Popularitas Melesat,Tarif Sewa Meroket

Minggu, 01 Maret 2015 - 11:27 WIB
Popularitas Melesat,Tarif...
Popularitas Melesat,Tarif Sewa Meroket
A A A
Pernah ramai sebagai pasar tradisional, popularitas Pasar Santa di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, meredup pasca-revitalisasi pada 2007.

Pasar ini mulai bergairah kembali pada 2014 lalu ditandai dengan munculnya berbagai kios kuliner, distro, dan sub sektor ekonomi kreatif lainnya. Harga kios pun ikut melambung. Sejumlah pedagang terancam hengkang.

Bangunan Pasar Santa terdiri atas tiga lantai, yaitu basement, lantai dasar, dan lantai satu. Sebelum 2014, sebagian besar kios di sana kosong tanpa pedagang, apalagi pembeli.

Hanya beberapa kios di basement dan lantai dasar yang beroperasi. Basement didominasi dagangan basahan dan sembako, lantai dasar busana, sementara lantai satu kosong. Lantai satu yang kini telah menjelma menjadi salah satu tempat nongkrong favorit anak muda Ibu Kota dulu bisa dikatakan tidak terpakai.

”Kalau sudah malam, tidak banyak orang yang berani naik ke atas. Angker,” tutur Anwar, penjahit yang mengisi sebuah kios di lantai satu. Meski begitu, ada saja pedagang yang berani menginap di sana dan ada saja pemilik kios yang menyewakannya sebagai kamar kos. Kehadiran sejumlah entrepreneur muda dari sejumlah komunitas yang mengusung industri kreatif dari berbagai komunitas membuat pasar yang berlokasi di Jalan Cipaku 1 ini bangkit dari mati suri.

Mereka menyulap lantai satu menjadi kawasan yang mengasyikkan untuk berbelanja dan nongkrong dengan desain, suasana, dan pelayanan khas anak muda di setiap kiosnya. Pasar Santa pun mulai menggeliat lagi pada pertengahan 2014. Pengunjung semakin lama semakin banyak, terutama saat akhir pekan dan hari libur. Omzet para pedagang melesat.

Potensi bisnis yang sangat bagus membuat banyak orang berminat untuk membuka usaha di Pasar Santa. Hukum ekonomi pun berlaku. Tarif sewa kios-kios di sana naik berlipat-lipat dari sebelumnya pada kisaran Rp3 juta-5 juta. Pedagang lama yang tidak mampu membayar tarif sewa baru harus angkat kaki lantaran sudah ada pengusaha lain yang mengincar kiosnya dan berani membayar mahal. Keadaan semakin rumit lantaran ada beberapa penyewa kios yang menyewakan lagi kiosnya ke pihak lain.

Kenaikan drastis tarif sewa kios ini dikeluhkan para pedagang, terutama mereka yang berada di lantai basement dan lantai dasar. ”Sebelumnya, saya menyewa dua kios di sini Rp10 juta per tahun. Sekarang pemegang hak guna menaikkan tarif sewa menjadi Rp30 juta setahun. Naik 150%. Saya tawar, mentoknya di Rp24 juta,” ungkap Sujana, seorang pembuat bingkai di lantai dasar.

Menurut dia dan beberapa pedagang lain yang sudah lama membuka usaha di Pasar Santa, mereka bisa menerima ada kenaikan tarif sewa karena jumlah peminat memang tinggi. Tapi semestinya masih dalam batas kewajaran dan secara bertahap. ”Sekarang banyak pedagang yang bingung. Kalau mau lanjut, tarifnya sudah tidak rasional. Kalau tidak mampu bayar sewa, ya terpaksa menutup usaha di sini,” sesal pria berusia 42 tahun ini.

Seorang pedagang lama yang berjualan alat tulis dan perlengkapan sekolah mengaku pihak pengembang mengembalikan uang perpanjangan sewa yang telah dia bayar karena sudah ada pihak lain yang akan menempati kiosnya. ”Saya tanya ke mereka, memang berapa kenaikannya. Tapi tidak dijawab. Pihak pengembang hanya bilang lihat saja nanti,” keluhnya. Padahal, kata dia, idealnya otoritas pasar melindungi dan memprioritaskan pedagang lama.

Pedagang ini mewanti-wanti agar namanya tidak ditulis karena khawatir mendapat teguran lagi dari pihak pengembang. Ada pedagang lama lain yang juga meminta namanya tidak disebut. Dia mengaku diminta oleh pemegang hak guna kios agar tidak memperpanjang sewa. ”Pemegang hak guna kios mengaku mendapat instruksi dari pihak pengembang,” kata pedagang jus di lantai satu ini. Menurut dia, beberapa pedagang lain pun mengalami hal serupa.

”Diingatkan agar tidak memperpanjang sewa,” sebutnya. Kepala Pasar Santa Bambang Sugiarto menyatakan, pedagang lama di Pasar Santa sebenarnya tenang-tenang saja karena sebagian besar adalah penyewa pemegang hak guna pakai kios selama 20 tahun sejak 2007 hingg a 2 0 2 7 . ”Mereka punya hak penuh atas k i o s n y a . Yang ketarketir justru para pedagang baru karena mereka banyak berstatus penyewa kepada penyewa,” terangnya.

Dia menjelaskan, kenaikan tarif sewa bisa terjadi kalau pemegang hak guna pakai bertemu dengan pihak yang berani menyewa kiosnya jauh lebih tinggi. Sekadar diketahui, sekitar 300 kios di Pasar Santa disewakan oleh pengembang sedangkan sisanya berstatus hak guna pakai atas nama perseorangan. Ve Handojo, pendiri ABCD School of Coffee di lantai satu, mengungkapkan bahwa ada kios yang kenaikan tarif sewanya mencapai 10 kali lipat.

Dia mengingatkan agar pedagang bermodal besar jangan memaksakan diri membuka usaha di Pasar Santa, terutama di basement dan lantai dasar, karena sesungguhnya mereka sedang menggusur para pedagang lama yang menggantungkan hidup dan nasib keluarganya di sana.

”Kami mengetuk kepedulian mereka. Jangan hanya melihat potensi keuntungan semata,” tuturnya. Menurut Ve, dia bersama beberapa pengguna kios di lantai satu telah melakukan pendekatan kepada PD Pasar Jaya dan pihak pengembang Pasar Santa, PT Interwahana Nuansa (IWN), untuk meminimalisasi risiko bagi para pedagang lama dan menghindari konflik.

Dia berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta turun tangan untuk memperkuat posisi PD Pasar Jaya sebagai regulator, khususnya dalam mengendalikan tarif sewa. Di satu sisi melindungi para pedagang lama yang notabene tidak bermodal besar sekaligus membina praktik usahanya agar mampu menarik lebih banyak lagi pembeli.

Di sisi lain juga mengakomodasi kehadiran industri kreatif di Santa Modern Market. Bagaimanapun, lanjut script writer film Rectoverso ini, kehadiran para pengusaha industri kreatif telah memberi warna baru dan nilai tambah signifikan terhadap Pasar Santa sebagai ruang publik alternatif bagi anak muda dan konsumen keluarga.

Robi ardianto
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0629 seconds (0.1#10.140)