Polisi AS Tembak Pria Kulit Hitam
A
A
A
ATLANTA - Seorang polisi Atlanta, Negara Bagian Georgia, Amerika Serikat (AS), menembak mati seorang warga keturunan Afrika-Amerika yang tidak memiliki senjata dan diduga mengidap penyakit jiwa.
Polisi berdalih penembakan dilakukan karena orang itu bertindak aneh dan mengganggu warga lain di kompleks apartemennya. Walaupun pria itu tidak membahayakan warga sekitar, polisi tetap melumpuhkan pria itu hingga tewas. Penembakan itu memicu demonstrasi dan kecaman publik.
“Seorang polisi wilayah Dekalb, Atlanta, merespons panggilan telepon warga yang melaporkan seorang pria yang bertindak aneh, mengetuk pintu apartemen dan rumah warga, serta berteriak di jalanan. Insiden itu terjadi pada Senin (9/3) pukul 01.00 pagi waktu setempat,” kata Kepala Polisi Dekalb, Atlanta, Cedric Alexander, dikutip Reuters. Petugas polisi berkulit putih itu menemukan pria yang tak mengenakan pakaian sama sekali itu di tempat parkir.
“Pria itu berlari ke arah petugas keamanan yang meminta untuk berhenti. Hingga akhirnya, polisi menembak pria itu sebanyak dua kali,” imbuhnya. Menurut Alexander, korban penembakan itu mungkin mengalami penyakit jiwa. Sebagai evaluasi, polisi akan melakukan pelatihan kepada polisi untuk menghadapi orang gila dan bagaimana cara memperlakukannya.
“Dalam banyak kasus, polisi kerap berhubungan dengan orangorang yang stres,” ujarnya. Polisi yang melakukan penembakan itu telah bekerja selama tujuh tahun dan dilengkapi dengan pistol listrik dan semprotan merica, tetapi dia tak menggunakannya. “Biro Penyidik Georgia akan melakukan investigasi atas insiden itu,” tegas Alexander. New York Times melaporkan, korban tewas bernama Anthony Hill yang berusia 27 tahun.
Hill merupakan warga keturunan Afrika-Amerika sejak Jumat (6/3) lalu yang menjadi korban penembakan polisi. Pada Jumat lalu, polisi di Denver menembak mati pria tak bersenjata yang terjadi adalah buronan. Pada hari yang sama, seorang polisi di Madison, Wisconsin, menembak mati seorang remaja berusia 19 tahun bernama Tony Robinson.
Insiden penembakan Hill itu hampir sama dengan kasus penembakan seorang tunawisma keturunan Afrika-Amerika di Skid Row, Los Angeles, Minggu (1/3) silam. Awalnya, polisi berusaha menundukkan korban dengan menggunakan alat setrum. Tapi, korban memberontak dan melawan. Dua petugas lainnya lantas membantu rekannya, tetapi tunawisma tersebut terus melawan.
Petugas terpaksa melepaskan tiga tembakan setelah tunawisma itu mencoba mengambil pistol polisi. Ternyata, warga menyebut korban mengidap penyakit mental. Berbagai penembakan warga sipil itu menambah deretan panjang tragedi yang mengorbankan orang tak berdosa.
Publik AS mengkritik sikap aparat keamanan yang dengan mudah menembak mati warga tanpa alasan yang jelas. Demonstrasi dan kritik tajam juga mengarah kepada polisi karena sebagian besar korban adalah warga minoritas, orang miskin dan merekayangmemiliki penyakitjiwa.
“Tangan kita dibasahi darah keponakan saya,” kata Turin Carter, paman Robinson, yang menggelar aksi demonstrasi massal di Wisconsin. Dia menekankan, keluarganya bukan menggelorakan gerakan antipolisi, tetapi mempertanyakan kenapa polisi AS kerap menembak mati remaja kulit hitam. “Saya meminta semua orang untuk mendukung isu ini tanpa memandang ras. Ini adalah isu universal,” sebutnya.
Andika hendra m
Polisi berdalih penembakan dilakukan karena orang itu bertindak aneh dan mengganggu warga lain di kompleks apartemennya. Walaupun pria itu tidak membahayakan warga sekitar, polisi tetap melumpuhkan pria itu hingga tewas. Penembakan itu memicu demonstrasi dan kecaman publik.
“Seorang polisi wilayah Dekalb, Atlanta, merespons panggilan telepon warga yang melaporkan seorang pria yang bertindak aneh, mengetuk pintu apartemen dan rumah warga, serta berteriak di jalanan. Insiden itu terjadi pada Senin (9/3) pukul 01.00 pagi waktu setempat,” kata Kepala Polisi Dekalb, Atlanta, Cedric Alexander, dikutip Reuters. Petugas polisi berkulit putih itu menemukan pria yang tak mengenakan pakaian sama sekali itu di tempat parkir.
“Pria itu berlari ke arah petugas keamanan yang meminta untuk berhenti. Hingga akhirnya, polisi menembak pria itu sebanyak dua kali,” imbuhnya. Menurut Alexander, korban penembakan itu mungkin mengalami penyakit jiwa. Sebagai evaluasi, polisi akan melakukan pelatihan kepada polisi untuk menghadapi orang gila dan bagaimana cara memperlakukannya.
“Dalam banyak kasus, polisi kerap berhubungan dengan orangorang yang stres,” ujarnya. Polisi yang melakukan penembakan itu telah bekerja selama tujuh tahun dan dilengkapi dengan pistol listrik dan semprotan merica, tetapi dia tak menggunakannya. “Biro Penyidik Georgia akan melakukan investigasi atas insiden itu,” tegas Alexander. New York Times melaporkan, korban tewas bernama Anthony Hill yang berusia 27 tahun.
Hill merupakan warga keturunan Afrika-Amerika sejak Jumat (6/3) lalu yang menjadi korban penembakan polisi. Pada Jumat lalu, polisi di Denver menembak mati pria tak bersenjata yang terjadi adalah buronan. Pada hari yang sama, seorang polisi di Madison, Wisconsin, menembak mati seorang remaja berusia 19 tahun bernama Tony Robinson.
Insiden penembakan Hill itu hampir sama dengan kasus penembakan seorang tunawisma keturunan Afrika-Amerika di Skid Row, Los Angeles, Minggu (1/3) silam. Awalnya, polisi berusaha menundukkan korban dengan menggunakan alat setrum. Tapi, korban memberontak dan melawan. Dua petugas lainnya lantas membantu rekannya, tetapi tunawisma tersebut terus melawan.
Petugas terpaksa melepaskan tiga tembakan setelah tunawisma itu mencoba mengambil pistol polisi. Ternyata, warga menyebut korban mengidap penyakit mental. Berbagai penembakan warga sipil itu menambah deretan panjang tragedi yang mengorbankan orang tak berdosa.
Publik AS mengkritik sikap aparat keamanan yang dengan mudah menembak mati warga tanpa alasan yang jelas. Demonstrasi dan kritik tajam juga mengarah kepada polisi karena sebagian besar korban adalah warga minoritas, orang miskin dan merekayangmemiliki penyakitjiwa.
“Tangan kita dibasahi darah keponakan saya,” kata Turin Carter, paman Robinson, yang menggelar aksi demonstrasi massal di Wisconsin. Dia menekankan, keluarganya bukan menggelorakan gerakan antipolisi, tetapi mempertanyakan kenapa polisi AS kerap menembak mati remaja kulit hitam. “Saya meminta semua orang untuk mendukung isu ini tanpa memandang ras. Ini adalah isu universal,” sebutnya.
Andika hendra m
(bbg)