Dominasi Amien Rais dan Ujian Menjadi Partai Reformis
A
A
A
SEJAK awal berdiri, Partai Amanat Nasional (PAN) tidak bisa lepas dari figur Amien Rais.
Lahir di era reformasi, partai yang didirikan Amien ini bahkan disebut sebagai anak kandung reformasi, meskipun dalam perjalanannya banyak yang mengkritik karena upaya pelembagaan partai yang dilakukan tidak mencerminkan PAN sebagai partai reformis.
Pada 28 Februari-2 Maret nanti, PAN akan menggelar kongres IV di Bali yang salah satu agendanya adalah pemilihan ketua umum periode 2015- 2020. Ada dua calon yang bakal bersaing, yaitu petahana Hatta Rajasa, dan Zulkifli Hasan. Pada kongres kali ini, Amien Rais yang kini menjabat ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN mendukung penuh Zulkifli Hasan.
Meskipun sebagian kader, terutama pendukung Hatta, meminta agar pemilihan ketua umum di kongres tidak berlangsung aklamasi sebagaimana yang diinginkan Amien Rais, peluang tersebut tetap saja terbuka. Apalagi setelah melihat sejarah pada dua kongres PAN sebelumnya, di mana Amien memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan siapa yang diinginkannya menjadi ketua umum.
Pada Kongres II PAN di Semarang pada 2005, misalnya, Amien saat itu berhasil menekan Hatta Rajasa untuk tidak maju sebagai calon ketua umum. Hasilnya, Amien dengan mudah mengarahkan dukungan ke Sutrisno Bachir yang akhirnya terpilih sebagai ketua umum periode 2005-2010. Padahal, saat itu ada beberapa calon yang dari segi figur cukup kuat dan diunggulkan memimpin partai, antara lain Fuad Bawazier, Didik J Rachbini, dan Moeslim Abdurrahman.
Demikian juga pada Kongres III PAN di Batam. Saat itu ada dua calon yang diprediksi bersaing ketat, yakni Hatta Rajasa dan Dradjad H Wibowo. Tetapi lagi-lagi, akhirnya kuasa Amienlahyang menentukan kemenangan dengan “memaksa” penetapan ketua umum dilakukan secara aklamasi untuk memilih Hatta Rajasa. Dradjad akhirnya diberikan jabatan sebagai wakil ketua umum, posisi yang sebelumnya belum pernah ada dalam struktur PAN. Kini, menjelang Kongres IV PAN, masih sangat mungkin posisi Amien kembali menjadi penentu.
Dalam posisi kandidat ketua umum yang oleh banyak pengamat dinilai sama-sama kuat, m o m e n t u m kongres nanti menjadi ujian pertama bagi PAN agar siapa pun yang menang, PR besarnya adalah menjamin agar pelembagaan partai bisa berjalan lancar.
Hal itu penting agar ke depan PAN tak berkutat pada keterbatasan kader sebagai penentu di puncak pimpinan. Apalagi, dengan peta dukungan saat ini di mana Amien Rais dan Sutrisno Bachir mendukung Zulkifli Hasan, dan Dradjad Wibowo mendukung Hatta, maka peta persaingan di kongres pada dasarnya masih berkutat pada kompetisi dengan aktor yang itu-itu saja.
“PAN harus bisa mencerminkan diri sebagai partai reformis, yang salah satunya adalah soal institusionalisasi partai. Kalau tidak, label sebagai partai pragmatis tak bisa dihindari,” kata pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro.
Rahmat sahid
Lahir di era reformasi, partai yang didirikan Amien ini bahkan disebut sebagai anak kandung reformasi, meskipun dalam perjalanannya banyak yang mengkritik karena upaya pelembagaan partai yang dilakukan tidak mencerminkan PAN sebagai partai reformis.
Pada 28 Februari-2 Maret nanti, PAN akan menggelar kongres IV di Bali yang salah satu agendanya adalah pemilihan ketua umum periode 2015- 2020. Ada dua calon yang bakal bersaing, yaitu petahana Hatta Rajasa, dan Zulkifli Hasan. Pada kongres kali ini, Amien Rais yang kini menjabat ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN mendukung penuh Zulkifli Hasan.
Meskipun sebagian kader, terutama pendukung Hatta, meminta agar pemilihan ketua umum di kongres tidak berlangsung aklamasi sebagaimana yang diinginkan Amien Rais, peluang tersebut tetap saja terbuka. Apalagi setelah melihat sejarah pada dua kongres PAN sebelumnya, di mana Amien memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan siapa yang diinginkannya menjadi ketua umum.
Pada Kongres II PAN di Semarang pada 2005, misalnya, Amien saat itu berhasil menekan Hatta Rajasa untuk tidak maju sebagai calon ketua umum. Hasilnya, Amien dengan mudah mengarahkan dukungan ke Sutrisno Bachir yang akhirnya terpilih sebagai ketua umum periode 2005-2010. Padahal, saat itu ada beberapa calon yang dari segi figur cukup kuat dan diunggulkan memimpin partai, antara lain Fuad Bawazier, Didik J Rachbini, dan Moeslim Abdurrahman.
Demikian juga pada Kongres III PAN di Batam. Saat itu ada dua calon yang diprediksi bersaing ketat, yakni Hatta Rajasa dan Dradjad H Wibowo. Tetapi lagi-lagi, akhirnya kuasa Amienlahyang menentukan kemenangan dengan “memaksa” penetapan ketua umum dilakukan secara aklamasi untuk memilih Hatta Rajasa. Dradjad akhirnya diberikan jabatan sebagai wakil ketua umum, posisi yang sebelumnya belum pernah ada dalam struktur PAN. Kini, menjelang Kongres IV PAN, masih sangat mungkin posisi Amien kembali menjadi penentu.
Dalam posisi kandidat ketua umum yang oleh banyak pengamat dinilai sama-sama kuat, m o m e n t u m kongres nanti menjadi ujian pertama bagi PAN agar siapa pun yang menang, PR besarnya adalah menjamin agar pelembagaan partai bisa berjalan lancar.
Hal itu penting agar ke depan PAN tak berkutat pada keterbatasan kader sebagai penentu di puncak pimpinan. Apalagi, dengan peta dukungan saat ini di mana Amien Rais dan Sutrisno Bachir mendukung Zulkifli Hasan, dan Dradjad Wibowo mendukung Hatta, maka peta persaingan di kongres pada dasarnya masih berkutat pada kompetisi dengan aktor yang itu-itu saja.
“PAN harus bisa mencerminkan diri sebagai partai reformis, yang salah satunya adalah soal institusionalisasi partai. Kalau tidak, label sebagai partai pragmatis tak bisa dihindari,” kata pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro.
Rahmat sahid
(ars)