Aliansi Media Hadang Raksasa Internet

Sabtu, 21 Maret 2015 - 10:25 WIB
Aliansi Media Hadang...
Aliansi Media Hadang Raksasa Internet
A A A
LONDON - Perang media tradisional versus perusahaan internet ditabuh. The Guardian, Financial Times, CNN International, Reuters, dan Economist bersatu membangun aliansi untuk menghadang perusahaan raksasa internet, Microsoft, Google, dan Facebook.

Aliansi kelima media raksasa tersebut— yang mereka sebut dengan Aliansi Pangaea—diarahkan untuk merebut pangsa pasar iklan online yang kini didominasi Microsoft, Google, dan Facebook. Melalui aliansi itu, kelima media raksasa menargetkan menarik 110 juta pembaca online.

Caranya, aliansi tersebut menawarkan pengiklan bisa mempromosikan produksinya pada laman kelima media tersebut sekaligus. Inisiatif baru itu akan memanfaatkan sistem periklanan dengan sistem komputerisasi dan program khusus.

”Keunikan Pangaea terletak pada kualitas mitra-mitra kita. Kita mengetahui kalau kepercayaan merupakan motor terbesar dalam advokasi brand, sehingga kita bekerja sama untuk meningkatkan keuntungan iklan dengan lingkungan media yang terpercaya,” ujar Tim Gentry, direktur Pendapat Global Guardian News & Media, dikutip The Guardian .

Revolusi yang dimunculkan aliansi diakui muncul karena perusahaan media dan penerbit terpukul dalam iklan digital. Dengan model bisnis baru ini, mereka berharap bisa bangkit kembali. Mereka pun menegaskan tetap mempertahankan koran meskipun adanya penurunan. ”Apa yang kita temukan seperti kita bekerja sama dengan format iklan seperti biasa yang dikombinasikan dengan cara-cara yang unik,” ujar Gentry.

Dia berharap aliansi itu akan membuka pasar baru bagi para pengiklan global. Aliansi itu akan berebut kue manis pasar iklan online global diperkirakan bernilai USD60 miliar (Rp780 triliun). Sayangnya, bukan para pemilik media global yang mengambil keuntungan besar, melainkan perusahaan raksasa online seperti Google dan Facebook yang memanfaatkan peluang itu.

Berdasarkan data eMarketer, di Inggris, Google dan Facebook memperoleh keuntungan setengah jatah iklan online lokal senilai 1 miliar poundsterling (Rp19,35 triliun). Namun, rival media tradisional lainnya seperti Mail Online, situs berita terbesar di Inggris, tetap fokus dengan pertumbuhan pembacanya.

Aliansi Pangaea akan merilis versi beta pada April mendatang, sebelum dirilis secara penuh akhir tahun ini. Platform itu akan dioperasikan oleh Rubicon Project, perusahaan berbasis di Los Angeles, Amerika Serikat.

Mitra kerja Pangaea mengungkapkan, nilai utama aliansi itu adalah menghadirkan kembali kebersamaan pengaruh dan kepercayaan global bagi para pengiklan. ”Kualitas pembaca Financial Times adalah apa yang ingin pengiklan beli,” kata Dominic Good, direktur penjualan iklan Financial Times .

Dia mengungkapkan, Pangaea merupakan inisiatif menakjubkan untuk membuat proporsi penerbit premium dengan jaminan lingkungan periklanan yang terpercaya, membangun skala signifikansi, dan berbagi kemampuan target iklan yang cerdas. Inovasi dan kreativitas yang tidak paralel juga menjadi kelebihan Pangaea.

Mereka akan mengizinkan berbagai merek untuk mengiklankan dengan teknik yang kreatif dan menggunakan format yang sesuai dengan pasar. Nantinya itu akan menciptakan cerita yang koheren dengan mitra media mereka dan membangun hubungan penuh makna dengan pelanggan yang prospektif.

Untuk diketahui, Pangaea adalah nama benua purba raksasa yang eksis sekitar 300 juta tahun lampau ketika Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan India berada di daratan yang sama. Pangaea bukan yang pertama. Banyak perusahaan media telah mengembangkan konsep periklanan terprogram. Semisal News Corp yang menggunakan bisnis pihak ketiga untuk menjual program iklannya pada 2013 lalu. Namun, News Corp tidak membangun aliansi dengan perusahaan media lainnya.

Harus Ditertibkan

Indonesia juga memberi perhatian pada pergerakan media internet global. Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya menilai keberadaan media sosial asing dan over the top (OTT) memang telah menarik keuntungan besar di Tanah Air. Karena itulah, DPR bersama pemerintah tengah berpikir bagaimana menertibkan mereka.

Tantowi yakin semangat pemerintah untuk segera membereskan persoalan media sosial asing sama dengan apa yang diinginkan DPR. Oleh karena itu, dia berharap agar dalam waktu dekat ada action dari pemerintah untuk membereskannya. ”Mengingat pembuatan UU memakan waktu, kami mendesak pemerintah untuk menerbitkan kepmen terlebih dahulu,” ucap Tantowi.

Tantowi menandaskan, ada ucapan pemerintah yang juga bisa dijadikan pegangan untuk menuntaskan masalah ini, bahwa persoalan media sosial asing jangan sampai menjadi penumpang gelap di dalam kemajuan teknologi bangsa sendiri. ”Kalau mau berbisnis di Indonesia, ikutilah peraturan dan perundangan yang ada,” tuntasnya.

Pengamat media sosial dari Indeks Digital, Jimmi Kembaren, menilai persoalan media sosial asing yang tidak mendatangkan keuntungan bagi dalam negeri tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga sejumlah negara lain di dunia. Bedanya, mereka yang merasa dirugikan itu berani bersikap tegas dengan cara menutup ruang media sosial asing berkembang di negaranya.

”Menurut saya, diblok saja media sosial asing ini. Dengan begitu, uang kita tidak dibawa keluar oleh mereka. Selain itu, perusahaan lokal juga bisa lebih berkembang dan besar,” ujar Jimmi kepada KORAN SINDO kemarin.

Beberapa negara itu antara lain Rusia, China, dan Vietnam. Mereka berani mengambil sikap lantaran tidak ditemukannya kesepakatan yang menguntungkan untuk kedua belah pihak. ”Kalau Indonesia mau belajar, itu ada pattern -nya dari negara-negara tersebut. Tidak perlu takut karena ketegasan terhadap media sosial asing untuk kepentingan nasional juga,” ucap Jimmi.

Menurut Jimmi, di Indonesia selama ini kehadiran media sosial asing justru cukup digandrungi masyarakat. Sementara di sisi lain, pemerintah kurang tanggap untuk mengantisipasi dampak buruk dari kehadiran media sosial asing tersebut. ”Tapi mengenakan pajak kepada media sosial asing ini juga bukan solusi yang tepat, sebab besar kemungkinan mereka tidak akan mematuhinya,” kata Jimmi.

Jimmi pun mengibaratkan kehadiran media sosial asing yang mengeruk keuntungan di dalam negeri tanpa membaginya untuk negara tujuan adalah bentuk penjajahan dalam dunia modern. Oleh karena itu, harus ada kepastian mau diapakan media sosial ini. ”Kalau pemerintah merasa keberatan, ya dibatasi. Kalau memang terimaterima saja dirugikan, ya dibiarkan saja sekalian,” tuturnya.

Namun demikian, Jimmi sempat juga mendengar ada gagasan untuk mengatasi ”bandelnya” para perusahaan media sosial asing ini, seperti meminta mereka untuk membuka kantor perwakilan di Tanah Air.

Andika mustaqim/ Dian ramdhani
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8562 seconds (0.1#10.140)