Tata Keuangan Parpol Belum Siap

Jum'at, 13 Maret 2015 - 10:31 WIB
Tata Keuangan Parpol...
Tata Keuangan Parpol Belum Siap
A A A
JAKARTA - Wacana pemberian subsidi kepada partai politik (parpol) sebesar Rp1 triliun tidak tepat di saat sebagian besar parpol masih bermasalah dengan petanggungjawaban laporan keuangannya.

Peneliti Divisi Korupsi dan Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Faridz mengemukakan, akuntabilitas pengelolaan keuangan parpol saat ini masih kusut. Itu antara lain terlihat pada belum jelasnya laporan penerimaan atau sumbangan yang diterima parpol. “Cukup banyak parpol yang menerima sumbangan dari hasil korupsi atau kejahatan, yakni lewat kader politiknya.

Dari beberapa fakta persidangan KPK, uang korupsi itu digunakan untuk aktivitas partai, misalnya untuk membiayai kongres,” kata Donald Faridz di Jakarta kemarin. Korupsi yang dilakukan kader parpol, baik di eksekutif maupun legislatif, menurut Donald, diakibatkan beban kader yang diwajibkan memberikan sumbangan rutin kepada parpol pengusungnya. Adapun pendanaan parpol selama ini mengandalkan sumbangan kadernya yang duduk di eksekutif maupun legislatif.

“Ada yang sumbangannya 20%, ada yang 30%, tergantung parpolnya. Beban sumbangan itu tentu memusingkan kader. Lalu mereka mencari sumbersumber pemasukan lain, yang paling instan melalui permainan proyek-proyek negara,” kata dia. Di samping problem sumbangan kader, parpol juga tak pernah transparan mengenai sumbangan dari pihak ketiga.

Karena itu, sumbangan parpol yang melebihi ketentuan, yaitu maksimal Rp1 miliar untuk perseorangan dan Rp7,5 miliar untuk badan, tidak terlaporkan. Menurut dia, peningkatan anggaran parpol memang keniscayaan karena mengikuti kenaikan inflasi dan kebutuhan parpol yang tinggi. Namun, menurut Donald, jumlah Rp1 triliun tak rasional, terutama di tengah kecenderungan pemerintah saat ini suka mengurangi subsidi untuk rakyat.

“Jumlah kenaikan anggaran yang rasional menurut kami sebesar Rp1.080 per suara, itu sudah ada peningkatan 10 kali lipat dari subsidi pemerintah untuk parpol selama ini sebesar Rp108 per suara,” ujarnya. Sementara itu, menurut Koordinator ICW Abdullah Dahlan, pemberian subsidi yang terlalu besar terhadap parpol itu tidak sehat karena di samping menciptakan ketergantungan parpol terhadap negara, juga tidak akan ada tantangan bagi parpol untuk mendapatkan kepercayaan publik.

“Jangan beri subsidi sebelum mereka bisa membangun tata kelola keuangan yang baik. Kewajiban mereka sebagai pejabat publik untuk menyampaikan laporan keuangan ke publik juga tak dipenuhi,” ujarnya. Peneliti Bidang Fiskal dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Dahnil Simanjuntak menilai logika pemberian subsidi parpol Rp1 triliun untuk menurunkan angka korupsi parpol dan kadernya keliru.

Menurutnya, banyak penelitian yang justru menyatakan, variabel penurunan korupsi parpol berhubungan dengan tingkat akuntabilitas dan transparansi serta penegakan hukum terhadap pelanggaran parpol. Di Jerman, kata dia, parpol yang terindikasi korupsi langsung menurun jumlah konstituennya. “Ini yang tak terjadi di Indonesia, masyarakat kita terlalu toleran dan permisif terhadap perilaku korup, ini jadi masalah tersendiri,” katanya.

Khoirul muzakki
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0995 seconds (0.1#10.140)