Nasib 21 WNI Belum Diketahui
A
A
A
TAIPEI - Sebanyak 21 warga negara Indonesia (WNI) dikhawatirkan nasibnya setelah kapal nelayan Taiwan yang mereka awaki dilaporkan hilang di Samudra Atlantik Selatan.
Hingga kemarin, belum kepastian tentang nasib Kapal Hsiang Fu Chun berbobot 700 ton beserta seluruh awaknya. Selain 21 WNI, terdapat seorang pemilik kapal dan kepala teknisi berwarga negara Taiwan, 11 warga China, 13warga Filipina, dan 2 warga Vietnam sebagai anak buah kapal (ABK).
Belum diketahui penyebab hilangnya kapal tersebut. Namun kapal itu terakhir mengirimkan kabar tentang air yang telah membanjiri dek kapal sekitar pukul 03.00 pagi pada 26 Februari lalu. Berdasarkandatasatelit, kapal itu berlayar 3.148 km dari Kepulauan Falkland saat kapal itu menghilang. Pemerintah Taiwan langsung merespons laporan musibah tersebut dan meluncurkan upaya penyelamatan.
Mereka juga meminta bantuan Argentina dan Inggris untuk memantau upaya pencarian. Taipei juga telah mengumumkan kapal-kapal yang berlayar di sekitar Samudra Atlantik untuk memberikan informasi jika mengetahui keberadaan Kapal Hsiang Fu Chun. “Kita masih tidak mengetahui di mana kapal itu berada dan apa yang sebenarnya terjadi,” ungkap Huang Hong-yen, juru bicara badan perikanan Taiwan, kemarin.
Dia menambahkan, pemerintah telah melaksanakan upaya penyelamatan dan pencarian setelah pemilik kapal melaporkan kehilangan kontak dengan anak buah kapal. Taiwan belum sepenuhnya yakin kapal tenggelam karena tidak ada bukti kalau kapal itu tenggelam. Pasalnya kapal tidak menyampaikan sinyal mayday.
“Kapal itu dilengkapi sistem yang secara otomatis mengeluarkan sinyal mayday ketika berada di bawah tekanan air. Tapi sinyal itu tak dikirim,” ujar Hong-yen. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI sudah mendapat laporan mengenai musibah tersebut dan kini sedang berupaya mencari tahu identitas dari 21 anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang ikut hilang di Samudra Atlantik.
“Kami belum dapat namanama para ABK Indonesia yang hilang itu karena perusahaan (kapal Taiwan) belum memberikan dan kami sekarang sedang mengusahakan identitas itu dari agen pengirim para ABK di Indonesia,” kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal di Jakarta kemarin.
Menurut Iqbal, Kemlu mendapat informasi bahwa kapal tersebut sudah tidak dapat dihubungi sejak 26 Februari 2015 dan dinyatakan hilang. Namun pihak Kemlu RI baru memperoleh kabar dari pemilik kapal asal Taiwan pada pekan lalu. “Kapal Taiwan ini terakhir kali melakukan komunikasi pada 26 Februari sore ketika berada di sekitar Pulau Falkland dan sedang dalam perjalanan ke Atlantik Selatan,” ungkap dia.
Direktur PWNI-BHI Kemlu RI itu mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih melakukan koordinasi dengan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei untuk bisa memperoleh identitas dari 21 ABK Indonesia yang hilang bersama kapal Taiwan itu. Akan tetapi, kata dia, hingga saat ini belum ada status yang pasti mengenai keberadaan Kapal Hsiang Fu Chun. “Pemilik kapal masih melakukan upaya untuk mencari kapal itu. Proses pencarian mengalami hambatan karena masalah cuaca,” ujar Iqbal.
Pencarian Temui Hambatan
Upaya pencarian dan penyelamatan terhadap ABK menemui banyak hambatan. Pasalnya, lokasi kapal yang telah berusia 28 tahun itu sangat terpencil. Cuaca di lokasi sangat buruk juga memperparah proses pencarian. “Para pejabat Argentina yang membutuhkan waktu enam hari bagi kapal penyelamat dan 11 jam bagi pesawat untuk terbang ke wilayah yang diduga tenggelamnya kapal dan kembali.
Itu pun dalam kondisi cuaca yang baik,” sebut Huang. Tiga kapal nelayan Taiwan yang sedang berada di Samudra Atlantik, termasuk kapal satu perusahaan dengan Hsiang Fu Chun, juga telah dimobilisasi untuk melakukan pencarian. “Kita akan melakukan apa pun meskipun kita melakukan pencarian seperti mencari jarum di samudra,” ujar Huang. Pejabat dari lembaga kelautan yang tak disebutkan namanya bahkan mengungkapkan rasa pesimismenya untuk menemukan kapal itu.
“Harapan menemukan kapal di wilayah terpencil sangat kecil,” ungkapnya. Samudra Atlantik Selatan merupakan kawasan tradisional bagi kapal nelayan Taiwan. Sedikitnya 100 kapal Taiwan berlayar ke perairan itu. Pada tahun lalu, 200.000 ton ikan berhasil ditangkap dan sebagian besar untuk konsumsi dalam negeri.
Andika hendra m/Ant
Hingga kemarin, belum kepastian tentang nasib Kapal Hsiang Fu Chun berbobot 700 ton beserta seluruh awaknya. Selain 21 WNI, terdapat seorang pemilik kapal dan kepala teknisi berwarga negara Taiwan, 11 warga China, 13warga Filipina, dan 2 warga Vietnam sebagai anak buah kapal (ABK).
Belum diketahui penyebab hilangnya kapal tersebut. Namun kapal itu terakhir mengirimkan kabar tentang air yang telah membanjiri dek kapal sekitar pukul 03.00 pagi pada 26 Februari lalu. Berdasarkandatasatelit, kapal itu berlayar 3.148 km dari Kepulauan Falkland saat kapal itu menghilang. Pemerintah Taiwan langsung merespons laporan musibah tersebut dan meluncurkan upaya penyelamatan.
Mereka juga meminta bantuan Argentina dan Inggris untuk memantau upaya pencarian. Taipei juga telah mengumumkan kapal-kapal yang berlayar di sekitar Samudra Atlantik untuk memberikan informasi jika mengetahui keberadaan Kapal Hsiang Fu Chun. “Kita masih tidak mengetahui di mana kapal itu berada dan apa yang sebenarnya terjadi,” ungkap Huang Hong-yen, juru bicara badan perikanan Taiwan, kemarin.
Dia menambahkan, pemerintah telah melaksanakan upaya penyelamatan dan pencarian setelah pemilik kapal melaporkan kehilangan kontak dengan anak buah kapal. Taiwan belum sepenuhnya yakin kapal tenggelam karena tidak ada bukti kalau kapal itu tenggelam. Pasalnya kapal tidak menyampaikan sinyal mayday.
“Kapal itu dilengkapi sistem yang secara otomatis mengeluarkan sinyal mayday ketika berada di bawah tekanan air. Tapi sinyal itu tak dikirim,” ujar Hong-yen. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI sudah mendapat laporan mengenai musibah tersebut dan kini sedang berupaya mencari tahu identitas dari 21 anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang ikut hilang di Samudra Atlantik.
“Kami belum dapat namanama para ABK Indonesia yang hilang itu karena perusahaan (kapal Taiwan) belum memberikan dan kami sekarang sedang mengusahakan identitas itu dari agen pengirim para ABK di Indonesia,” kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal di Jakarta kemarin.
Menurut Iqbal, Kemlu mendapat informasi bahwa kapal tersebut sudah tidak dapat dihubungi sejak 26 Februari 2015 dan dinyatakan hilang. Namun pihak Kemlu RI baru memperoleh kabar dari pemilik kapal asal Taiwan pada pekan lalu. “Kapal Taiwan ini terakhir kali melakukan komunikasi pada 26 Februari sore ketika berada di sekitar Pulau Falkland dan sedang dalam perjalanan ke Atlantik Selatan,” ungkap dia.
Direktur PWNI-BHI Kemlu RI itu mengatakan, sampai saat ini pihaknya masih melakukan koordinasi dengan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei untuk bisa memperoleh identitas dari 21 ABK Indonesia yang hilang bersama kapal Taiwan itu. Akan tetapi, kata dia, hingga saat ini belum ada status yang pasti mengenai keberadaan Kapal Hsiang Fu Chun. “Pemilik kapal masih melakukan upaya untuk mencari kapal itu. Proses pencarian mengalami hambatan karena masalah cuaca,” ujar Iqbal.
Pencarian Temui Hambatan
Upaya pencarian dan penyelamatan terhadap ABK menemui banyak hambatan. Pasalnya, lokasi kapal yang telah berusia 28 tahun itu sangat terpencil. Cuaca di lokasi sangat buruk juga memperparah proses pencarian. “Para pejabat Argentina yang membutuhkan waktu enam hari bagi kapal penyelamat dan 11 jam bagi pesawat untuk terbang ke wilayah yang diduga tenggelamnya kapal dan kembali.
Itu pun dalam kondisi cuaca yang baik,” sebut Huang. Tiga kapal nelayan Taiwan yang sedang berada di Samudra Atlantik, termasuk kapal satu perusahaan dengan Hsiang Fu Chun, juga telah dimobilisasi untuk melakukan pencarian. “Kita akan melakukan apa pun meskipun kita melakukan pencarian seperti mencari jarum di samudra,” ujar Huang. Pejabat dari lembaga kelautan yang tak disebutkan namanya bahkan mengungkapkan rasa pesimismenya untuk menemukan kapal itu.
“Harapan menemukan kapal di wilayah terpencil sangat kecil,” ungkapnya. Samudra Atlantik Selatan merupakan kawasan tradisional bagi kapal nelayan Taiwan. Sedikitnya 100 kapal Taiwan berlayar ke perairan itu. Pada tahun lalu, 200.000 ton ikan berhasil ditangkap dan sebagian besar untuk konsumsi dalam negeri.
Andika hendra m/Ant
(bbg)