Kubu Agung Disahkan, Yasonna Laoly Masuk Kualifikasi Busuk

Kamis, 12 Maret 2015 - 03:27 WIB
Kubu Agung Disahkan,...
Kubu Agung Disahkan, Yasonna Laoly Masuk Kualifikasi Busuk
A A A
JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly terus dikritik terkait keputusannya mengesahkan pengurus Partai Golkar hasil Munas Ancol pimpinan Agung Laksono. Kritik pedas datang dari Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis yang menganggap, kebijakan Menkumham salah dan bertentangan dengan hukum.

"Ini politis. Terlalu sulit untuk tidak mengatakan tidak politis, tidak campur tangan. Dalam demokrasi dia (Menkumham) masuk dalam kualifikasi busuk," ujar Margarito, Rabu 11 Maret 2015.

Karenanya, demi martabat kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sambung Margarito, sebaiknya pemerintah segera menarik atau mencabut surat itu. Hal itu merupakan langkah paling sportif dan elegan yang bisa dilakukan pemerintah sehingga tidak membuat kacau negara dan konstitusi.

"Kalau Jokowi enggak nyuruh (menangkan Agung), demi martabat pemerintah berhentikan ini orang (Menkumham). Sebab sudah dua kali melakukan kesalahan ada PPP dan Golkar. Nanti PAN, Demokrat dan sebagainya. Masa depan demokrasi habis kalau bangsa dikelola orang seperti ini," sindirnya.

Terkait kebijakan itu, Margarito mempertanyakan dasar hukum yang dipakai Menkumham dalam menyikapi persoalan di Golkar. Bila dasarnya adalah, Pasal 23 dan Pasal 32 UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, kata Margarito, di situ jelas tidak diatur kewenangan Menkumham untuk memenangkan Munas Ancol dan menyusun kepengurusannya.

Yang dimaksud dengan membentuk sendiri kepengurusan selambat-lambatnya 30 hari setelah munas berakhir dan diajukan ke Kemenkumham untuk didaftarkan. Hal itu harus diartikan, bila munas berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada persoalan.

Menurut Margarito, amar putusan Mahkamah Partai Golkar terdapat dua perbedaan dimana, dua hakim yang menyatakan A dan dua hakim lainnya menyatakan B. Bahkan, hal itu dipertegas dengan pernyataan Ketua Mahkamah Partai Golkar Muladi bahwa amar putusan tidak memenangkan salah satu pihak yang bersengketa.

"Tidak perlu jadi sarjana hukum atau doktor cukup mengerti Bahasa Indonesia sudah bisa memahami isi putusan Mahkamah Partai Golkar. Tidak perlu sampai dahi berkerut, simpel kok," tegasnya.

Margarito berharap tidak ada motif tertentu dari Menkumham dalam menangani dualisme kepengurusan di Partai Golkar. Bila karena kedua partai PPP dan Golkar berada di Koalisi Merah Putih (KMP), kemudian menganggap mereka yang ada di KMP salah dan menjadi lawan sedangkan, mereka yang berada di Koalisi Indonesia Hebat (KIH) itu benar dan menjadi kawan maka sama saja mengembalikan sistem demokrasi ke totaliter.

"Saya senang PPP dan Golkar lakukan perlawanan. Sebab Menkumham sudah melampaui kewenangan, sudah sewenang-wenang dan melakukan campur tangan. Reformasi ada karena kita ingin mengubah sistem otoriter zaman Orba, tapi kenapa sekarang diulangi lagi," kata Margarito.

Bila pemerintah tidak suka kepada partai yang berseberangan, cari langkah-langkah yang elegan tapi tidak melukai konstitusi, demokrasi dan hukum di negara ini. "Panjang akal sedikit, cari upaya yang tepat untuk menaklukkan partai-partai tersebut, tidak begini caranya," katanya.

Disinggung apakah tindakan Menkumham dapat dikenakan sanksi, Margarito mengaku, tindakan Menkumham tidak dapat diberikan sanksi pidana. Namun, bisa dilakukan upaya PTUN dan tindakan Tata Negara. Di mana anggota DPR RI harus menganggap tindakan Menkumham sebagai persoalan konstitusi bukan PPP dan Golkar.

"Semua tergantung kepada anggota dewan apakah bertuan pada kepentingan pribadi atau konstitusi. Anggap ini persoalan bangsa karena mencla-mencle. Bisa ajukan hak angket atau interpelasi," tegasnya.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9585 seconds (0.1#10.140)