JK Soroti Kewenangan Luhut
A
A
A
JAKARTA - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menambah kewenangan Kepala Staf Kepresidenan Luhut B Panjaitan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 26 Tahun 2015 mendapat sorotan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Dia menilai penambahan kewenangan Kepala Staf Kepresidenan berpotensi menimbulkan koordinasi yang berlebihan. Pada akhirnya hal tersebut bisa menciptakan kesimpangsiuran koordinasi pemerintahan.
”Mungkin nanti koordinasi berlebihan, kalau cukup banyak, ada instansi lagi yang bisa mengoordinasi pemerintahan. Kalau berlebihan nanti bisa simpang-siur,” kata JK di Kantor Wapres Jakarta kemarin sore. JK menyinggung persoalan penambahan kewenangan Kepala Staf Kepresidenan saat bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Dalam pertemuan itu dibicarakan kemungkinan dampak yang bisa ditimbulkan dengan diterbitkannya perpres tersebut, termasuk potensi gangguan terhadap jalannya pemerintahan. Kendati demikian, dia menduga penambahan kewenangan untuk Luhut Panjaitan bersifat jangka pendek. Mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar itu mengaku sama sekali belum berkomunikasi dengan Presiden Jokowi mengenai penambahan kewenangan Kepala Staf Kepresidenan.
Dia juga menyebut Menteri Sekretaris Negara Pratikno belum mengetahui. Karena itu, dia berencana akan berkomunikasi dengan Presiden Jokowi. ”Setneg (Sekretariat Negara RI) saja tidak tahu, apalagi saya. Tidak tahu saya,” tegas JK. Pakar hukum dan tata negara Margarito Kamis menilai perluasan mandat Kepala Staf Kepresidenan akan mengacaukan sistem koordinasi pemerintahan. Kewenangan untuk ikut mengendalikan dan mengevaluasi program prioritas nasional serta memanggil menteri telah melangkahi kewenangan, terutama Wakil Presiden.
”Jika kita punya unit staf kepresidenan, di mana kantornya? Personelnya di mana? Karena seluruh aktivitas dan pelayanan administrasi kepresidenan ada di Sekneg dan Sekkab. Lalu staf kepresidenan mau apa,” katanya. Perpres tersebut, lanjut dia, juga merendahkan kedudukan menteri karena seolah kewenangan Kepala Staf Kepresidenan membawahkan menteri. Padahal, fungsi kementerian jelas sudah diatur dalam konstitusi, sedangkan Staf Kepresidenan hanya diatur dalam perpres yang secara hukum tidak lebih kuat daripada UU.
Dengan pemahaman tersebut, perpres dimaksud bukan hanya mengacaukan sistem pemerintahan, tetapi juga menimbulkan ketidakharmonisan hubungan antarlembaga pemerintahan. ”Bayangkan, Wapres seorang figur tata negara wewenangnya tidak lebih dari wewenang Kepala Staf Kepresidenan. Ini akan terjadi kontradiksi, pemerintahan tidak akan berjalan efektif,” katanya.
Margarito lantas menandaskan, fungsi unit kepresidenan sebaiknya dikembalikan ke Setneg. Atau berikan perluasan kewenangan justru kepada Wakil Presiden. ”Itu jauh lebih memadai dan selaras dengan UU,” katanya. Pengamat hukum tata negara Universitas Parahiyangan Bandung Asep Warlan Yusuf memahami Presiden tidak bisa bekerja sendiri dalam melaksanakan tugas kepresidenan sehingga membutuhkan instrumen pendukung untuk membantu melakukan pengawasan terhadap program Presiden.
Karena itulah kemudian Presiden menerbitkan Perpres No 26 Tahun 2015. Hanya saja dia mengingatkan hal tersebut berpotensi menimbulkanmasalahketika Kepala Staf Kepresidenan itu bekerja melampaui kewenangan yang telah diberikan. ”Jika kementerian itu perangkat eksekutif, bekerja berdasarkan UU dan APBN, sedangkan Staf Kepresidenan ini sebatas tangan kanan atau informan Presiden untuk memastikan bahwa program pemerintah sudah berjalan. Jangan sampai mereka bertugas melebihi kewenangan itu,” katanya.
Asep lantas menilai, Jokowi dalam penerbitan perpres atau dalam kebijakan lainnya memiliki kelemahan dalam hal komunikasi, koordinasi, dan melakukan sinergi dengan elite atau lembaga pemerintahan terkait. Akibatnya, setelah kebijakan diputuskan, banyak yang merasa tak dilibatkan dan menimbulkan disharmoni.
”Pantas saja PDIP juga merasa bahwa Presiden ini kurang membangun komunikasi dan ada kesan ada orangorang di sekitarnya yang memutus komunikasi dengan Presiden,” sebutnya. Untuk diketahui, Presiden Jokowi meneken perpres tersebut pada 23 Februari 2015. Perpres itu sekaligus merevisi Perpres Nomor 190 Tahun 2014 tentang Unit Staf Kepresidenan yang diteken pada 31 Desember 2014 bersamaan dengan pelantikan Luhut Panjaitan sebagai kepala Staf Kepresidenan.
Jika berdasarkan Perpres Nomor 190/2014 Kepala Staf Kepresidenan bertugas mendukung komunikasi politik dan mengelola isu-isu strategis kepresidenan, dengan keluarnya Perpres Nomor 26/2015 Kepala Staf Kepresidenan kini ikut mengendalikan program prioritas. Berdasar kewenangan ini, demi memastikan program berjalan sesuai visi misi Presiden, Kepala Staf Kepresidenan bisa membentuk tim khusus dan gugus tugas lintas kementerian. Dengan berlakunya Perpres Nomor 26/2015, UKP4 pun dibubarkan.
Presiden Jokowi sendiri (2/3/2015) sudah menjelaskan penambahan kewenangan Kepala Staf Kepresidenan dipastikan tak akan menyebabkan tumpang tindih kelembagaan, termasuk dengan Wakil Presiden. ”Wapres itu tugasnya pengawasan. Jadi, tidak akan tumpang tindih. Pekerjaan banyak, kok, tumpang tindih. Pekerjaan bergunung-gunung. Nanti akan ada aturan sendiri,” ujar mantan Wali Kota Solo tersebut.
Jokowi juga meyakinkan tugas Kantor Staf Kepresidenan yang mempunyai kewenangan mengawasi dan mengendalikan program tidak akan bersinggungan dengan kementerian yang mempunyai tugas merencanakan, mengorganisasi, dan melaksanakan program pemerintah. Dalam penyusunan Perpres Nomor 26/2015 Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengaku tidak terlibat.
Dia menunjuk penyusunan kebijakan tersebut urusan Sekretaris Negara Andi Widjajanto. Pratikno mengakui, pembahasan rancangan perpres dibicarakan dalam beberapa kali rapat koordinasi. Hanya sekali lagi dia mengaku tidak mengikuti prosesnya. Adapun Andi Widjajanto menjelaskan, perubahan atas keinginan Presiden Jokowi setelah Presiden berkonsultasi dengan Luhut.
Dia juga menyebut konsep Kantor Staf Kepresidenan ini sudah dibahas tim transisi. Namun dia menyangkal keberadaan Kantor Staf Kepresidenan memiliki kewenangan lebih dibandingkan kementerian. Kantor Staf Kepresidenan memiliki wewenang terbatas karena tidak bisa melakukan implementasi.
Sikap PDIP dan Relawan
Politikus PDIP Masinton Pasaribu menyarankan Presiden Jokowi menyerap masukan dan kritik publik atas upaya penguatan kewenangan lembaga Staf Kepresidenan. Terlebih disinyalir ada orang-orang tak jelas yang akan dimasukkan di dalam lembaga itu. Menurut Masinton, apa yang disampaikan Mensesneg Pratikno dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa mereka tidak mengetahui perihal itu sudah menunjukkan adanya koordinasi yang kurang baik.
”Harus lebih diperbaiki lagi koordinasinya agar tidak menimbulkan disharmoni yang akan mengakibatkan jalannya pemerintahan tidak efektif,” kata Masinton. Kritik dan kekecewaan juga disampaikan para relawan yang tergabung dalam Sekretariat Bersama( Sekber) PartisipasiIndonesia. Kekecewaan itu bukan hanya lantaran penguatan wewenang lembaga Staf Kepresidenan, tetapi juga orang-orang yang dipersiapkan Luhut Panjaitan untuk mengisi lembaga tersebut.
”Nama-nama yang diusulkan duduk sebagai deputi dan staf disinyalir merupakan tim sukses lawan saat pilpres. Ada satu nama yang memang terbukti timses lawan,” kata perwakilan Sekber Partisipasi Indonesia, Panel Barus. Hal senada disampaikan Sekjen Aliansi Masyarakat Sipil Indonesia Hebat (Almisbat) Hendrik Sirait.
Menurut dia, dengan posisi yang semakin kuat dan orang-orang di dalamnya yang tak jelas, pihaknya khawatir Presiden dijadikan bulanbulanan karena disinformasi orang-orang di sekitarnya yang punya kepentingan sendiri.
Rahmat sahid/ khoirul muzaki/ant
Dia menilai penambahan kewenangan Kepala Staf Kepresidenan berpotensi menimbulkan koordinasi yang berlebihan. Pada akhirnya hal tersebut bisa menciptakan kesimpangsiuran koordinasi pemerintahan.
”Mungkin nanti koordinasi berlebihan, kalau cukup banyak, ada instansi lagi yang bisa mengoordinasi pemerintahan. Kalau berlebihan nanti bisa simpang-siur,” kata JK di Kantor Wapres Jakarta kemarin sore. JK menyinggung persoalan penambahan kewenangan Kepala Staf Kepresidenan saat bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Dalam pertemuan itu dibicarakan kemungkinan dampak yang bisa ditimbulkan dengan diterbitkannya perpres tersebut, termasuk potensi gangguan terhadap jalannya pemerintahan. Kendati demikian, dia menduga penambahan kewenangan untuk Luhut Panjaitan bersifat jangka pendek. Mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar itu mengaku sama sekali belum berkomunikasi dengan Presiden Jokowi mengenai penambahan kewenangan Kepala Staf Kepresidenan.
Dia juga menyebut Menteri Sekretaris Negara Pratikno belum mengetahui. Karena itu, dia berencana akan berkomunikasi dengan Presiden Jokowi. ”Setneg (Sekretariat Negara RI) saja tidak tahu, apalagi saya. Tidak tahu saya,” tegas JK. Pakar hukum dan tata negara Margarito Kamis menilai perluasan mandat Kepala Staf Kepresidenan akan mengacaukan sistem koordinasi pemerintahan. Kewenangan untuk ikut mengendalikan dan mengevaluasi program prioritas nasional serta memanggil menteri telah melangkahi kewenangan, terutama Wakil Presiden.
”Jika kita punya unit staf kepresidenan, di mana kantornya? Personelnya di mana? Karena seluruh aktivitas dan pelayanan administrasi kepresidenan ada di Sekneg dan Sekkab. Lalu staf kepresidenan mau apa,” katanya. Perpres tersebut, lanjut dia, juga merendahkan kedudukan menteri karena seolah kewenangan Kepala Staf Kepresidenan membawahkan menteri. Padahal, fungsi kementerian jelas sudah diatur dalam konstitusi, sedangkan Staf Kepresidenan hanya diatur dalam perpres yang secara hukum tidak lebih kuat daripada UU.
Dengan pemahaman tersebut, perpres dimaksud bukan hanya mengacaukan sistem pemerintahan, tetapi juga menimbulkan ketidakharmonisan hubungan antarlembaga pemerintahan. ”Bayangkan, Wapres seorang figur tata negara wewenangnya tidak lebih dari wewenang Kepala Staf Kepresidenan. Ini akan terjadi kontradiksi, pemerintahan tidak akan berjalan efektif,” katanya.
Margarito lantas menandaskan, fungsi unit kepresidenan sebaiknya dikembalikan ke Setneg. Atau berikan perluasan kewenangan justru kepada Wakil Presiden. ”Itu jauh lebih memadai dan selaras dengan UU,” katanya. Pengamat hukum tata negara Universitas Parahiyangan Bandung Asep Warlan Yusuf memahami Presiden tidak bisa bekerja sendiri dalam melaksanakan tugas kepresidenan sehingga membutuhkan instrumen pendukung untuk membantu melakukan pengawasan terhadap program Presiden.
Karena itulah kemudian Presiden menerbitkan Perpres No 26 Tahun 2015. Hanya saja dia mengingatkan hal tersebut berpotensi menimbulkanmasalahketika Kepala Staf Kepresidenan itu bekerja melampaui kewenangan yang telah diberikan. ”Jika kementerian itu perangkat eksekutif, bekerja berdasarkan UU dan APBN, sedangkan Staf Kepresidenan ini sebatas tangan kanan atau informan Presiden untuk memastikan bahwa program pemerintah sudah berjalan. Jangan sampai mereka bertugas melebihi kewenangan itu,” katanya.
Asep lantas menilai, Jokowi dalam penerbitan perpres atau dalam kebijakan lainnya memiliki kelemahan dalam hal komunikasi, koordinasi, dan melakukan sinergi dengan elite atau lembaga pemerintahan terkait. Akibatnya, setelah kebijakan diputuskan, banyak yang merasa tak dilibatkan dan menimbulkan disharmoni.
”Pantas saja PDIP juga merasa bahwa Presiden ini kurang membangun komunikasi dan ada kesan ada orangorang di sekitarnya yang memutus komunikasi dengan Presiden,” sebutnya. Untuk diketahui, Presiden Jokowi meneken perpres tersebut pada 23 Februari 2015. Perpres itu sekaligus merevisi Perpres Nomor 190 Tahun 2014 tentang Unit Staf Kepresidenan yang diteken pada 31 Desember 2014 bersamaan dengan pelantikan Luhut Panjaitan sebagai kepala Staf Kepresidenan.
Jika berdasarkan Perpres Nomor 190/2014 Kepala Staf Kepresidenan bertugas mendukung komunikasi politik dan mengelola isu-isu strategis kepresidenan, dengan keluarnya Perpres Nomor 26/2015 Kepala Staf Kepresidenan kini ikut mengendalikan program prioritas. Berdasar kewenangan ini, demi memastikan program berjalan sesuai visi misi Presiden, Kepala Staf Kepresidenan bisa membentuk tim khusus dan gugus tugas lintas kementerian. Dengan berlakunya Perpres Nomor 26/2015, UKP4 pun dibubarkan.
Presiden Jokowi sendiri (2/3/2015) sudah menjelaskan penambahan kewenangan Kepala Staf Kepresidenan dipastikan tak akan menyebabkan tumpang tindih kelembagaan, termasuk dengan Wakil Presiden. ”Wapres itu tugasnya pengawasan. Jadi, tidak akan tumpang tindih. Pekerjaan banyak, kok, tumpang tindih. Pekerjaan bergunung-gunung. Nanti akan ada aturan sendiri,” ujar mantan Wali Kota Solo tersebut.
Jokowi juga meyakinkan tugas Kantor Staf Kepresidenan yang mempunyai kewenangan mengawasi dan mengendalikan program tidak akan bersinggungan dengan kementerian yang mempunyai tugas merencanakan, mengorganisasi, dan melaksanakan program pemerintah. Dalam penyusunan Perpres Nomor 26/2015 Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengaku tidak terlibat.
Dia menunjuk penyusunan kebijakan tersebut urusan Sekretaris Negara Andi Widjajanto. Pratikno mengakui, pembahasan rancangan perpres dibicarakan dalam beberapa kali rapat koordinasi. Hanya sekali lagi dia mengaku tidak mengikuti prosesnya. Adapun Andi Widjajanto menjelaskan, perubahan atas keinginan Presiden Jokowi setelah Presiden berkonsultasi dengan Luhut.
Dia juga menyebut konsep Kantor Staf Kepresidenan ini sudah dibahas tim transisi. Namun dia menyangkal keberadaan Kantor Staf Kepresidenan memiliki kewenangan lebih dibandingkan kementerian. Kantor Staf Kepresidenan memiliki wewenang terbatas karena tidak bisa melakukan implementasi.
Sikap PDIP dan Relawan
Politikus PDIP Masinton Pasaribu menyarankan Presiden Jokowi menyerap masukan dan kritik publik atas upaya penguatan kewenangan lembaga Staf Kepresidenan. Terlebih disinyalir ada orang-orang tak jelas yang akan dimasukkan di dalam lembaga itu. Menurut Masinton, apa yang disampaikan Mensesneg Pratikno dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa mereka tidak mengetahui perihal itu sudah menunjukkan adanya koordinasi yang kurang baik.
”Harus lebih diperbaiki lagi koordinasinya agar tidak menimbulkan disharmoni yang akan mengakibatkan jalannya pemerintahan tidak efektif,” kata Masinton. Kritik dan kekecewaan juga disampaikan para relawan yang tergabung dalam Sekretariat Bersama( Sekber) PartisipasiIndonesia. Kekecewaan itu bukan hanya lantaran penguatan wewenang lembaga Staf Kepresidenan, tetapi juga orang-orang yang dipersiapkan Luhut Panjaitan untuk mengisi lembaga tersebut.
”Nama-nama yang diusulkan duduk sebagai deputi dan staf disinyalir merupakan tim sukses lawan saat pilpres. Ada satu nama yang memang terbukti timses lawan,” kata perwakilan Sekber Partisipasi Indonesia, Panel Barus. Hal senada disampaikan Sekjen Aliansi Masyarakat Sipil Indonesia Hebat (Almisbat) Hendrik Sirait.
Menurut dia, dengan posisi yang semakin kuat dan orang-orang di dalamnya yang tak jelas, pihaknya khawatir Presiden dijadikan bulanbulanan karena disinformasi orang-orang di sekitarnya yang punya kepentingan sendiri.
Rahmat sahid/ khoirul muzaki/ant
(ars)