak sah,” ujar Dedy.
Merespons hal itu, pihaknya telah melaporkan kedua majelis hakim PTUN Jakarta dan PN Jakarta Utara ke Komisi Yudisial (KY) dan MA. Saat ini masih dalam proses. Dia menuturkan tak hanya melalui jalur hukum, Edhi dan Suwito juga menempuh jalan lain dengan cara melaporkan ke Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM jika Kentjana bukan warga negara Indonesia.
Padahal, Kentjana mengantongi bukti kewarganegaraan Indonesia bernomor 527908/AL tanggal 16 Maret 1962; surat pernyataan ganti nama nomor 144965/GN/DB/1968 tanggal 8 Januari 1968; KTP atas nama Kentjana oleh Pemkot Jakarta Barat; paspor atas nama Kentjana tanggal 29 Mei 1975 dan sudah diperpanjang; serta bukti-bukti lainnya.
Kendati demikian, kasus ini belum berujung. Tanah milik Kentjana tetap dikuasai Edhi dan Suwito. Sementara Kentjana terus dihantui kekhawatiran lantaran masih terancam dideportasi sewaktu-waktu.
Anak ketiga Kentjana, Tjendana Muliadi mengaku sedih melihat kondisi ibunya yang sudah tua, namun harus menghadapi masalah ini. “Seharusnya umur segini sudah menikmati hidup. Bisa hidup tenang, tapi malah menghadapi masalah seperti ini,” ucapnya.
Dia menceritakan setelah ayahnya meninggal, ibunya yang saat itu berusia sekitar 40 tahun berjuang membesarkan enam anaknya. Ketika itu sekitar tahun 1970-an, ada sejumlah toko dan rumah, tapi statusnya masih sewa. Perlahan-lahan usaha ibunya di bidang penjualan alat kematian seperti peti mati, kayu bakar, dan pernak-pernik lainnya berkembang.
“Akhirnya bisa beli tanah di Penjaringan. Kita orang (empat anak lainnya) tidak kuliah. Hanya Edhi sama Suwito yang kuliah. Edhi kuliah di kedokteran. Dia enggak mau pegang toko. Dulu bangga kalau punya anak bisa jadi dokter. Anak pertama bisa jadi pengganti ayah,” ujarnya.
Namun, kini harapan tinggal harapan. Edhi dan Suwito malah ingin menguasai tanah milik ibunya. “Dulu akur. Jadi tidak masalah sertifikat pakai nama siapa saja, tapi sekarang jadi begini,” ucapnya.
Helmi syarif
(ftr)