Kasus Nenek Asyani Potret Buram Hukum

Rabu, 11 Maret 2015 - 10:09 WIB
Kasus Nenek Asyani Potret...
Kasus Nenek Asyani Potret Buram Hukum
A A A
JAKARTA - Kasus pengadilan terhadap nenek Asyani, 70, di Situbondo Jawa Timur (Jatim) menunjukkan potret buram penegakan hukum di Tanah Air. Penegak hukum semestinya mengedepankan restorative justice (keadilan restoratif) dalam menangani kasus dugaan pencurian 7 batang kayu jati tersebut.

Pandangan demikian disampaikan pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, dan anggota Komisi III Arsul Sani. Mereka pun prihatin karena sang nenek didakwa dengan pasal illegal logging karenatidakdilakukansecara terorganisasi dengan jumlah yang besar. Karena itu mereka berharap hakim nantinya bisa cermat melihat kasus tersebut.

“Ini kan dugaan pencurian 7 batang kayu, apalagi terdakwa (nenek Asyani) memiliki bukti kepemilikan tanah dan ini bukan tuduhan pengambilan lahan. Khawatirnya ada kriminalisasi, yang semula bukan kejahatan dijadikan kejahatan,” ujar Asep saat dihubungi kemarin. Menurut Asep, dakwaan jaksa yang menjerat nenek Asyani dengan Pasal 12 juncto Pasal 83 Undang-Undang (UU) Tahun 2013 tentang IllegalLogging dengan ancaman 5 tahun penjara tidak tepat, bahkan keterlaluan.

Apalagi apa yang dilakukan nenek Asyani tidak dapat dikategorikan sebagai illegal logging. Para penegak hukum khususnya penyidik, lanjutnya, harus bisa melihat ini bukanlah pencurian kayu secara besar-besaran yang merugikan negara secara besar hingga dijerat dengan UU Illegal Logging.

Dia pun menekankan penegak hukum harus membawa dugaan pencurian ini dalam penyelesaian melalui restorative justice, yakni penyelesaian yang tidak berfokus pada hukuman penjara, melainkan perbaikan atau pemulihan perilaku terdakwa. “Hukum memang harus ditegakkan, tetapi masih ada upaya lain selain menghukum seseorang dengan hukum pidana,” tandasnya.

Asep juga berharap pengadilan bijaksana dalam mengambil putusan, yang bukan hanya menghukum orang, tetapi juga mengedepankan hati nurani. Sebab, kasus pencurian beberapa buah atau batang kayu bukan saja kali ini terjadi. “Keadilan bukan sekadar menghukum orang, tapi juga memperbaiki perilaku. Hukuman itu tidak selalu adil, tapi bergantung pada kasus dan dampaknya,” katanya.

Senada, Arsul Sani menilai dakwaan yang disampaikan kepada Nenek Asyani tidak berwawasan social justice. Dalam pandangannya dakwaan terlalu berat dan tidak sesuai dengan kesalahannya yang mencuri tujuh batang kayu jati. Menurut dia, dalam kasus seperti ini baik jaksa penuntut umum (JPU) maupun majelis hakim perlu menerapkan konsep social justice yang bermuara pada keadilan retributif, yakni memeriksa, menuntut, dan memutus perkara dengan mengedepankan rasa keadilan.

“Jangan hanya melihat bunyi pasal-pasal pidana yang ada dalam KUHP,” ucapnya. Ia juga mengatakan agar nenek tersebut sebagai seorang terdakwa agar menempuh jalur hukum untuk melakukan banding dan menyampaikan ketidakadilan yang diterimanya dalam pengadilan. “Nenek sebagai terdakwa dapat menggunakan haknya untuk banding dan menyampaikan tentang ketidakadilan yang dialaminya,” tandasnya.

Komisioner Komisi Yudisial (KY) Bidang Hubungan Antarlembaga Imam Anshori Saleh pun berharap pihak aparat penegak hukum melihat kasus ini secara komprehensif. Jika memang dikatakan melanggar UU Illegal Logging, harus dipertimbangkan juga kriterianya, apakah unsur-unsurnya terpenuhi atau tidak. Baginya, pendekatan secara formal, yakni pengadilan, maupun secara progresif restoratif bisa saja dilakukan.

Jika memang proses sidang sudah berjalan, dia berharap hakim memberikan pertimbangan hukum yang luas. “Terutama apakah benar nenek itu mengambil kayu dengan sengaja mencuri? Kalau memang benar, kayu itu milik negara, berapa sih kerugian yang ditimbulkan? Jadi kita berharap hakim tidak hanya memperhatikan kepastian hukum, tapi juga keadilan dan kemanfaatan,” papar Imam di Jakarta kemarin.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur saat dikonfirmasi menyatakan pihaknya belum bisa memberikan tanggapan apa pun mengenai kasus tersebut. Pasalnya, untuk kasus atau perkara yang sedang berjalan di tingkat pertama, hanya PN yang tahu persis bagaimana detail perkaranya. “Kita belum dapat info apa pun terkait itu, mungkin bisa ditanyakan langsung pada PN Situbondo,” sebut Ridwan.

Menangis di Hadapan Hakim

Kasus ini bermula saat Nenek Asyani dan Ruslan (menantunya) yang tinggal di Dusun Secangan, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng memindahkan kayu dari rumahnya untuk dibawa ke rumah Cipto (tukang kayu) guna dijadikan kursi. Namun, sesampainya di rumah Cipto, ketujuh kayu yang telah ditumpuk dinyatakan hasil illegal logging dan diamankan oleh Perhutani.

Padahal, ketujuh kayu tersebut merupakan hasil tebangan suami Asyani yang dilakukan 5 tahun lalu di lahan tanah sendiri dan disimpan di rumahnya. Kepemilikan lahan ini dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat hak atas tanah yang dimiliki Asyani. Hanya saja kini lahan kayu jati yang ditebang saat itu sudah menjadi milik orang lain. Adapun suami Asyani sudah meninggal 2 tahun lalu.

Pihak Perhutani memerkarakan ini pada Agustus 2014 dan sampai saat ini Asyani sudah menjalani sidang kedua di Pengadilan Negeri (PN) Situbondo. Jaksa pun menjerat Asyani dengan Pasal 12 juncto Pasal 83 UU Tahun 2013 tentang Illegal Logging atau perusakan hutan lindung dengan ancaman 5 tahun penjara. Asyani pun sudah menjalani pahitnya dipenjara sejak 15 Desember lalu.

Selain Asyani, kasus ini juga menyeret Ruslan yang tidak lain adalah menantunya, Cipto selaku tukang kayu, dan pengemudi pikap Abdus Salam. Dalam sidang kedua Senin lalu, Supriyono, kuasa hukum sang nenek, menilai ada rekayasa hukum terhadap kliennya karena pencurian kayu jati yang dituduhkan jaksa penuntut umum merupakan kayu yang ditebang dari kebun sang nenek.

Dia menilai jaksa tidak cermat menyampaikan materi dakwaannya. Sebab usia sang nenek berbeda dengan usia yang sebenarnya. Dalam dakwaan sang jaksa nenek disebut berusia 45 tahun, padahal usianya sudah 63 tahun. Dalam sidang kedua dipimpin hakim ketua Kadek Dedy Arcana, Supriyono juga menyatakan bahwa materi dakwaan jaksa tidak sesuai persyaratan formil sebagaimana tertuang dalam Pasal 143 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Apalagi kayu jati yang dijadikan barang bukti bukan diambil dari lahan Perhutani sebagaimana didakwakan jaksa. Kayu tersebut diambil mendiang suami sang nenek dari kebun sendiri. Supriyono juga menyebut proses penyidikan yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan melanggar hak asasi manusia karena kliennya disuruh mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.

Bahkan kliennya sempat diancam akan dihukum berat jika tidak mengakui perbuatannya. Oleh karena itu, untuk dan atas nama keadilan Supriyono meminta majelis hakim membatalkan seluruh materi dakwaan jaksa. Sementara itu, Ketua Majelis HakimKadekDedyArcanamemberi kesempatan kepada jaksa untuk menyampaikan tanggapan atas materi eksepsi terdakwa.

“Persidangan ketiga akan dilanjutkan hari Kamis mendatang,” kata Kadek. Dalam persidangan kedua tersebut, sang nenek sempat menangis histeris bersimpuh di depan majelis hakim dan mengatakan dirinya tidak mencuri kayu. Suasana haru sempat mewarnai ruang sidang. Majelis hakim sempat menskors sidang saat melihat sang nenek menangis.

“Saya minta ampun pak hakim, saya tidak bersalah,” ujar Asyani dengan nada histeris dan bersimpuh. Sutina, istri Cipto, menegaskan tujuh batang kayu itu milik nenek Asyani dan sudah sejak lima tahun silam disimpan. Menurutnya kayu itu rencananya mau dibuat kursi. Lantaran baru kali ini ada uang untuk ongkos menggarap, hal itu baru dilakukan.

“Kayunya belum selesai digarap karena suami saya sibuk, nggak tahunya sekarang malah suami saya harus dihukum. Saya ingin keadilan yang seadil-adilnya. Saya tidak terima dengan semua ini karena kayu itu bukan milik suami saya,” ujar Sutina dengan mata berkaca-kaca.

P juliatmoko/Nurul adriyana/Mula akmal
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1148 seconds (0.1#10.140)