Paket Kebijakan Ekonomi Tak Cukup

Senin, 16 Maret 2015 - 12:34 WIB
Paket Kebijakan Ekonomi Tak Cukup
Paket Kebijakan Ekonomi Tak Cukup
A A A
JAKARTA - Paket kebijakan ekonomi dinilai belum cukup untuk meredam pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Selain butuh tindakan konkret dalam jangka pendek, pemerintah harus menyelesaikan problem struktural perekonomian nasional.

Sejumlah ekonom dan pelaku bisnis yang dihubungi KORAN SINDO menilai rumusan paket kebijakan ekonomi pemerintah baru berdampak dalam jangka menengah-panjang. Padahal, upaya meredam depresiasi rupiah harus dilakukan cepat dalam jangka pendek.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto berharap paket kebijakan ekonomi yang akan dirilis hari ini dapat meminimalkan ketidakpastian ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini.

Namun, menurutnya, jika dicermati, berbagai kebijakan dalam rumusan paket kebijakan itu sepertinya baru berdampak dalam jangka menengah-panjang, terutama terkait dengan keringanan pajak (tax allowance) dan pembentukan BUMN reasuransi. ”Sementara kebijakan yang memiliki efek lebih cepat seperti pajak pertambahan nilai (PPN) galangan kapal, perbaikan sistem remitansi, antidumping, dan penggunaan letter of credit (LC) diperkirakan belum cukup efektif meredam pelemahan rupiah,” ujar Eko kemarin.

Pemerintah akan menerbitkan paket kebijakan ekonomi sebagai penyikapan atas depresiasi rupiah terhadap dolar AS. Kebijakan dalam paket dimaksud antara lain peraturan menteri keuangan yang mengatur fleksibilitas bea masuk antidumping sementara dan bea masuk tindakan pengamanan sementara untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri.

Kemudian melakukan revisi ketentuan tax allowance dan insentif tax holiday untuk mendorong peningkatan investasi langsung. Kebijakan lainnya adalah mendorong penggunaan biofuel yang saat ini ditetapkan sebesar 10% menjadi lebih tinggi lagi serta menyiapkan skema perpajakan PPN untuk industri pelayaran.

Kemudian mendorong terbentuknya BUMN reasuransi untuk mengurangi defisit di neraca jasa, khususnya asuransi, dan meningkatkan penegakan hukum untuk mendorong implementasi UU Mata Uang yang mewajibkan penggunaan rupiah di dalam negeri. Eko Listiyanto berpandangan, di samping paket kebijakan, pemerintah harus melakukan langkah-langkah perbaikan di dalam negeri.

Langkah itu untuk memperbaiki sisi fundamental perekonomian domestik, di antaranya segera mengeksekusi pembangunan infrastruktur demi meningkatkan daya saing ekonomi. Pemerintah juga harus lebih tegas dalam implementasi kebijakan devisa hasil ekspor. Eksportir yang enggan menaruh devisa hasil ekspor di bank dalam negeri mesti diberi sanksi tegas.

“Terlebih untuk eksportir sumber daya alam yang jelasjelas produknya dihasilkan dari bumi Indonesia,” ujarnya. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengaku belum tahu persis paket kebijakan ekonomi yang akan diumumkan pemerintahhari ini.

Namun, jika mengacu rumusan paket kebijakan untuk mengantisipasi pelemahan rupiah yang telah dikemukakan pemerintah pekan lalu, Hariyadi mengkritik dua di antaranya. Menurutnya, dua kebijakan dalam paket itu tidak akan bisa diimplementasikan secara cepat. Kebijakan dimaksud adalah meningkatkan komponen bahan bakar nabati (BBN) agar impor minyak bisa dikurangi.

Menurut Hariyadi, kebijakan ini perlu keseriusan dan konsentrasi ke jangka panjang. Terlebih dengan kondisi harga bahan bakar fosil (minyak) dunia yang sedang lemah saat ini menyebabkan pengembangan BBN menjadi tidak kompetitif.

“Yang namanya kebijakan itu enggak bisa kalau pas untung saja dikerjain, giliran enggak untung enggak dikerjain. Sekarang ini BBN enggak mungkin untung, biayanya kan mahal dibanding bahan bakar fosil. Artinya kebijakan BBN ini baik, tapi perlu waktu,” ujarnya.

Kebijakan lain yang menurutnya agak susah diterapkan adalah insentif pajak bagi perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia yang tidak mengirimkan dividen tahunan sebesar 100% ke perusahaan induk di negara asal.

Hariyadi memahami kebijakan ini bertujuan mendorong investor agar mereka tetap mempertahankan dananya di Indonesia dan menggunakannya untuk ekspansi atau investasi lagi. Namun, menurutnya, kebijakan ini kurang tepat. “Agak susah, orang membagi dividen kan punya keperluan sendiri-sendiri. Mana bisa orang disuruh-suruh begitu,” ujarnya.

Di sisi lain Hariyadi mendukung beberapa poin kebijakan, terutama langkah Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) yang akan mendorong dan memaksa proses transaksi di Indonesia memakai mata uang rupiah. Ia meminta ketentuan ini dipatuhi semua pihak, tak terkecuali BUMN.

Ketua Umum Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA) Muhammad Idrus menilai pemerintah dan BI terlalu lamban menyikapi pelemahan rupiah. Antisipasi seharusnya sudah dilakukan jauh-jauh hari agar tidak terjadi aksi spekulasi. “Sikap pemerintah seolah tidak ada masalah nilai tukar dan menyalahkan eksternal. Ini membahayakan, posisi rupiah kini terendah sejak 15 tahun lalu,” ujarnya.

Dia mengkritik pemerintah yang selalu mengatakan kondisi ini karena faktor eksternal. Seharusnya ada upaya serius dari otoritas moneter dan fiskal untuk membendung agar depresiasi tidak terlalu dalam. Ini berbeda dengan pemerintahan sebelumnya yang mengeluarkan kebijakan untuk jangka pendek.

“Waktu dulu dolar baru lewati Rp10.000, kan akhirnya tidak melampaui Rp12.000 (per dolar AS). Pemerintah harus lebih proaktif karena instrumen BI tidak terlalu banyak. Jangan selalu bilang aman saja,” ujarnya.

Depresiasi ini sangat buruk karena mendorong inflasi. Ini menyebabkan pendapatan masyarakat tergerus. “Pemerintah harus punya action plan untuk mitigasi depresiasi dalam jangka pendek,” ujarnya.

Pengamat ekonomi Lana Soelistianingsih juga mengingatkan agar pemerintah memiliki solusi jangka pendek. Kebijakan dimaksud antara lain untuk mencegah tekanan dari dalam negeri karena spekulasi.

Kalau ada kebutuhan dolar AS karena mau bayar utang atau untukimpor, harusada underlying transaksinya. “Namun juga ada kemungkinan yang tidak memiliki underlying dalam kegiatan pasar valas di perbankan. Ini yang juga harus diawasi oleh OJK di sektor perbankan. Lalu berikan saran ke pemerintah,” ujarnya.

Dia menilai paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah hanya untuk jangka menengah. Adapun di jangka pendek seharusnya juga ada upaya mengawasi transaksi yang mencurigakan. “Dulu BI menjaga satu-satu bank seperti itu. Pemerintah juga harus pastikan perusahaan lakukan hedging. Harus dibantu pemerintah seperti Kemenkeu. Jangan sampaipermintaan dolar bertambah,” ujarnya.

Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan depresiasi rupiah terhadap dolar AS belum sampai memengaruhi amendemen kontrak yang berjalan pada proyekproyek infrastruktur Kementerian PUPR.

Meski begitu, Menteri PUPR Basuki Hadimoeljono mengatakan, jangan sampai rupiah semakin terpuruk. “Semuanya masih berjalan on schedule. Kita percaya, kondisi rupiah masih bisa diintervensi pemerintah. Yang jelas, kita sama-sama berharap jangan sampai rupiah terpuruk,” katanya.

Menurut Basuki, pengerjaan proyek di kementerian yang dipimpinnya juga masih mengandalkan bahan baku di dalam negeri. Sekretaris Jenderal Gabungan Pelaksana Kontruksi Indonesia Andi Rukman mengatakan, melemahnya rupiah terhadap dolar berpengaruh terhadap dunia konstruksi, tetapi belum signifikan.

Alasannya, material konstruksi seperti semen, baja, pasir serta material lain masih dipasok di dalam negeri. “Transaksinya pun masih menggunakan rupiah. Jadi kalau ada target konstruksi, saya kira masih bisa dicapai,” kata dia.

Kenaikan harga akibat depresiasi rupiah hanya terjadi pada material aspal. “Namun yang paling kita waspadai kalau ada kenaikan harga upah dan bahan baku yang sudah melonjak, kami akan meminta eskalasi harga. Tapi sejauh ini belum,” paparnya.

Inda susanti/ Kunthi fahmar sandy/ Ichsan amin /ant
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4278 seconds (0.1#10.140)